Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 tahun 2005 menegaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun berdasarkan pada sasaran tertentu yang hendak dicapai dalam satu tahun anggaran, yaitu dengan mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau ouput dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Pendekatan ini berorientasi pada pendekatan kinerja, bukan berorientasi pada pendekatan kebijakan. Kedua undang-undang tersebut telah merubah akuntabilitas atau pertanggungjawaban pemerintah daerah dari pertanggungjawaban vertikal (kepada pemerintah pusat) ke pertanggungjawaban horisontal (kepada masyarakat melalui DPRD). Implikasinya adalah adanya tuntutan otonomi yang lebih luas dan akuntabilitas publik yang nyata yang harus diberikan kepada pemerintah daerah.
Penggunaan paradigma diatas menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintah guna mendukung salah satu agenda reformasi di Indonesia yaitu terciptanya
good governance. Salah satu konsekuensi tersebut diantaranya adalah reformasi anggaran (
budgeting reform). Hal ini dikarenakan tuntutan pengelolaan pemerintah daerah yang berakuntabilitas dan berorientasi pada kepentingan publik (
public oriented) tidak bisa lepas dari anggaran pemerintah daerah. Wujud dari penyelenggaraan otonomi daerah adalah pemanfaatan sumber daya yang dilakukan secara ekonomis, efisien, efektif, adil dan merata untuk mencapai akuntabilitas publik (Mardiasmo, 2002a).
Akuntabilitas melalui anggaran meliputi penyusunan anggaran sampai dengan pelaporan anggaran. Selain itu, anggaran merupakan elemen penting dalam sistem pengendalian manajemen karena anggaran tidak saja sebagai alat perencanaan keuangan, tetapi juga sebagai alat pengendalian, koordinasi, komunikasi, evaluasi kinerja dan motivasi (Kenis, 1979; Chow et al, 1988; Antony dan Govindarajan, 1998). Bentuk pengendalian ini sesuai dengan prinsip
agency theory yang mana pemerintah sebagai
agent dan DPRD sebagai
principal. Selanjutnya, DPRD yang merupakan representasi dari rakyat (publik) akan mengawasi kinerja pemerintah melalui anggaran. Anggaran publik merupakan dokumen/kontrak politik antara pemerintah dan DPRD untuk masa yang akan datang (Mardiasmo, 2002b). Hal inilah yang menyebabkan mengapa penelitian di bidang anggaran pada pemerintah daerah menjadi penting dan relevan. Banyak organisasi menganggap anggaran merupakan rencana aktivitas yang akan menjadi pedoman untuk melaksanakan serangkaian aktivitas tertentu dimasa yang akan datang. Untuk membuat anggaran efektif, maka manajer memerlukan ramalan kondisi yang akan datang yang masuk akal (Nouri et all, 1996: 73). Penyusunan anggaran melibatkan berbagai pihak, baik manajer atas maupun bawah, yang secara umum memainkan peranan yang aktif dalam mempersiapkan dan mengevaluasi berbagai alternatif dari tujuan anggaran sehingga negosiasi ini merupakan komitmen manajer penyusun anggaran serta pihak-pihak yang terkait di dalamnya, dan akibatnya anggaran senantiasa digunakan sebagai tolok ukur terbaik kinerja manajer (Kren Leslie, 1992: 512).
Budgetary slack telah menjadi fokus penting dari penelitian yang ditujukan kepada desain dan implementasi sistem penganggaran organisasi yang efektif (e.g., Chow, Cooper, & Waller, 1988; Dunk, 1993; Merchant, 1985; Onsi, 1973; Stevens, 2002; Van der Stede, 2000; Young, 1985).
Budgetary slack dibuat sebagai hasil dari proses penganggaran organisasi, sumber daya dan usaha yang diarahkan pada kegiatan yang tidak dapat dibenarkan dalam hal kontribusi mereka untuk tujuan-tujuan organisasi'' (Van der Stede, 2000, p. 611). Paper ini mengkaji kecenderungan manajer untuk menciptakan
Budgetary slack dalam konteks anggaran pemerintah federal AS, di mana peran utama proses penganggaran untuk mengalokasikan sumber daya di antara subunit pemerintah dan di mana anggaran kewenangan anggaran akhir pada tingkat maksimum pembelanjaan aktivitas masing-masing unit (Peters, 2004; Wildavsky, 1984). Covaleski, Evans, Luft, and Shields (2003, p. 10) menyatakan bahwa peran alokasi sumber daya adalah salah satu fitur penting dari anggaran organisasi.
Selama penyusunan anggaran yang diusulkan Presiden, kepala unit pemerintah federal AS meminta
resource untuk operasi unit mereka pada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi (Executive Office of the U.S. President, 2004; Peters, 2004; Wildavsky, 1984). Manajer tersebut memiliki beberapa insentif untuk menciptakan slack dalam unit anggaran mereka dengan meminta peningkatan anggaran.
resource Slack memberikan alibi terhadap resiko bahwa kejadian tak terduga di masa depan akan berdampak negatif pada kemampuan unit pemerintahan untuk memberikan pelayanan (Van der Stede, 2000). Karena evaluasi dari kinerja kepala pemerintah federal dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas unit layanan mereka (Senat Bill, 1993, hal 20; USGAO, 2000), manajer akan melihat
Budgetary slack sebagai alat untuk memastikan bahwa mereka akan menerima kinerja yang dihubungkan dengan
outcome yang menguntungkan. Sebagai contoh, proteksi
Budgetary slack memberikan dampak negatif terhadap peristiwa tak terduga yang dapat meningkatkan kemungkinan bahwa manajer akan menerima imbalan ekstrinsik kinerja-kontinjen seperti promosi dan kenaikan gaji (Merchant & Manzoni, 1989; Van der Stede, 2000); bahwa mereka akan melihat diri mereka sebagai pemenang dan menghindari stigma berprestasi rendah (Merchant & Manzoni, 1989), dan mereka akan mendapatkan kredibilitas dari pejabat pemerintah lainnya yang memungkinkan mereka untuk menjual ide-ide mereka, untuk memiliki sumber daya yang dialokasikan pada unit mereka di masa depan , dan untuk mencegah intervensi dalam operasi unit (Merchant & Manzoni, 1989; Wildavsky, 1984). Kreasi
Budgetary slack juga dapat meningkatkan status kepala pemerintah federal dan pengakuan di antara pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan dalam unit anggaran mereka (misalnya, pegawai unit pemerintah dan klien perusahaan) karena ukuran alokasi anggaran merupakan indikator efektivitas manajer sebagai unit pendukung utama dalam kompetisi untuk sumber daya pemerintah yang terbatas (Niskanen, 1971). Alasan lainnya adalah bahwa kepala pemerintahan federal berusaha untuk membangun slack ke dalam unit anggaran mereka berkaitan dengan bias egosentris, dimana penerima dalam alokasi sumber daya sering meminta dan merasa menerima sebagian besar sumber daya sesuai yang mereka terima (Diekmann, Samuels, Ross, & Bazerman, 1997). Leung, Tong, dan Ho (2004, hal 407) menyimpulkan bahwa bias egosentris adalah “
deep seated and amazingly robust” pada seluruh pengaturan alokasi sumber daya.
Budgetary slack dalam bentuk unit organisasi yang menerima sumber daya yang lebih dari yang dibutuhkan dapat memiliki pengaruh disfungsional pada suatu organisasi (Nouri, 1994). Dalam konteks anggaran pemerintah federal AS, misalnya, anggaran berisi
slack akan dialokasikan pada
share yang lebih besar dari sumber daya pemerintah yang terbatas dari yang dibenarkan memberikan kontribusi mereka untuk tujuan kebijakan keseluruhan pemerintah, yang mungkin memiliki dampak negatif pada kemampuan pemerintah untuk mencapai tujuan karena sumber daya akan dialihkan dari unit yang lebih efektif (Wildavsky, 1984). Dampak negatif potensial dari
Budgetary slack menciptakan kebutuhan untuk studi yang mengidentifikasi aspek-aspek desain dan implementasi sistem penganggaran yang mempengaruhi kecenderungan manajer untuk menciptakan
Budgetary slack; Merchant (1985) dan Nouri (1994) menyatakan bahwa penelitian tersebut memberikan wawasan tentang cara mengendalikan
Budgetary slack ketika terjadi disfungsional. Variabel sistem penganggaran sebelumnya ditemukan berhubungan dengan kecenderungan untuk menciptakan
Budgetary slack atau
Budgetary slack self-rated termasuk partisipasi anggaran (misalnya, Govindarajan, 1986; Merchant, 1985; Nouri & Parker, 1996; Onsi, 1973) dan gaya kontrol anggaran yang kaku (misalnya, Onsi, 1973; Van der Stede, 2000).
Stdui menguji model yang didasarkan pada penelitian mengenai pertukaran sosial dan kesetaraan organisasi yang berhubungan dengan dua aspek sistem penganggaran -
prosedural budgetary fairness dan interaksional
budgetary fairness – pada kecenderungan manajer untuk menciptakan
Budgetary slack.
Prosedural budgetary fairness, yang mengkaji tentang desain sistem penganggaran, sejauh mana prosedur anggaran struktural organisasi formal sesuai dengan norma hak atau kesusilaan. Interaksional
budgetary fairness, yang membahas implementasi sistem penganggaran, adalah sejauh mana para pembuat keputusan anggaran menerapkan prosedur anggaran dalam cara yang sesuai dengan norma-norma manajer dari hak atau kesusilaan. Model, yang ditunjukkan dalam Gambar. 1, mengusulkan secara khusus bahwa prosedural dan interaksional
budgetary fairness mengurangi kecenderungan manajer untuk menciptakan
Budgetary slack secara tidak langsung melalui peningkatan kepercayaan atasan langsung mereka. Studi saat ini melengkapi penelitian Little, Magner, dan Welker (2002), yang menemukan bahwa prosedural dan interaksional
budgetary fairness memiliki efek interaktif pada kecenderungan untuk menciptakan
Budgetary slack seperti bahwa manajer memiliki kecenderungan yang sangat rendah untuk membuat
slack ketika prosedur anggaran formal dan atasan mengimplementasikan tentang prosedur tersebut secara adil. Sedangkan Little et al. menunjukkan bahwa prosedural dan interaksional
budgetary fairness bersama-sama mengurangi kecenderungan untuk menciptakan
Budgetary slack, studi ini menginvestigasi kemungkinan mekanisme masing-masing bentuk
budgetary fairness dalam mengurangi kecenderungan untuk membuat
slack; secara khusus dengan meningkatkan kepercayaan pada atasan langsung.
Hasil studi menunjukkan bahwa prosedur pelaksanaan anggaran formal yang
fair dan implementasi prosedur yang
fair mengurangi kecenderungan manajer untuk menciptakan
Budgetary slack, dan bahwa kepercayaan pada atasan langsung memainkan peran kunci dalam memediasi proses tersebut. Ukuran prosedural dan interaksional
budgetary fairness, di mana setiap item mengukur kriteria fairness yang berbeda, memberikan arahan kepada organisasi dan pejabat organisasi sebagai cara yang spesifik yang dapat meningkatkan
budgetary fairness.
Prosedural dan interaksional fairness dalam pengambilan keputusan organisasi telah diteliti dalam beberapa konteks, termasuk penganggaran dan setting yang terkait seperti alokasi pembayaran dan penilaian kinerja (lihat tinjauan literatur keadilan organisasi oleh Brockner & Wiesenfeld, 1996; Colquitt, Conlon, Wesson, Porter, & Ng, 2001; Greenberg, 1990). Norma-norma yang berlaku dalam menilai keadilan prosedural misalnya prosedur pengambilan keputusan formal organisasi memberikan kesempatan untuk menyuarakan opini mereka dan untuk mengambil keputusan yang tidak menguntungkan dan prosedur tersebut dilakukan dengan cara yang konsisten berdasarkan informasi yang akurat (Barrett-Howard & Tyler, 1986; Greenberg, 1986; Leventhal, 1980; Magner, Johnson, Sobery, & Welker, 2000; Tyler, 1988). Dalam menilai keadilan interaksional, karyawan menjadi lebih fokus pada faktor-faktor seperti apakah pengambil keputusan dipengaruhi oleh sensitivitas interpersonal dan memberikan penjelasan yang cukup dan jelas untuk keputusan mereka (Bies & Moag, 1986; Brockner & Wiesenfeld, 1996; Tyler & Bies, 1990 ). Prosedural dan interaksional fairness ditemukan mempunyai pengaruh penting terhadap sikap dan perilaku karyawan seperti kepuasan kerja, komitmen organisasi, perilaku anggota organisasi, evaluasi pengawasan, niatan berpindah, dan kinerja (lihat tinjauan meta analitis literatur keadilan organisasi oleh Colquitt et al., 2001). Peneliti seperti Konovosky dan Pugh (1994) dan Masterson, Lewis, Goldman, dan Taylor (2000) telah menggunakan teori pertukaran sosial sebagai dasar untuk menjelaskan mekanisme prosedural dan interaksional fairness mempengaruhi sikap dan perilaku.
Menurut teori pertukaran sosial, karyawan mengembangkan hubungan pertukaran sosial dengan organisasi mereka dan otoritas organisasi di masing-masing pihak memberikan kontribusi pada hubungan dengan harapan menerima manfaat di masa depan yang dapat dibandingkan (Masterson et al., 2000). Karyawan mencari materi (misalnya, kenaikan gaji) dan psikologis (misalnya, harga diri) manfaat dari hubungan organisasi yang sedang berlangsung (Brockner, 2002; Brockner, Siegel, Daly, Tyler, & Martin, 1997; Lind & Tyler, 1988). Dalam hubungan pertukaran sosial, sifat yang tepat dari kewajiban masing-masing pihak adalah tidak ditentukan dan dasar untuk mengukur kontribusi tidak jelas (Blau, 1964, hlm 88-97; pembahasan teori pertukaran sosial sebagian besar didasarkan pada Blau). Pertukaran Sosial berbeda dengan pertukaran ekonomi, di mana dasar yang pasti dari kewajiban masing-masing pihak ditentukan di muka, dengan cara kontrak formal yang dapat ditegakkan melalui sanksi hukum (Aryee, Budhwar, & Chen, 2002). Manfaat yang diterima karyawan dan otoritas organisasi dalam hubungan pertukaran sosial mewajibkan mereka untuk saling memberi manfaat. Karyawan merespon, dan karenanya mempertahankan hubungan pertukaran sosial, terutama melalui perilaku pada tujuan organisasi (Masterson et al., 2000).
Sementara masing-masing pihak memberikan kontribusi untuk hubungan pertukaran sosial dengan harapan umum dari beberapa return, dasar yang pasti dari return diserahkan kepada kebijaksanaan orang yang akan membuatnya. Tidak ada cara untuk menjamin return yang sesuai untuk kontribusi dalam hubungan pertukaran sosial dan dalam jangka pendek orang cenderung untuk melihat asimetri antara kontribusi dan manfaat yang mereka terima (Konovosky & Pugh, 1994). Oleh karena itu, faktor penting dalam pelestarian hubungan pertukaran sosial adalah bahwa masing-masing pihak mempercayai pihak lain untuk melaksanakan kewajiban memadai nya dalam jangka panjang (Aryee et al., 2002; Blau, 1964; Konovosky & Pugh, 1994). Trust adalah kesediaan salah satu pihak menjadi rentan terhadap tindakan pihak lain berdasarkan harapan bahwa yang lain akan melakukan tindakan penting pada pemberi kepercayaan (Mayer, Davies, & Schoorman, 1995, hal 712).
Studi ini secara konsisten menunjukkan bahwa prosedural dan interaksional fairness dalam pengambilan keputusan organisasi merupakan sumber penting dari kepercayaan karyawan dalam organisasi mereka dan otoritas organisasi (misalnya, Aryee et al., 2002; Brockner et al., 1997; Colquitt et al., 2001; Fichman , 2003; Konovosky & Pugh, 1994; Su Leung,, & Morris, 2001; Magner & Johnson, 1995; Magner & Welker, 1994; Mayer et al, 1995; Schriesheim Pillai,., & Williams, 1999 Bos Van; den, Wilke, & Lind, 1998). Brockner (2002) dan Brockner dan Siegel (1996) disebabkan fenomena ini untuk menginformasikan bahwa prosedural dan interaksional fairness menyampaikan kepada karyawan tentang sejauh mana mereka dapat mengharapkan untuk menerima manfaat bernilai dari organisasi dan wewenang organisasi dalam jangka panjang. Selanjutnya, penjelasan Brockner mengapa keadilan organisasi mempengaruhi kepercayaan diterapkan ke pengaturan anggaran dan hipotesis penelitian dikembangkan.
Mengenai interaksional
budgetary fairness, ketika pembuat keputusan anggaran melaksanakan prosedur formal dalam anggaran secara adil melalui sensitivitas interpersonal pada manajer unit dan menyediakan mereka dengan penjelasan yang jelas dan memadai untuk keputusan penganggaran, manajer cenderung melihat perlakuan sebagai sinyal bahwa mereka dinilai anggota organisasi, yang akan memberikan mereka keuntungan psikologis seperti meningkatkan harga diri. Selain itu, perlakuan tersebut menunjukkan bahwa pembuat keputusan anggaran memiliki goodwill oleh para manajer, yang memberikan jaminan kepada manajer pengambil keputusan bahwa anggaran akan menyediakan mereka keuntungan material yang wajar seperti distribusi sumber daya anggaran yang menguntungkan dan reward yang dihubungkan dengan anggaran, seperti promosi dan gaji. Manajer cenderung untuk melihat atasan langsung mereka sebagai pengambil keputusan anggaran yang memainkan peran utama dalam pelaksanaan prosedur formal anggaran, dan dengan demikian sebagai sumber utama materi bernilai dan manfaat psikologis. Selanjutnya, karena kesalahan atribusi yang mendasar (Gilbert & Malone, 1995; Heider, 1958; Ross, 1977), dimana orang cenderung menghubungkan perilaku lain yang relatif pribadi, motif, dan sikap (disposisi mereka), dibanding penyebab situasional, manajer akan cenderung untuk melihat cara atasan menerapkan prosedur formal anggaran yang stabil dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, jika manajer memahami bahwa atasan mereka melaksanakan prosedur formal anggaran dengan cara yang adil, mereka akan menyimpulkan bahwa atasan akan terus menerapkan prosedur yang fair di masa depan, dan dengan demikian akan mengharapkan untuk menerima manfaat material dan psikologis yang berasal dari pelaksanaan yang fair dalam jangka panjang. Berdasarkan harapan bahwa atasan akan memberikan manfaat jangka panjang, manajer akan menjadi lebih rentan terhadap tindakan jangka pendek atasan dalam kegiatan organisasi penting seperti anggaran sehingga memiliki kepercayaan yang lebih besar pada atasan.
Mengenai prosedural
budgetary fairness, prosedur formal anggaran organisasi yang memberikan kesempatan karyawan untuk menyuarakan pendapat mereka selama penganggaran dan untuk naik banding dalam keputusan penganggaran, menggunakan informasi akurat dalam pengambilan keputusan penganggaran, sinyal untuk manajer bahwa mereka akan menyadari
fair share keuntungan material mereka seperti anggaran yang menguntungkan dan konsekuensi reward. Prosedur anggaran formal yang fair juga memberikan manajer manfaat psikologis seperti harga diri dalam organisasi seperti prosedur organisasi yang menandakan bahwa mereka dinilai sebagai anggota organisasi. Karena prosedur organisasi formal merupakan dasar struktural dan organisasi cenderung untuk mengikuti struktur tetap, manajer akan cenderung melihat prosedur anggaran formal stabil dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, jika manajer percaya bahwa prosedur anggaran formal saat ini wajar, mereka akan menyimpulkan bahwa prosedur akan terus wajar di masa depan, dan dengan demikian akan mengharapkan untuk menerima manfaat material dan psikologis yang berasal dari prosedur tersebut dalam jangka panjang. Selanjutnya, karena atasan mereka dilihat sebagai agen utama dalam organisasi dan satu anggaran perilaku dibatasi oleh struktur prosedur anggaran formal, manajer akan melihat bahwa prosedur anggaran formal yang wajar akan meningkatkan kemampuan atasan mereka untuk memberikan mereka materi bernilai dan manfaat psikologis dalam jangka panjang. Karena manajer berharap untuk menerima manfaat jangka panjang dari atasan, mereka akan membiarkan diri mereka lebih rentan terhadap tindakan jangka pendek pengawas di berbagai bidang seperti anggaran, sehingga memiliki kepercayaan yang lebih besar pada atasan.
Karena interaksional
budgetary fairness dan prosedural
budgetary fairness meningkatkan kepercayaan manajer terhadap atasan mereka dalam rangka menyediakan materi bernilai dan manfaat psikologis dalam jangka panjang, manajer akan merasa berkewajiban untuk mempertahankan hubungan pertukaran sosial. Cara yang layak di mana manajer dapat membalas kepercayaan yang ditimbulkan oleh
budgetary fairness adalah dengan menunjukkan kecilnya kecenderungan untuk mengajukan bias perkiraan anggaran. Menciptakan slack dalam anggaran, perilaku dimaksudkan untuk memanipulasi proses anggaran organisasi sehingga seseorang memiliki kepentingan pribadi, inkonsisten dengan keinginan untuk mengembalikan kebaikan kepada organisasi dan kewenangan organisasi untuk mendesain dan melaksanakan prosedur anggaran yang adil.
Secara bersamaan, tiga hipotesis pertama menunjukkan bahwa kepercayaan pada atasan memediasi efek interaksi dan prosedur
budgetary fairness pada kecenderungan manajer untuk menciptakan
Budgetary slack. Namun, hipotesis tidak membahas pengaruh langsung interaksi dan prosedural
budgetary fairness pada kecenderungan untuk menciptakan
Budgetary slack yang di bypass kepercayaan pada atasan. Jika efek langsung tersebut terjadi, kepercayaan pada atasan secara parsial memediasi pengaruh interaksi dan prosedur
budgetary fairness pada kecenderungan untuk membuat slack. Mengingat pentingnya kepercayaan terhadap teori pertukaran sosial dari perilaku organisasi, studi sebelumnya (Aryee et al., 2002; Konovosky & Pugh, 1994) telah diusulkan, dan memberikan dukungan empiris, model yang percaya sepenuhnya memediasi hubungan antara interaksi dan prosedur
budgetary fairness dalam pengambilan keputusan organisasi serta sikap dan perilaku karyawan. Berdasarkan penelitian ini, hipotesis terakhir kami mengusulkan bahwa kepercayaan di supervisor memainkan peran yang serupa dalam konteks penganggaran saat ini.