Platform Theory of Corporate Social Responsibility Platform Theory of Corporate Social Responsibility | EUREKA
<div style='background-color: none transparent;'><a href='http://www.rsspump.com/?web_widget/rss_ticker/news_widget' title='News Widget'>News Widget</a></div>

Platform Theory of Corporate Social Responsibility

Tanggung-jawab sosial perusahaan (corporate social rsponsibility) merupakan upaya perusahaan untuk menjaga keseimbangan terhadap lingkungan sekitar baik pisik maupun psikis. Pelebaran tanggungjawab tersebut muncul sebagai akibat exterlities dis-economics yang timbul adanya industrialisasi (eksistensi perusahaan), seperti pencemaran, emisi debu, radiasi, kebisingan, hujan asam, serta bentuk externalities lainnya.

Negative externalities tersebut mengakibatkan cost yang harus ditanggung oleh stakeholders, sementara mereka adalah pihak yang tidak turut langsung menikmati peningkatan kesejahteraan (hasil) dari perusahaan. Dari situlah awal munculnya ketidak-keseimbangan antara kepentingan perusahaan sebagai unit bisnis dengan kepentingan stakeholders (incongruencesi). Implikasinnya, terjadi protes stakeholders terhadap perusahaan. Untuk mengurangi klaim (protes) tersebut dapat dilakukan lewat mekanisme social cotract berupaka peningkatan corporate social responsibility (CSR).

Perdebatan seputar social responsibility mengalami pasang surut dan berkembang secara meruang dan mewaktu. Problem inti yang terkandung dalam tananggung-jawab sosial (social responsibility) adalah integritas pelaksanaan etika bisnis (business ethics) oleh pelaku bisnis. Dikatakan deminkian, social responsibility merupakan perwujudan kesadaran pelaku bisnis (industri) atas externalities dis-economics yang ditimbulkan. Problematika menjadi semakin melebar ketika para pihak tidak konsisten terhadap upaya menjaga keseimbangan, mengingat dalam tanggungjawab sosial mengadung cost yang cukup besar.

Trevino dan dan Nelson (1995) menyatakan bahwa dilema etika berada pada koordinat diametral yaitu antara situasi benar dan salah, yang mana value tersebut bersifat kontradiksi (conflic) dalam banyak aktivitas bisnis. Itu, merupakan satu problema yang sulit dan selalu dihadapi bisnis organisasi termasuk para pelaku bisnisya. stakeholders berharap para pelaku bisnis (perusahaan) memahami tanggungjawab atas persoalan yang timbul di masyarakat. Kasus Nike di Amerika, satu contoh riil bagaimana perusahaan menghadapi dilema penolakan produk oleh para konsumen akibat pelanggaran etik bisnis berupa eksploitasi tenaga kerja di negara-negara berkembang.

Milton Friedman (1970) menyatakan bahwa manajemen perusahaan memiliki tanggungjawab untuk meningkatkan (maximize) keuntungan bagi para pemilik (shareholders). Trevino dan Nelson (1995) berpendapat bahwa manajemen seharusnya meningkatkan keuntungan (money) berdasar dan tidak bertentang dengan keberadaan masyarakat (society). Artinya, perusahaan dalam mengejar keuntungan sebagai mana filosofi keberdaan perusahaan hendaknya memperhitungkan kepentingan dan norma masyarakat yang mengitarinya.

Terkait dengan keterhubungan antara ethics, individu, managers, employee dan stakehoders, terdapat dua pendekatan yang selalu digunakan dalam banyak studi terkait dengan ethics yaitu perspective approaches dan psychological approaches. Perspective approach difokuskan pada “what” the business should do to make the best etihical decision-making. Sementara, psycological approach difokuskan pada “how” people make basic ethical decision.

Terdapat tiga konsep dasar etika (basic ethical concept) dalam implementasi perspective approach, antara lain: (1) utilitarianism concept (Bentam, 1748-1873 dan John Stuart Mill, 1806-1873); (2) deontological concept (Immanuel Kant, 1724 -1804 dan John Rawls, 1971); (3) integrity concept or virtue ethics.

Konsep utilitarian (utilitarianism concept) (Bentham dan John Stuart Mill, 1806) memberikan arahan “emphasis consequence of an action on individuals affected by an action” . Lebih lanjut dinyatakan “balancing social harm and benefit in making a decision that maximise net benefit and minimise overall harm for all stakeholders” .

Konsep deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Suatu tindakan dikatakan baik bukan dinilai dan dibenarkan atas dasar akibat dari tindakan itu. Satu tindakan dikatan baik, dilihat dari tindakan tersebut baik adanya. Dengan demikian, satu tindakan dikatakan baik (bermoral) karena tindakan tersebut dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan, terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan tersebut (Ghazali Iman, 2006).

Konsep integritas (integrity concept or virtue concept) difokuskan pada integgrity of the moral actors such as the actor’s charactors, motivation, and intentions. sebagaimana yang dinyatakan oleh Aristoteles dan Plato bahwa konsep integritas mengandung tiga komponen yaitu equity, fairness dan impartiality.

Teori stakeholders memberikan landasan acuan linkage antara perusahaan dengan stakeholders. stakeholders adalah semua pihak baik internal maupun eksternal yang memiliki hubungan baik bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi, bersifat langsung maupun tidak langsung oleh perusahaan. stakeholders is a group or an individual who can affect, or be affected by, the success or failure of an organization (Luk, Yau, Tse, Alan, Sin, Leo dan Raymond, 2005).
Hummels (1998) ......(stakeholders are) individuals and groups who have legitimate claim on the organization to participate in the decision making process simply because they are affected by the organization’s practices, policies and actions.
Batasan stakeholders tersebut diatas mengisyaratkan bahwa perusahaan hendaknya memperhatikan stakeholders, karena mereka pihak yang berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung atas aktifitas serta kebijakan yang diambil dan dilakukan perusahaan. Jika perusahaan tidak memperhatikan stakeholders, bukan tidak mungkin akan menuai protes, dan hal itu akan mengeliminasi legitimasi perusahaan dimata stakeholders.

Jones, Thomas dan Andrew (1999) menyatakan bahwa pada hakekatnya stakeholders theory mendasarkan diri pada asumsi, antara lain:
  1. the corporation has relationship with many constituenties groups (stakeholders) that effect and are affected by its decisions (Freeman, 1984)
  2. the theory is concerned with nature of these relationship in terms of both processes and outcomes for the firm and its stakeholders.
  3. the interests of all (legitimate) stakeholders have intrinsic value, and no set of interests is assumed to dominate the others (Clakson, 1995; Donaldson & Preston 1995) .
  4. the theory focuses on managerial decission making (Donaldson & Preston 1995) .

Berdasar pada asumsi dasar stakeholders theory tersebut, perusahaan tidak dapat melepaskan diri operasinya dengan lingkungan sosial (social setting) sekitarnya. Sehingga, terkait dengan upaya menjaga legitimasi dan going-concern, perlu kirannya mencari pembenaran (reposisi) secara tepat terhadap stakeholders. Semakin kuat posisi perusahan terhadap para stakeholders, maka semakin besar kecenderungan perusahaan mengadaptasi dan memposisikan diri ditengah-tengah stakeholders, sehingga perusahaan punya potensi kekuatan dan competitive advantage semakin besar, karena terdapat keberpihakan dan kesesuaian antara stakeholders dengan perusahaan (Adam. C.H, 2002).

Rheinald Kasali dalam Wibiosono (2007) membagi stakeholders menjadi:
  1. Stakeholders internal dan stakeholders ekesternal. stakeholders internal adalah stakeholders yang berada didalam lingkungan organisasi. Misalnya, karyawan. Manajer dan pemegang saham (shareholders). Sedangkan stakeholders eksternal adalah stakeholders yang berada diluar lingkungan organisasi seperti penyalur atau pemasok, konsumen atau pelanggan, masyarakat, pemerintah, pers, kelompok social responsibility
    investor, licening partner dan lainnya.
  2. Stakeholders primer, stakeholders sekunder dan stakeholders marjinal. stakeholders primer merupakan stakeholders yang harus diperhatian oleh perusahaan, sedang stakeholders sekunder merupakan stakeholders kurang penting, sedang stakeholders marjinal merupakan stakeholders yang sering diabaikan oleh perusahaan.
  3. Stakeholders tradisional dan stakeholders masa depan. Karyawan dan konsumen merupakan stakeholders tradisional, karena saat ini sudah berhubungan dengan organisasi. Sedangkan stakeholders masa depan adalah stakeholders pada masa yang akan datang diperkirakan akan memberikan pengaruh pada organisasi seperti peneliti, konsumen potensial, calon investor (investor potensial) dan lainnya.
  4. Proponents, opponents dan uncommitted. stakeholders proponents merupakan stakeholders yang berpihak kepada perusahaan, stakeholdets opponents merupakan stakeholders yang tak memihak perusahaan, sedang stakeholders uncommitted adalah stakeholders yang tak peduli lagi terhadap perusahaan (organisasi).
  5. Silent majority dan vocal minority. Dilihat aktivitas stakeholders dalam melakukan komplain atau mendukung perusahaan, tentu ada yang menyatakan penentangan atau dukungannya secara vokal (aktif) namun ada pula yang menyatakan secara silent (pasif).
Lebih lanjut, Reinald Kasali memberikan illustrasi keterhubungan antara perusahaan dan stakeholders dalam model stakeholders map, sebagai berikut:

Gambar: 1
Linkage stakeholders dan Perusahaan

Sumebr: Wibisono (2007)


Peta stakeholders tersebut memberikan gambaran tentang keragaman para pihak yang berkepentingan. Masing-masing juga mempunyai jenis dan tingkat kepentingan yang berbeda-beda terhadap perusahaan, sehingga masing-masing mempunyai harapan dan kepuasan berbeda-beda. Karyawan, mempunyai kepentingan dan pengharapan agar perusahaan dapat memberikan kesejahteraan yang optimal kepada dirinya. Disisi lain, pemilik memiliki kepentingan agar perusahaan mampu menyumbangkan profit yang besar kepadanya. Begitu pula dengan pemerintah, mempunyai kepentingan dan pengharapan agar perusahaan mampu menyumbangkan pajak dan retribusi yang optimal. Masyarakat tak ketinggalan, mempunyai kepentingan dan pengharapan agar perusahaan dapat memberikan kontribusi sebanyaknya bagi mereka (social responsible).

Melihat posisi perusahaan ditengah lingkungan (stakeholders) tersebut, yang mana, stakeholders sangat majemuk dengan memiliki seperangkat motif yang berbeda, maka memiliki potensi memunculkan problem legitimasi. Problem legitimasi tersebut adalah tingkat rentan klaim stakeholders terhadap perusahaan akibat terjadinya pelanggaran etik (code of conduct) oleh perusahaan sehingga memunculkan incongruence-si antara harapan stakeholders adanya perusahaan dilingkungannya.

Teori Legitimasi (legitimacy theory) memberikan kerangka dasar berpikir pentingnya legitimasi stakeholders terhadap perusahaan dalam rangka menjaga going concern perusahaan. Legitimasi merupakan suatu keadaan psikologis keberpihakan orang dan kelompok orang yang sangat peka terhadap gejala lingkungan sekitarnya baik pisik maupun non pisik. Untuk itu, legitimasi mengalami perubahan sejalan dengan pergeseran koordinat ruang dan waktu (Dowling 1975).

Gray et. al, (1996) berpendapat bahwa legitimasi merupakan ” ….a systems-oriented view of organisation and society…permits us to focus on the role of information and disclosure in the relationship between organisations, the state, individuals and group”.

Deegan (2002) juga menyatakan legitimasi sebagai “ …a system-oriented perspective, the entity is assumed to influenced by, and in turn to have influence upon, the society in which it operates. Corporate disclosure are considered to represent one important means by witch management can influence external perceptions about organisation”.
Definisi tersebut, mencoba menggeser secara tegas perspektif perusahaan kearah stakeholders orientation (society). Dari batasan tersebut mengisyaratkan bahwa legitimasi perusahaan merupakan arah implikasi orientasi pertanggungjawaban perusahaan yang lebih menitik beratkan pada stakeholders perspective (masyarakat dalam arti luas).
Limbdolm (1994), “Legitimacy is dynamic in that the relevant publics continuously evaluate corporate output, methods, and goals against an ever-evolving expectation. The legitimacy gap will fluctuate without any changes in action on the part of the corporation. Indeed, as expectations of the relevant publics charge the corporation must make changes or the legitimacy gap will grow as the level of conflict increases and the levels of positive and passive support decreases”.

Gary O’Donovan (2002) memberikan illustrasi posisi gap legitimasi antara perusahaan dan stakeholders, sebagaimana digambarkan diagram berikut ini:

Gambar 2
Daerah Gap Legitimacy

Sumber: Gary O’Donovan (2002).

Dalam diagram tersebut diatas menunjukkan bahwa pada wilayah X merupakan kesesuaian (congruence) antara operasi perusahaan (corporate activities) dengan pengharapan masyarakat (society’s expectations), termasuk kesesuaian pada nilai sosial dan norma. Sedang wilayah Y dan Z merupakan ketidaksesuaian (incongruence) antara operasi perusahaan (corporation’s actions) terhadap persepsi masyarakat (gap legitimacy). Pengurangan gap legitimasi dapat dilakukan dengan jalan memperlebar wilayah X lewat strategi legitimasi (seperti dengan cara menigkatkan social responsibility dan memperluas pengungkapan termasuk pengungkapan sosial (social disclosure) (Gary O.Donovan, 2002).
Wartick dan Mahon (1994), berpendapat bahwa terjadinya kesenjangan legitimasi (legitimacy gap), disebabkan: (1) corporate performance changes while societal expectations of corporate performance remain the same; (2) societal expectation of corporate performance change while corporate performance remain the same, and; (3) both corporate performance and societal expectations change, but they either move in different directions, or they move in the same direction, but with a time lag.
Akibat tingginya gap legitimasi sebagai akibat ketidaksesuaian antara aktifitas operasi perusahaan terhadap expektasi masyarakat, memunculkan tekanan dari stakeholders. Pattric Medley (1996) memberikan illustrasi pihak-pihak yang memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung dan saling mempengaruhi terhadap perusahaan, serta memiliki potensi penekanan terhadap perusahaan manakala terjadi incongruence (gap legitimasi), sebagaimana dijelaskan dalam diagram berikut ini:

Gambar 3
Sumber Tekanan Gap Legitimasi

Sumber: Patrick Medley (1996).

Diagram tersebut diatas menunjukkan bahwa banyak pihak yang berpeluang memberikan tekanan terhadap perusahaan, seperti legislators, green group, community akibat adanya negative externalities termasuk incongruence dalam norma masyarakat. Karena, mereka merupakan agen sosial yang memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung terhadap perusahaan (stakeholders). Tak terkecuali bankers, market force, employee dan shareholders, juga memiliki kepentingan serta berupaya terlindungi kepentinganya dari klaim semua pihak. Untuk itu, ketika operasinya perusahaan tidak sesuai dengan lingkungan, dapat memicu reaksi protes dari lingkungan maka mereka akan melakukan tekanan.

Pattern (1992) menyatakan bahwa upaya yang perlu dilakukan oleh perusahaan dalam rangka mengelola legitimasi agar efektif, yaitu dengan cara:
  1. melakukan identifikasi dan komunikasi/dialog dengan publik.
  2. Melakukan komunikasi dialog tentang masalah nilai sosial kemasyarakatan dan lingkungan serta membangun persepsinya tentang perusahaan.
  3. melakukan strategi legitimasi dan pengungkapan, terutama terkait dengan masalah social responsibility.
Legitimasi stakeholders tersebut sangat penting bagi perusahaan mengingat legitimasi stakeholders memiliki peran penting dalam mendukung tujuan perusahaan. Gap legitimasi akan memiliki potensi besar terjadinya klaim atau protes stakeholders terhadap perusahaan. Hal itu, memiliki dampak terhadap eksistensi perusahaan, karena dapat mengganggu stabilitas operasiopnal dan berakhir pada profitabilitas. Upaya yang dapat ditempuh oleh perusahaan adalah melakukan kontrak sosial (social contract) antara perusahaan terhadap stakeholders.

Political Theory dapat dijadikan kerangka berpikir upaya menciptakan pareto optimal keterkaitan langsung maupun tidak langsung antara perusahaan terhadap stakeholders yang rawan illigitimasi (klaim/protes). Political theory memiliki essensi menjelaskan tentang interaksi antara dunia bisnis (perusahaan dan/atau badan usaha) terhadap masyarakat (stakeholders), yang mana, dalam interaksi tersebut mengandung kekuasaan yang tak terpisahkan antara perusahaan dan tanggungjawabnya.

Terdapat dua konsep besar dalam political theory yaitu Corporate Constitutionalism dan Corporate Citizenship. Davis (1960) menyatakan Corporate Constitutionalism mengandung makna bahwa hubungan tanggungjawab kekuasaan bisnis secara bertanggungjawab. Bisnis merupakan institusi sosial dan harus menggunakan kekuasaannya secara bertangungjawab. Donaldson (1982) dalam Chand (2006) dalam Sulistyo (2008) menyatakan bahwa sebagai integrativs social contract hubungan bisnis dan masyarakat merupakan bentuk social contract. Hal itu selajan dengan filosofi Locke menyatakan bahwa kontrak sosial antara bisnis masyarakat telah eksis sejak lama. Kontrak sosial berimplikasi pada berbagai kewajiban langsung dan tidak langsung antara dunia bisnis dan masyarakat (Sulistyo, 2008). Aplikasi kontrak sosial yang merupakan bagian dari political theory adalah praktik corporate social responsibility atas negative externalities yang ditimbulkannya dan sekaligus sebagai kontrapestasi perusahaan (dunia bisnis) terhadap stakeholders.




Klik tombol like di atas... Jika anda menyukai artikel ini.
Terima Kasih telah mengunjungi Tautan ini,
Jangan lupa untuk memberikan komentar pada form di bawah post ini.
Maturnuwun...

Subscribe in a reader

Comments :

0 comments to “Platform Theory of Corporate Social Responsibility”
Views All / Send Comment!

Post a Comment