Ranah penelitian berparadigma positivistics bertujuan untuk mengembangankan ilmu pengetahuan secara gradual, spontong-spotong. Akumulasi dari ilmu pengetahuan tersebut menjadi satu bangunan ilmu pengetahun yang utuh. Masalah penelitian dibangun atas dasar berbagai sumber, seperti meta analisis terhadap riset sebelumnya (riset gap), lewat pengamatan fenomena empiris yang kontradiksi dengan logika teori, serta kesenjangan fenomena empiris yang memiliki implikasi potensial dalam memberikan manfaat kehidupan praksis masyarakat luas sehingga perlu pemecahan.
Logika kerja penemuan masalah penelitian berparadigma positivistics (deductive hipotetico testing) yang dibangun atas dasar deviasi fenomena empiris, masalah empiris dikontradiksikan dengan teori yang melandasinya (core theory). Dengan demikian, penelitian kuantitatif tak dapat terhindarkan dari membangun kerangka pemikiran teoretik penelitian yang sekaligus merupakan ekstraksi ide dasar (orisinalitas) dari satu penelitian, mengingat penelitian kuantitatif bertujuan untuk melakukan verifikasi ataupun valsifikasi teori (pengujian teori).
Membangun kerangka pemikiran teoretik (theoretical framework), secara operasional tak lain adalah ekstraksi dari berpikir logis, integratif, koheren dalam menghubungkan antara masalah penelitian, tujuan penelitian, grand theory yang melandasai dan peta perkembangan ilmu pengetahuan yang sedang dikaji dengan recent study. Untuk itu, membangun kerangka pemikiran teoretik tak dapat dilepaskan dari upaya melakukan meta-analisis terhadap riset sebelumnya. Meta-analisis terhadap riset sebelumnya memiliki fungsi untuk mengetahui dan mendudukkan posisi dan pengembangan pengetahun lewat riset yang dilakukan terhadap teori yang sedang diuji (kontribusi teoreitik dari riset).
Sama halnya ketika mencermati perkembangan riset dibidang pergeseran pengelolaan perusahaan dari shareholders orientation kearah stakeholders orientation yang diekspresikan lewat semakin meningkatnya perhatian perusahaan terhadap praktik corporate social responsibility yang tak dapat dilepaskan dari deviasi masalah dilapangan. Wujud deviasi fenomena empiris adalah semakin meningkatnya negative externalities baik pisik maupun psikis, sehingga memunculkan social cost yang harus ditanggung oleh masyarakat (stakeholders).
Kasus Free Port di Papua yang merupakan kasus monumental berskala nasional, dimana 42 juta hektar dengan aneka ragam hayati terancam eksosistemnya, tak terkecuali suku-suku di Papua yang kehipupanya sangat bergantung pada alam (nomadis) kini kehilangan alam tempat mereka bergantung menambah sederetan dampak sosial kemasyarakatan. Ironisnya, satu gunung bernama Etrsberg yang merupakan tempat leluhur suku Amungme (menurut kepercayaan mereka) tak luput dari eksploitasi, sehingga mereka menjadi marah dan tersinggung serta merasa terjajah hak asasi keyakinannya. Belum lagi, kasus Newmond di Sulawesi, Caltex di Riau, Lapindo di Sidoarjo yang setiap hari menyemburkan lumpur panas ± 156.000 m3 perhari, jika diangkut dengan truk untuk direlokasi membutuhkan lebih dari 10.000 truk. Kejadian tersebut telah menenggelamkan 20 pabrik dan menelantarkan sekitar 2.500 orang buruh pabrik (Wibisono, 2007) serta berbagai kasus pencemaran lain baik yang berada dilingkungan industri maupun diluar industri seperti pemanasan global dan lainnya.
Melihat konteks sebagaimana dinyatakan diatas, perusahaan tidak hanya memiliki tanggungjawab terhadap shareholders sebagaimana yang dilakukan selama ini, melainkan melebar sampai tanggungjawab pada wilayah lingkungan dan sosial yang selanjutnya disebut tanggungjawab sosial (social responsibility). Keberadaan perusahaan terhadap lingkungan (stakeholders) tidak dapat dipisahkan, mereka saling mempengaruhi dan dipengaruhi baik langsung maupun tidak langsung (stakeholders theory). Untuk itu, perusahaan memiliki tanggung jawab atas segala ekses, terutama adalah ekses yang bersifat negatif. Karena, sebagaimana dijelaskan dalam political theory perusahaan harus menggunakan kekuasaan dengan penuh tanggungjawab termasuk tanggungjawab atas ekses negatif yang timbulkan (negative externalities).
Wujud tanggungjawab perusahaan terhadap stakeholders dapata dilakaukan lewat mekanisme social contract dengan stakeholders yaitu kesukarelaan dan komitmen perusahaan untuk meningkat pelaksanaan tanggungjawab sosial (social responsibility) serta meningkatkan keterbukaan terhadap khalayak umum (stakleholders) dalam bentuk social disclosure lewat berbagai media.
Dilihat dari sudut pandang perusahaan, corporate social responsibility memiliki muatan strategis terutama daya dukung keunggulan kompetitif yaitu memposisikan diri ditengah stakeholders. Sebagaimana dinyatakan dalam teori legitimasi (legitimacy theory) eksistensi perusahaan yang berada ditengah masyarakat, perusahaan memiliki tanggungjawab untuk menjaga congruence-si antara keberadaan perusahaan terhadap pengharapan masyarakat (Deegan, 2002). Gap legitimacy terjadi ketika terjadi incongruence-si antara keberadaan perusahaan dengan pengharapan stakeholders, pada saat itu dapat memunculkan reaksi (protes) masyarakat terhadap perusahaan (Deegan, 2002). Belkoui dan Karpik (1989) menyatakan bahwa gap legitimacy memunculkan reaksi stakeholders yang dapat mengganggu stabilitas dan going concern perusahaan. Untuk mengurangi gap legitimacy tersebut perusahaan dapat meningkatkan pareto optimal yaitu dengan melakukan social contract berupa peningkatan social responsibility (SR).
Dilihat dari sudut pandang ekonomi, praktik social responsibility mengadung seperangkat motif yaitu social motive dan economics motive. social motive (motive grounds) berorentasi pada keberpihakan perusahaan terhadap sosial kemasyarakatan baik yang bersifat phisik maupun psikis. social motive ditujukan untuk keberpihakan sosial murni sehingga tidak diharapkan untuk mempreoleh kontraprestasi langsung (direct impact) terhadap kinerja keuangan (ekonomi) perusahaan. Sementara economics motive dimaksudkan untuk memperoleh feed back terhadap kinerja ekonomi perusahaan, seperti menciptakaan keunggulan kompetitif perusahaan, menjaga going concern, promosi perusahaan, menjalin hubungan jangka panjang terhadap konsumen dan sejenisnya.
Melihat konteks signifikansi corporate social responsibility tersebut diatas, akhirnya menjadi issue menarik baik dikalangan praktisi maupun akademisi. Hal itu juga menjadi bagian tak terpisahkan dalam debut perkembangan ilmu akuntansi. Wujud adopsi sistemik dan akhirnya menjadi perkembangan pada disiplin ilmu akuntansi sebagai sosok social science adalah semakin berkembang akuntansi sosial (accounting social) dan kajian pengungkapan sosial (social disclosure). Wujud riil multiplier effect terhadap ilmu akuntansi adalah semakin maraknya riset akuntansi sosial, seperti social cost, social disclosure, environmental accounting, information content dalam social disclosure dan sejenisnya. Untuk memberikan ranah pemahaman, peran dan fungsi riset social responsibility terhadap perkembangan teori-teori dalam akuntansi dijelaskan dalam tawaran pengembangan kerangka teoretik corporate social responsibility, sebagai berikut:
Gambar. 1
Pengembangan Kerangka Pemikiran Teoretik
Dalam Riset Dibidang social responsibility
Sumber: Dikembangkan dari Gary O’Donovan (2002), Patrick Medley (1996), Meyer and Rowan (1977), Elkington (2007)
Gambar tersebut di atas memberikan tawaran kerangka pikir teoretis ranah pengembangan riset dibidang akuntansi sosial (social responsibility). Secara sosilologis, perusahaan merupakan kumpulan komunits orang yang memiliki tujuan yang sama, dimana keberadaanya tak dapat dilpaskan dengan lingkungan sekitar (stakeholders). stakeholders merupakan pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi baik langsung maupun tidak langsung perusahaan (stakeholderstheory .1). Untuk itu, perusahaan harus bertanggungjawab dan menggunakan segenap kekuasaannya secara bertanggungjawab baik dampak positif maupun negatif terhadap lingkungan (political theory).
Sebagai pihak yang menjadi bagian dari lingkungan masyarakat yang lebih luas, perusahaan harus menjaga harmonisasi hubungan tersebut, yaitu dengan meningkatkan tanggungjawab terhadap stakeholders. Legitimasi theory (2) menjelaskan bahwa agar perusahaan memperoleh legitimasi stakeholders, perusahaan perlu menjaga dan memelihara kesesuaian (congruence) antara pengharapan stakeholders dengan tujuan operasional perusahaan. Wilayah (bidang) Y adalah areal pengharapan stakeholders, wilayah Z adalah wilyah pengarapan operasional perusahaan, sedang wilayah X adalah wilayah kesesuaian antara harapan perusahaan dengan harapan stakeholders. Semakin besar wilayah X berarti semakin tinggi tanggungjawab sosial perusahaan dan pada saat itu legitimasi stakeholders juga semakin besar, begitu pula sebaliknya.
Upaya yang perlu dilakukan perusahaan untuk mengelimasi gap legitimasi adalah dengan memperlebar wilayah X lewat menepati standar etika (ethics value) dan sekaligus dijadikan pijakan operasional perusahaan (3) yaitu dengan melakukan kontrak sosial (social contract .4) yang secara operasional dengan meningkatkan tangungjawab sosial (social responsibility. 5). Hal itu sejalan dengan prinsip triple button line bahwa perusahaan tidak hanya bertanggung jawab untuk mengejar profit, namun juga bertangungjawab atas keselerasan, keserasian dan keseimbangan terhadap planet dan people.
Satu kandungan menarik yang dimunculkan praktik social responsibility (baik dari perspektif perusahaan maupun stakeholders) yaitu kandungan motif baik yang bersifat sosial maupun ekonomi (6,7). Hal terpenting dalam motif tersebut bahwa meskipun motif sosial (social motive) ditujukan untuk kepentingan sosial ansih bagi perusahaan, namun dalam dunia praksis ternyata memiliki implikasi positif terhadap kinerja perusahaan. Untuk itu, meningkatkanya corporate social responsibility yang mengandung dua motif (social motive dan economics motive) memiliki manfaat besar dalam mendukung perusahaan menjadi surfive (organizational survival) (8) .
Logika kerja penemuan masalah penelitian berparadigma positivistics (deductive hipotetico testing) yang dibangun atas dasar deviasi fenomena empiris, masalah empiris dikontradiksikan dengan teori yang melandasinya (core theory). Dengan demikian, penelitian kuantitatif tak dapat terhindarkan dari membangun kerangka pemikiran teoretik penelitian yang sekaligus merupakan ekstraksi ide dasar (orisinalitas) dari satu penelitian, mengingat penelitian kuantitatif bertujuan untuk melakukan verifikasi ataupun valsifikasi teori (pengujian teori).
Membangun kerangka pemikiran teoretik (theoretical framework), secara operasional tak lain adalah ekstraksi dari berpikir logis, integratif, koheren dalam menghubungkan antara masalah penelitian, tujuan penelitian, grand theory yang melandasai dan peta perkembangan ilmu pengetahuan yang sedang dikaji dengan recent study. Untuk itu, membangun kerangka pemikiran teoretik tak dapat dilepaskan dari upaya melakukan meta-analisis terhadap riset sebelumnya. Meta-analisis terhadap riset sebelumnya memiliki fungsi untuk mengetahui dan mendudukkan posisi dan pengembangan pengetahun lewat riset yang dilakukan terhadap teori yang sedang diuji (kontribusi teoreitik dari riset).
Sama halnya ketika mencermati perkembangan riset dibidang pergeseran pengelolaan perusahaan dari shareholders orientation kearah stakeholders orientation yang diekspresikan lewat semakin meningkatnya perhatian perusahaan terhadap praktik corporate social responsibility yang tak dapat dilepaskan dari deviasi masalah dilapangan. Wujud deviasi fenomena empiris adalah semakin meningkatnya negative externalities baik pisik maupun psikis, sehingga memunculkan social cost yang harus ditanggung oleh masyarakat (stakeholders).
Kasus Free Port di Papua yang merupakan kasus monumental berskala nasional, dimana 42 juta hektar dengan aneka ragam hayati terancam eksosistemnya, tak terkecuali suku-suku di Papua yang kehipupanya sangat bergantung pada alam (nomadis) kini kehilangan alam tempat mereka bergantung menambah sederetan dampak sosial kemasyarakatan. Ironisnya, satu gunung bernama Etrsberg yang merupakan tempat leluhur suku Amungme (menurut kepercayaan mereka) tak luput dari eksploitasi, sehingga mereka menjadi marah dan tersinggung serta merasa terjajah hak asasi keyakinannya. Belum lagi, kasus Newmond di Sulawesi, Caltex di Riau, Lapindo di Sidoarjo yang setiap hari menyemburkan lumpur panas ± 156.000 m3 perhari, jika diangkut dengan truk untuk direlokasi membutuhkan lebih dari 10.000 truk. Kejadian tersebut telah menenggelamkan 20 pabrik dan menelantarkan sekitar 2.500 orang buruh pabrik (Wibisono, 2007) serta berbagai kasus pencemaran lain baik yang berada dilingkungan industri maupun diluar industri seperti pemanasan global dan lainnya.
Melihat konteks sebagaimana dinyatakan diatas, perusahaan tidak hanya memiliki tanggungjawab terhadap shareholders sebagaimana yang dilakukan selama ini, melainkan melebar sampai tanggungjawab pada wilayah lingkungan dan sosial yang selanjutnya disebut tanggungjawab sosial (social responsibility). Keberadaan perusahaan terhadap lingkungan (stakeholders) tidak dapat dipisahkan, mereka saling mempengaruhi dan dipengaruhi baik langsung maupun tidak langsung (stakeholders theory). Untuk itu, perusahaan memiliki tanggung jawab atas segala ekses, terutama adalah ekses yang bersifat negatif. Karena, sebagaimana dijelaskan dalam political theory perusahaan harus menggunakan kekuasaan dengan penuh tanggungjawab termasuk tanggungjawab atas ekses negatif yang timbulkan (negative externalities).
Wujud tanggungjawab perusahaan terhadap stakeholders dapata dilakaukan lewat mekanisme social contract dengan stakeholders yaitu kesukarelaan dan komitmen perusahaan untuk meningkat pelaksanaan tanggungjawab sosial (social responsibility) serta meningkatkan keterbukaan terhadap khalayak umum (stakleholders) dalam bentuk social disclosure lewat berbagai media.
Dilihat dari sudut pandang perusahaan, corporate social responsibility memiliki muatan strategis terutama daya dukung keunggulan kompetitif yaitu memposisikan diri ditengah stakeholders. Sebagaimana dinyatakan dalam teori legitimasi (legitimacy theory) eksistensi perusahaan yang berada ditengah masyarakat, perusahaan memiliki tanggungjawab untuk menjaga congruence-si antara keberadaan perusahaan terhadap pengharapan masyarakat (Deegan, 2002). Gap legitimacy terjadi ketika terjadi incongruence-si antara keberadaan perusahaan dengan pengharapan stakeholders, pada saat itu dapat memunculkan reaksi (protes) masyarakat terhadap perusahaan (Deegan, 2002). Belkoui dan Karpik (1989) menyatakan bahwa gap legitimacy memunculkan reaksi stakeholders yang dapat mengganggu stabilitas dan going concern perusahaan. Untuk mengurangi gap legitimacy tersebut perusahaan dapat meningkatkan pareto optimal yaitu dengan melakukan social contract berupa peningkatan social responsibility (SR).
Dilihat dari sudut pandang ekonomi, praktik social responsibility mengadung seperangkat motif yaitu social motive dan economics motive. social motive (motive grounds) berorentasi pada keberpihakan perusahaan terhadap sosial kemasyarakatan baik yang bersifat phisik maupun psikis. social motive ditujukan untuk keberpihakan sosial murni sehingga tidak diharapkan untuk mempreoleh kontraprestasi langsung (direct impact) terhadap kinerja keuangan (ekonomi) perusahaan. Sementara economics motive dimaksudkan untuk memperoleh feed back terhadap kinerja ekonomi perusahaan, seperti menciptakaan keunggulan kompetitif perusahaan, menjaga going concern, promosi perusahaan, menjalin hubungan jangka panjang terhadap konsumen dan sejenisnya.
Melihat konteks signifikansi corporate social responsibility tersebut diatas, akhirnya menjadi issue menarik baik dikalangan praktisi maupun akademisi. Hal itu juga menjadi bagian tak terpisahkan dalam debut perkembangan ilmu akuntansi. Wujud adopsi sistemik dan akhirnya menjadi perkembangan pada disiplin ilmu akuntansi sebagai sosok social science adalah semakin berkembang akuntansi sosial (accounting social) dan kajian pengungkapan sosial (social disclosure). Wujud riil multiplier effect terhadap ilmu akuntansi adalah semakin maraknya riset akuntansi sosial, seperti social cost, social disclosure, environmental accounting, information content dalam social disclosure dan sejenisnya. Untuk memberikan ranah pemahaman, peran dan fungsi riset social responsibility terhadap perkembangan teori-teori dalam akuntansi dijelaskan dalam tawaran pengembangan kerangka teoretik corporate social responsibility, sebagai berikut:
Pengembangan Kerangka Pemikiran Teoretik
Dalam Riset Dibidang social responsibility
Sumber: Dikembangkan dari Gary O’Donovan (2002), Patrick Medley (1996), Meyer and Rowan (1977), Elkington (2007)
Gambar tersebut di atas memberikan tawaran kerangka pikir teoretis ranah pengembangan riset dibidang akuntansi sosial (social responsibility). Secara sosilologis, perusahaan merupakan kumpulan komunits orang yang memiliki tujuan yang sama, dimana keberadaanya tak dapat dilpaskan dengan lingkungan sekitar (stakeholders). stakeholders merupakan pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi baik langsung maupun tidak langsung perusahaan (stakeholderstheory .1). Untuk itu, perusahaan harus bertanggungjawab dan menggunakan segenap kekuasaannya secara bertanggungjawab baik dampak positif maupun negatif terhadap lingkungan (political theory).
Sebagai pihak yang menjadi bagian dari lingkungan masyarakat yang lebih luas, perusahaan harus menjaga harmonisasi hubungan tersebut, yaitu dengan meningkatkan tanggungjawab terhadap stakeholders. Legitimasi theory (2) menjelaskan bahwa agar perusahaan memperoleh legitimasi stakeholders, perusahaan perlu menjaga dan memelihara kesesuaian (congruence) antara pengharapan stakeholders dengan tujuan operasional perusahaan. Wilayah (bidang) Y adalah areal pengharapan stakeholders, wilayah Z adalah wilyah pengarapan operasional perusahaan, sedang wilayah X adalah wilayah kesesuaian antara harapan perusahaan dengan harapan stakeholders. Semakin besar wilayah X berarti semakin tinggi tanggungjawab sosial perusahaan dan pada saat itu legitimasi stakeholders juga semakin besar, begitu pula sebaliknya.
Upaya yang perlu dilakukan perusahaan untuk mengelimasi gap legitimasi adalah dengan memperlebar wilayah X lewat menepati standar etika (ethics value) dan sekaligus dijadikan pijakan operasional perusahaan (3) yaitu dengan melakukan kontrak sosial (social contract .4) yang secara operasional dengan meningkatkan tangungjawab sosial (social responsibility. 5). Hal itu sejalan dengan prinsip triple button line bahwa perusahaan tidak hanya bertanggung jawab untuk mengejar profit, namun juga bertangungjawab atas keselerasan, keserasian dan keseimbangan terhadap planet dan people.
Satu kandungan menarik yang dimunculkan praktik social responsibility (baik dari perspektif perusahaan maupun stakeholders) yaitu kandungan motif baik yang bersifat sosial maupun ekonomi (6,7). Hal terpenting dalam motif tersebut bahwa meskipun motif sosial (social motive) ditujukan untuk kepentingan sosial ansih bagi perusahaan, namun dalam dunia praksis ternyata memiliki implikasi positif terhadap kinerja perusahaan. Untuk itu, meningkatkanya corporate social responsibility yang mengandung dua motif (social motive dan economics motive) memiliki manfaat besar dalam mendukung perusahaan menjadi surfive (organizational survival) (8) .
Klik tombol like di atas... Jika anda menyukai artikel ini.
Terima Kasih telah mengunjungi Tautan ini,
Jangan lupa untuk memberikan komentar pada form di bawah post ini.
Maturnuwun...
Terima Kasih telah mengunjungi Tautan ini,
Jangan lupa untuk memberikan komentar pada form di bawah post ini.
Maturnuwun...
Comments :
Views All / Send Comment!
Post a Comment