[token: 2ADXN5SR6TUA]
Proses penyusunan APBD saat ini lebih sering dikenal dengan istilah Anggaran Berbasis Kinerja (ABK). Dasar kebijakannya adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29/2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kepmen tersebut direvisi dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. ABK adalah proses penyusunan APBD yang diberlakukan dengan harapan dapat mendorong proses tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Penerapannya diharapkan akan membuat proses pembangunan menjadi lebih efsien dan partisipatif, karena melibatkan pengambil kebijakan, pelaksana kegiatan, bahkan dalam tahap tertentu juga melibatkan warga masyarakat sebagai penerima manfaat dari kegiatan pelayanan publik. Melalui ABK keterkaitan antara nilai uang dan hasil dapat diidentifkasi, sehingga program dapat dijalankan secara efektif. Dengan demikian, jika ada perbedaan antara rencana dan realisasinya, dapat dilakukan evaluasi sumber-sumber input dan bagaimana keterkaitannya dengan output dan outcome untuk menentukan efektivitas dan efsiensi pelaksanaan program.
Secara ringkas, ada tiga tahap penting dalam penyusunan APBD, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.1. Pertama, tahap perencanaan, dengan Bappeda sebagai koordinator. Kedua, tahap penganggaran, yang dikoordinasikan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Ketiga, tahap legislasi/pengesahan, dikoordinasikan oleh TAPD dengan Tim Anggaran DPRD. Penyusunan APBD dengan pendekatan kinerja (ABK) di tingkat kabupaten dimulai dari penyerapan aspirasi masyarakat melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), yang berlangsung dari tingkat desa sampai kabupaten.
Januari-April | Mei-Agustus | Sept-Des |
---|---|---|
PERENCANAAN | PENGANGGARAN | PENGESAHAN |
Masing-masing SKPD merancang RKA dan dikonsultasikan dengan BAPPEDA | TAPD menyusun PPA dan dikonsultasikan serta dibahas bersama DPRD | Bupati/Walikota (beserta jajaran) menyusun Ranperda APBD, dan dibahas bersama DPRD |
Hasil Musrenbang menjadi salah satu bahan masukan bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk merancang usulan kegiatan tahun berikutnya, dengan dibantu oleh tim asistensi dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Usulan kegiatan yang disetujui dimuat dalam dokumen Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) dengan pagu anggaran yang ditetapkan oleh tim asistensi Bappeda.
Dokumen RASK kemudian dibahas oleh Tim Asistensi Eksekutif, yang terdiri atas Bappeda, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) dan Bagian Keuangan Sekretariat Daerah. Hasilnya dituangkan dalam dokumen Rancangan APBD (RAPBD). RAPBD dibahas oleh DPRD untuk disetujui serta dievaluasi oleh pemerintah Provinsi. Setelah pemerintah provinsi memberikan persetujuannya, RAPBD kemudian disahkan oleh DPRD menjadi APBD.
Penjabarannya kemudian disusun dalam dokumen yang disebut Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) untuk APBD tahun berjalan. Proses penganggaran berbasis kinerja sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Permendagri 9/1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah (P5D). Di dalam P5D, Bappeda berperan dalam menyusun Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (REPETADA) yang pada akhirnya menjadi APBD, sedangkan dalam sistem ABK perencanaan pembangunan dibuat oleh setiap SKPD dengan diasistensi oleh Bappeda. Selain itu, pada P5D perencanaan pembangunan masih belum terintegrasi secara menyeluruh dengan proses penganggaran. Kegiatan REPETADA pada tingkat Kabupaten/Kota meliputi: Musbangdes, Temukarya LKMD/diskusi UDKP (Unit Daerah Kerja Pembangunan) di tingkat Kecamatan, Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) Daerah Tingkat II, Perumusan dan Penyusunan Daftar Usulan proyek (DUP) oleh dinas/instansi, Rakorbang daerah tingkat I, Penyusunan dan penetapan rancangan APBD, Penyusunan Lembaran Kerja (LK), DIPDA (Daftar Isian Proyek Daerah) dan Petunjuk Operasional (PO) serta monitoring dan evaluasi.
Pemerintah kabupaten - dalam hal ini Bappeda, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda), dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) menganggap ABK adalah sesuatu yang akan berdampak baik khususnya di dalam mengarahkan perencanaan jangka panjang, menengah dan pendek yang lebih sinergis dan terintegrasi dengan penganggarannya. Melalui proses ini, SKPD diharuskan membuat suatu program yang terukur baik input, output maupun outcomenya jika ingin mendapatkan kucuran dana untuk program-program yang diajukan. Di samping itu, dana-dana yang dikeluarkan melalui APBD tiap tahunnya bisa digunakan secara efsien, efektif dan tepat sasaran.
Dengan penganggaran berbasis kinerja dan proses yang lebih partisipatif diharapkan dapat memperbaiki tata kelola pemerintahan, meningkatkan efektivitas pembangunan dan memperbaiki tingkat kehidupan masyarakat.
Muyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang)
Tahap penting dalam penyusunan APBD dengan pendekatan kinerja (ABK) di tingkat kabupaten dimulai dari penyerapan aspirasi masyarakat melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), yang berlangsung dari tingkat desa sampai kabupaten. Hasil Musrenbang menjadi salah satu bahan masukan bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk merancang usulan kegiatan tahun berikutnya, dengan dibantu oleh tim asistensi dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Usulan kegiatan yang disetujui dimuat dalam dokumen Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) dengan pagu anggaran yang ditetapkan oleh tim asistensi Bappeda.
Proses penyerapan aspirasi melalui Musrenbang tidak dilakukan oleh setiap instansi pemerintah secara terpisah, tetapi melalui perwakilan dari setiap SKPD yang hadir dalam forum musyawarah. Di satu sisi, proses penyerapan tersebut lebih praktis dan berpeluang menangkap program atau isu yang sifatnya lintas SKPD. Di sisi lain, aspirasi yang disampaikan menjadi kurang fokus pada suatu sektor tertentu, sehingga mempersulit masing-masing SKPD untuk menterjemahkan aspirasi masyarakat, sehingga usulan masyarakat yang sering terungkap lebih banyak berupa permintaan atas pembangunan prasarana fisik alih-alih pengelolaan hutan secara lestari. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana memastikan bahwa aspirasi yang tertampung tidak hanya bersifat jangka pendek, tetapi juga jangka panjang.
Penggalian aspirasi melalui Musrenbang seringkali belum dibarengi dengan data mengenai kondisi terkini yang dapat diandalkan. Padahal ketiadaan data yang terpercaya dan lengkap dapat menghambat proses penyusunan ABK, mengingat data yang lengkap dapat digunakan sebagai salah satu bahan untuk melakukan pengukuran kinerja.
Walaupun bukan satu-satunya sumber acuan (karena masih ada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, RPJMD dan Rencana strategis, Restra), seharusnya Musrenbang menjadi bahan masukan dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang selanjutnya dipedomani dalam penyusunan RAPBD. Namun dalam kenyataannya, hasil Musrenbang belum sepenuhnya menjadi acuan penyusunan program dan anggaran, dan aspirasi yang terkumpul hanya dituangkan dalam sebuah laporan yang disimpan untuk acuan di waktu yang akan datang. Hal ini karena terbatasnya waktu dan pengetahuan untuk memahami aturan ABK dan mengolah aspirasi masyarakat yang sifatnya cenderung umum.
Proses Penyusunan Anggaran Sektor Publik
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD) yang dipresentasikan setiap tahun oleh eksekutif, memberi informasi rinci kepada DPR/DPRD dan masyarakat tentang program-program apa yang direncanakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan rakyat, dan bagaimana program-program tersebut dibiayai. Penyusunan dan pelaksanaan anggaran tahunan merupakan rangkaian proses anggaran. Proses penyusunan anggaran mempunyai empat tujuan, yaitu: 1) Membantu pemerintah mencapai tujuan fiskal dan meningkatkan koordinasi antarbagian dalam lingkungan pemerintah; 2) Membantu menciptakan efisiensi dan keadilan dalam menyediakan barang dan jasa publik melalui proses pemrioritasan; 3) Memungkinkan bagi pemerintah untuk memenuhi prioritas belanja; 4) Meningkatkan transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah kepada DPR/DPRD dan masyarakat luas.
Faktor dominan yang terdapat dalam proses penganggaran adalah: 1) Tujuan dan target yang hendak dicapai; 2) Ketersediaan sumber daya (faktor-faktor produksi yang dimiliki pemerintah); 3) Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan target; 4) Faktor-faktor lain yang mempengaruhi anggaran, seperti: munculnya peraturan pemerintah yang baru, fluktuasi pasar, perubahan sosial dan politik, bencana alam, dan sebagainya.
Pengelolaan keuangan publik melibatkan beberapa aspek, yaitu aspek penganggaran, aspek akuntansi, aspek pengendalian, dan aspek auditing. Aspek penganggaran mengantisipasi pendapatan dan belanja (revenues and expenditures), sedangkan aspek akuntansi terkait dengan proses mencatat, mengolah, dan melaporkan segala aktivitas penerimaan dan pengeluaran (receipts and disbursments) atas dana pada saat anggaran dilaksanakan. Kedua aspek tersebut dianggap penting dalam manajemen keuangan publik. Namun, di antara kedua aspek tersebut aspek penganggaran dianggap sebagai isu sentral bila dipandang dari sisi waktu. Kalau aspek akuntansi lebih bersifat “retrospective” (pencatatan masa lalu), maka aspek penganggaran lebih bersifat “prospective” atau “anticipatory” (perencanaan masa yang akan datang). Karena aspek penganggaran dianggap sebagai isu sentral, maka para manajer publik perlu mengetahui prinsip-prinsip pokok yang ada pada siklus anggaran.
Claim Token: 2ADXN5SR6TUA
Terima Kasih telah mengunjungi Tautan ini,
Jangan lupa untuk memberikan komentar pada form di bawah post ini.
Maturnuwun...
Comments :
Views All / Send Comment!
Post a Comment