Daya Saing Koperasi-UMKM Dalam Persaingan Global Daya Saing Koperasi-UMKM Dalam Persaingan Global | EUREKA
<div style='background-color: none transparent;'><a href='http://www.rsspump.com/?web_widget/rss_ticker/news_widget' title='News Widget'>News Widget</a></div>

Daya Saing Koperasi-UMKM Dalam Persaingan Global

Salah satu fungsi dan tujuan didirikannya sebuah negara adalah menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Oleh karena itu, keberfungsian sebuah negara tergambar pada seberapa sejahtera dan makmur rakyatnya. Dalam teori ekonomi pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran sebuah negara diukur melalui sejumlah indikator. Dua di antaranya adalah produk domestik bruto (PDB) per kapita dan indeks pembangunan manusia (IPM). Berdasarkan data tentang kedua indikator tersebut, Indonesia hingga tahun 2010 masih berada jauh di bawah Negara maju di kawasan Asia seperti Jepang dan Korea Selatan. Bahkan di Asia Tenggara, dilihat dari IPMnya, Indonesia masih berada di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Filipina. Indonesia hanya berada lima tingkat di atas Vietnam dan 12 tingkat di atas Timor Leste. Hal tersebut, ditambah dengan tingginya disparitas pendapatan serta masih lebarnya kesenjangan antara “si kaya” dan “si miskin,” yang mengindikasikan bahwa negara dan bangsa kita masih harus bekerja keras dan—mungkin lebih tepat— bekerja cerdas untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Kaitan antara tingkat pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran dengan tatanan ekonomi nasional, khususnya kedudukan ekonomi kerakyatan yang “diwakili” oleh koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah akan menjadi fokus bahasan ini.

Koperasi merupakan salah satu dari tiga pelaku Pelaku ekonomi Indonesia (BUMN/BUMD, koperasi dan BUMS), dan koperasi merupakan satu-satunya pelaku usaha yang eksistensinya diakui dalam undang-undang dasar 1945, yang bahkan diharapkan dapat menjadi soko-guru perekonomian Indonesia. Meskipun tujuan ideal koperasi sebagai soko guru dalam perekonomian Indonesia, namun peran koperasi kalah jauh dibandingkan BUMN / BUMD apalagi dengan BUMS. Bahkan pada tahun 1992 dalam perekonomian global muncul trend ekonomi berbasis konglomerasi. Hal ini berpengaruh kuat dalam perekonomian bangsa dan membuat kehidupan koperasi dan semagatnya semakin tidak begitu populer lagi.

Namun krisis moneter yang melanda beberapa negara di kawasan Asia (Korea, Thailand, Indonesia, Malaysia ) pada tahun 1997 memberikan pembelajaran yang sangat berharga bagi pengambil kebijakan dan keputusan serta pengaturan regulasi bahwa sesungguhnya pengembangan ekonomi bangsa yang berbasis konglomerasi rentan terhadap badai krisis moneter. Sementara itu, pada saat yang sama kita dapat menyaksikan bahwa ekonomi kerakyatan dan lembaga keuangan mikro (di antaranya adalah koperasi) – yang sangat berbeda jauh karakteristiknya dengan ekonomi konglomerasi – mampu menunjukkan daya tahannya terhadap gempuran badai krisis moneter yang melanda Indonesia. Lembaga keuangan mikro terbukti telah dapat menjaga kesinambungan hidupnya dengan mandiri. Melalui keuangan mikro kebangkitan ekonomi rakyat maupun pengurangan kemiskinan, akan dilakukan oleh rakyat sendiri. Masyarakat menemukan jalannya sendiri untuk mengatasi persoalan yang mereka hadapi.

Dengan demikian sektor KUKM dapat menjadi pengganjal untuk tidak terjadinya kebangkrutan perekonomian, bahkan sebaliknya dapat diharapkan sebagai motor penggerak roda perekonomian nasional untuk keluar dari krisis. Tentu saja hal ini merupakan sesuatu yang patut dicermati, pada satu sisi peranan koperasi dalam perekonomian nasional masih jauh tertinggal, namun pada sisi yang lain keberadaan koperasi dan UKM pada masa badai krisis justru memberi peranan yang cukup berarti.

Dalam sejarahnya, koperasi sebenarnya bukanlah organisasi usaha yang khas berasal dari Indonesia. Kegiatan berkoperasi dan organisasi koperasi pada mulanya diperkenalkan di Inggris di sekitar abad pertengahan. Pada waktu itu misi utama berkoperasi adalah untuk menolong kaum buruh dan petani yang menghadapi problem-problem ekonomi dengan menggalang kekuatan mereka sendiri. Kemudian di Perancis yang didorong oleh gerakan kaum buruh yang tertindas oleh kekuatan kapitalis sepanjang abad ke 19 dengan tujuan utamanya membangun suatu ekonomi alternatif dari asosiasi-asosiasi koperasi menggantikan perusahaan-perusahaan milik kapitalis (Moene dan Wallerstein, 1993). Ide koperasi ini kemudian menjalar ke AS dan negara-negara lainnya di dunia. Di Indonesia, baru koperasi diperkenalkan pada awal abad 20.

Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju dan negara berkembang memang sangat diametral. Di Barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidak-adilan pasar. Perekonomian pasar yang digerakkan oleh para kapitalis dalam mengejar keuntungan pribadi tidak memberi ruang gerak untuk kaum marjinal. Hal ini disebabkan karena kaum marjinal tidak mempunyai akses pada (kapital) modal yang faktor kunci bagi seorang pelaku ekonomi untuk dapat berperan secara efektif dalam perekonomian pasar. Ketidak-adilan pasar tersebut direspon oleh kaum marjinal dengan menghimpun kekuatan bersama dalam suatu wadah yang dikenal koperasi. Di negara maju gerakan koperasi telah mampu menempatkan koperasi sebagai fenomena global yang menjadikan koperasi merupakan alternatif bagi perekonomian pasar. Bahkan, di berbagai negara, pemerintah telah membuat peraturan perundangan untuk mengatur dan melindungi keberadaan koperasi sebagai respon atas tuntutan masyarakat.

Sedangkan pada negara berkembang seperti Indonesia, koperasi hadir sebagai institusi yang akan menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Pemerintah menempatkan koperasi sebagai instrumen negara untuk memajukan kemakmuran masyarakat. Sehingga tidaklah aneh bila pemerintah mencoba membuat pengembangan koperasi sebagai suatu gerakan massal, tanpa memperhatikan perlunya ikatan sentimental antar anggota dalam pengembangan suatu koperasi seperti yang terjadi di negara Barat.

KINERJA KOPERASI DI INDONESIA
Dalam sistem perekonomian Indonesia dikenal ada tiga pilar utama yang menyangga perekonomian, yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), dan Koperasi. Ketiga pilar ekonomi tersebut mempunyai peranan yang masing-masing sangat spesifik sesuai dengan kapasitasnya. Sayangnya, dari ketiga pilar itu, koperasi secara umum merupakan pilar ekonomi yang "jalannya paling terseok" dibandingkan dengan BUMN dan apalagi BUMS.

Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja koperasi adalah perkembangan volume usaha dan sisa hasil usaha (SHU). Berdasarkan data laporan Kementerian Negara Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa kedua indikator tersebut mengalami peningkatan selama periode 2000-2010. Untuk volume usaha, nilainya naik dari 23,1 triliun rupiah (tahun 2000) ke 76,8 triliun rupiah tahun 2010; sedangkan SHU dari 695 miliar rupiah (tahun 2000) ke 3,1 triliun rupiah tahun 2001. (Tabel 1). Pada tahun 2010 jumlah SHU koperasi aktif mencapai 5.622 miliar rupiah sedangkan modal luar koperasi aktif sekitar 34.687 miliar rupiah.

Tabel 1.
Perkembangan Usaha Koperasi (Dalam Jutaan Rupiah)
TahunModal Sendiri (MS)Modal Asing (MA)Rasio MS/MAVol. UsahaSHUVol/SHU
2000 6,816,950.25 12,473,404.16 0.54723,122,224.43 694,502.00 3.00%
2001 11,699,952.00 16,322,599.10 0.717 38,730,174.95 3,134,446.41 8.09%
2002 8,568,530.30 14,773,180.65 0.580 28,415,411.31 988,516.72 3.48%
2003 9,419,987.16 14,939,422.15 0.631 31,683,699.39 1,871,926.70 5.91%
2004 11,989,451.50 16,897,052.35 0.710 37,649,091.04 2,164,234.54 5.75%
2005 14,836,208.0618,179,195.39 0.816 40,831,693.562,198,320.31 5.38%
200616,790,860.53 22,062,212.00 0.761 62,718,499.78 3,216,817.65 5.13%
2007 20,231,699.45 23,324,032.14 0.867 63,080,595.81 3,470,459.45 5.50%
2008 22,560,380.03 27,271,935.23 0.827 68,446,249.39 3,964,818.55 5.79%
2009 28,348,727.78 31,503,882.17 0.900 82,098,587.19 5,303,813.94 6.46%
2010 30,102,013.90 34,686,712.67 0.868 76,822,082.40 5,622,164.24 7.32%<
Sumber: Kementrian Koperasi dan UKM, dari berbagai tahun terbitan.

Secara historis pengembangan koperasi di Indonesia telah digerakan dengan dukungan kuat dari program pemerintah yang berlangsung dalam periode waktu cukup lama. Globalisasi perekonomian dan reformasi politik dalam negeri telah membuat tidak mungkin lagi mempertahankan dukungan pemerintah dalam pengembangan koperasi di negeri ini. Disamping itu, koperasi telah melahirkan semangat kewirausahaan, dengan menerima pelatihan dengan mengurus dan mengelola koperasi.

Keberadaan semangat kewirausahaan inilah yang menjadi faktor kunci dalam pesatnya perkembangan koperasi paska krisis. Koperasi dan UMKM merupakan wahana pemberdayaan masyarakat lemah dan bergerak di berbagai sektor ekonomi, ternyata jumlahnya cukup besar dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan data laporan Kementerian Negara Koperasi dan UKM, sampai dengan tahun 2010, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 177.000 unit lebih, dengan jumlah penyerapan tenaga kerja sebanyak 30.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif tahun 2010, sebanyak 124,855 unit (88,14 persen) (Kementrian Koperasi dan UKM, Desember 2010).

Tabel 2.
Rekapitulasi Data Koperasi Indonesia
TahunJumlah KoperasiJumlah Anggota TahunJumlah KoperasiJumlah Anggota
AktifTotal AktifTotal
200088,930103,07727,295,893 200698,944141,32627,776,133
200189,756110,76623,644,850 2007104,999149,79328,888,067
200292,531118,64425,007,601 2008108,930154,96427,318,619
200393,800123,18127,282,658 2009120,473170,41129,240,271
200493,402130,73027,523,053 2010124,855177,48230,461,121
200594,818134,96327,286,784 2011n.a.n.a.n.a.
Sumber: Kementrian Koperasi dan UKM, dari berbagai tahun terbitan.

Peranan dan keberadaan sektor Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (KUKM) di Indonesia diakui sangat penting dalam perekonomian nasional. Selama krisis ekonomi, Koperasi dan UMKM telah berperan dalam penyerapan tenaga kerja, pemberian pelayanan ekonomi yang luas kepada masyarakat dan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat. Ditinjau dari kontribusi UKM terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), tercatat pada tahun 2008 besaran PDB yang diciptakan UKM mencapai nilai Rp. 1.165.257,5 milyar atau 58,3 % dari total PDB nasional, sedangkan pada tahun 2007 kontribusi UKM baru mencapai 58,4% dari total PDB nasional. Jumlah koperasi dan UMKM yang cukup besar tersebut ternyata belum diikuti dengan peningkatan kualitasnya secara umum.

Tabel 3.
Kontribusi Koperasi dan UKM Terhadap Pembentukan Produk Domestik Bruto (GDP)
TahunKontribusi Terhadap GDP
Koperasi dan UKMKonglomerasi
Jumlah (Million Rp)Pangsa (%)Jumlah (Million Rp)Pangsa (%)
2005979.501,355,95771.314,044,05
20061.035.615,358,49734.893,041,51
20071.100.670,958,44782.878,241,56
20081.165.753,258,35832.184,841,65
20091.214.725,358,17873.567,041,83
Sumber: Kementrian Koperasi dan UKM, 2010.


Saat keterpurukan perekonomian pasar yang menghasilkan pengangguran dan kemiskinan besar-besaran di negeri ini, koperasi telah tampil sebagai ’juru selamat’ bagi mereka yang terpinggirkan dari perekenomian kapitalistik. Sekarang ini, koperasi telah menjadi sumber penghidupan bagi 91,25 juta orang yang sebagian besar ada di pedesaan, sedangkan usaha besar hanya mampu menyerap 2,52 juta orang (Nasution, 2008).

Penguatan koperasi sebagai usaha ekonomi yang berbasis pada kerakyatan haruslah berkesinambungan dan mampu bertahan dengan terus beradaptasi dengan kondisi ekonomi dan bisnis yang terus berubah. Dengan demikian, perlunya pemahaman bisnis dan unit usaha dalam koperasi menjadi salah satu keharusan, sehingga koperasi dapat bersaing dengan sektor lainnya. Sehingga koperasi perlu untuk meningkatkan sense of bussines-nya sebagaimana yang diungkapkan Prahalad dan Hamel (1990) sebagai kompetensi inti (core competencies) dalam kegiatan usaha.

Hubungan antara koperasi aktif dan kondisi ekonomi atau pendapatan per kapita bisa positif atau negatif. Dari sisi permintaan (pasar output), pendapatan per kapita yang tinggi yang membuat prospek pasar output baik, atau pasar output dalam kondisi booming, memberi suatu insentif bagi perkembangan aktivitas koperasi karena pelaku-pelaku koperasi melihat besarnya peluang pasar (ceteris paribus). Fenomena yang bisa disebut efek demand-pull. Dari sisi penawaran (pasar input; dalam hal ini petani atau produsen), pendapatan per kapita yang tinggi yang menciptakan peluang pasar atau peningkatan penghasilan bagi individu petani atau produsen bisa menjadi suatu faktor disinsentif bagi kebutuhan para petani atau produsen untuk membentuk koperasi. Fenomena yang dapat disebut supply-push.

Fenomena supply-push mau mengatakan bahwa sekelompok petani atau produsen terpaksa membentuk koperasi karena kondisi pasar yang tidak menguntungkan mereka jika beroperasi secara individu. Adanya monopoli oleh sebuah perusahaan besar yang mempunyai keunggulan harga sehingga dengan berkoperasi para petani/produsen lebih mempu meningkatkan efisiensi harganya sehingga bisa bersaing dengan perusahaan tersebut (bargaining power lebih kuat). Pada tingkat lebih agregat atau makro, fenomena ini bisa diukur oleh tingkat pendapatan per kapita atau tingkat kemiskinan atau tingkat pengangguran. Hipotesisnya adalah bahwa semakin rendah tingkat pendapatan per kapita atau semakin tinggi tingkat kemiskinan atau tingkat pengangguran semakin banyak jumlah koperasi (atau koperasi aktif), terutama koperasi kredit.




Klik tombol like di atas... Jika anda menyukai artikel ini.
Terima Kasih telah mengunjungi Tautan ini,
Jangan lupa untuk memberikan komentar pada form di bawah post ini.
Maturnuwun...

Subscribe in a reader

Comments :

0 comments to “Daya Saing Koperasi-UMKM Dalam Persaingan Global”
Views All / Send Comment!

Post a Comment