Permasalahan Principal - Agent Theory dalam proses penganggaran terkait dengan fenomena budgetary slack, yang sering diistilahkan juga sebagai padding the budget (Hilton, 1994). Budgetary slack adalah suatu kecenderungan yang dilakukan oleh manajer agen pada saat diberi kesempatan berpartisipasi menyusun anggaran, akan melakukan underestimate revenue atau overestimate expenditure.
Hal ini dilakukan karena anggaran digunakan sebagai dasar penilaian kinerja manajer agen sehingga untuk memudahkan tingkat pencapaiannya mereka akan melakukan Budgetary slack. Berdasarkan pengamatan penulis terhadap berbagai penelitian sebelumnya, disimpulkan bahwa variabel yang mempengaruhi dapat digolongkan dalam tiga jenis, yaitu faktor environmental, organisasional dan individual. Faktor environmental terdiri dari kondisi ekonomi, politik (Mayper et al., 1991), teknologi (Merchant, 1985), uncertainty environment (L,eavins et al., 1995, Darlis, 2001), social pressure (Stevens, 1996,2000). Faktor organisasional terdiri dari tingkat desentralisasi (Leavins, et al., i99-5), reward system (Govindrajan, 19$6 ; Chow et al., 1988), budaya (Henrika & Mardiasmo, 2002), pantisipasi (Young, 1985 ; Govindraian, 1986 ; Dunk, 1993 ; Leavins et al., 1995), budget pressure (Leavins et al., 1995), budget attainability (Moore et al. 2000), information asymetri (Young, 1985 ; Dunk, 1993 ; Dunk & Perera, 1997 ; Moore et al., 2000 ; Douglas & Wier, 2000 ; Henrika & Mardiasmo, 2002) dan, organizational commitment (Darlis, 2001 ; Henrika & Mardiasmo, 2002). Faktor individual antara lain etika, moral (Stevens, 1996 ; Douglas & 'Xier, 2000 ; Blanchette et al., 2002).
Sebaliknya dari sisi prinsipal, seperti yang diungkapkan Jensen dan Meckling untuk mencegah moral hazard agen hendaknya diberlakukan sistem kontrol yang ketat. Didukung temuan Lau (1997) yang menunjukkan bahwa sistem akuntansi berpengaruh negatif terhadap Budgetary slack.
Penelitian Budgetary slack pada organisasi sektor publik tidak sesemarak pada organisasi sektor swasta. Beberapa peneliti yang telah meiakukan antara lain Mayper et al. (1991) ; Moore et al. (2000) ; Mardiasmo (2001) ; Henrika dan Mardiasmo (2002). Karakteristik penganggaran publik yang berbeda dengan karakteristik penganggaran sektor swasta bukan tidak mungkin menjadi salah satu penyebab. Kompleksitas penganggaran publik yang melibatkan berbagai konstituen dengan kepentingan berbeda membutuhkan analisis Principal - Agent Theory yang lebih seksama. Disamping itu penanggungjawab/pembuat anggaran publik yang bervariasi menurut variasi juridiksi masing-masing daerah bisa menjadi penyebab pula. Lee dan Johnson (1998), menyatakan bahwa pada daerah yang juridiksinya lemah, dimana ekskutif dalam hal ini mayor atau walikota adalah lemah, maka line agency (misal Kepala Dinas) dapat langsung mengajukan permintaan anggaran kepada legislatif.
Penerapan Principal - Agent Theory dalam proses penganggaran sektor publik berbeda dengan sektor swasta. Pada sektor swasta diterapkan konsep Principal - Agent Theory tradisional dengan one agen-one principal. Pada organisasi sektor publik dimana terjadi pola hubungan yang lebih rumit dan kompleks maka Principal - Agent Theory tidak dapat digunakan. Pada sektor publik, khususnya dalam proses pembuatan anggaran, maka anggaran merupakan hasil kerjasama dua pihak yaitu legislastif dan ekskutif yang dalam kerangka demokrasi ditujukan untuk kepentingan rakyat. Jadi ada tiga faktor yaitu legislatif, ekskutif dan rakyat.
Bream et al. (2002), menyatakan bahwa hubungan, principal-agent adalah serangkaian hubungan serial yang kompleks dan melibatkan berbagai elemen pemerintah yang berbeda, yang dapat berfungsi balk sebagai prinsipal maupun agen secara bersama. Breaux menggunakan principal agent dalam kasus penilaian privatisasi. Breaux membuktikan bahwa Principal-Agent Theory tradisional tidak mampu menjelaskan kompleksitas hubungan antar konstituen sektor publik khususnya pada pemerintah demokrasi.
Greenberg (1996) dalam Darsono (2001), membahas Principal - Agent Theory sektor publik dan menghubungkannya dengan pencurian atau korupsi. la berpendapat bahwa korupsi dilakukan secara hirarkis. Hal ini bisa terjadi karena korupsi dilakukan dengan memanfaatkan asymmetry information (Darsono, 2001). Koruptor memiliki superior information dibandingkan pihak lainnya. Superior dalam hal pengetahuan, pengalaman, kemarnpuan negosiasi, kekuatan organisasi dan sebagainya (Wood, 1994 dalam Darsono, 2001).
Proses Penganggaran Daerah di Indonesia dalam Konteks Principal Agent Theory
Scarpello dan Jones (1996) sebagaimana dikutip dalam Darsono (2001) menyatakan bahwa hubungan prinsipal-agen bersifat hirarkis. Pada tingkat manajemen di bawahnya terjadi hubungan antara prinsipal dan agen. Prinsipalnya adalah manajer puncak sedangkan agennya adalah manajer menengah. Hal inipun berlaku pada penganggaran sektor publik.
Rantai hubungan penganggaran daerah dapat ditunjukkan dalam konteks Principal - Agent Theory dengan mengacu pada pendapat Moe (1984) dalam (2001). Moe menggunakan unit analisis negara, dengan 5 rantai yaitu:
- voters-legislature,
- legislature-government,
- ministry of finance-spending agency,
- minister-bureaucrats,
- senior bureaucratst down to service provider.
Rantai 4 dan 5 tidak terjadi pada proses penganggaran daerah. Rantai pembuatan anggaran sektor publik yang berjenjang ini membuat adanya perangkapan peran. Sebagai contoh adalah legislatif, dalam rantai pertama legislatif berperan sebagai agen, namun sebaliknya pada rantai kedua legislatif berperan sebagai prinsipal.
Pada pemerintahan yang menganut azas demokrasi maka prinsipal utama adalah rakyat. Legislatif adalah lembaga perwakilan rakyat, keberadaannya dimungkinkan karena rakyat (voters) telah memilihnya. Dengan demikian berdasarkan hubungan prinsipal - agen, maka legislatif memiliki peran sebagai agen yang terikat kontrak untuk mewakili kepentingan rakyat sebagai prinsipal.
Peran Rakyat (voters) Sebagai Prinsipal
DPRD merupakan perwakilan rakyat sehingga DPRD harus bertanggung jawab pada prinsipal utama sektor publik yaitu rakyat. Masalahnya adalah bahwa demokrasi ditakdirkan untuk bersifat illusive dan imposible. Bersifat illusive sebab elit sebenarnya hanya bertanggungjawab diantara mereka sendiri, tidak pernah langsung ke rakyat. Bersifat imposible sebab elit, sekali terpilih mewakili rakyat melalui pemilu, dapat dengan mudah mengatasnamakan kepentingan pribadi (personal interest) sebagai kehendak rakvat (the will of the peoule) (Plamenatz, 1996 dalam Syamsudin, 2001).
Inilah permasalahan utama dalam hubungan voters dan legislatif, dengan kewenangan DPRD yang semakin besar akibat UU 22/1999 belum ada sistem kontrol yang jelas dalam mekanisme pengaturan yang resmi untuk melakukan pengawasan terhadap DPRD (Yudoyono, 2002). Beberapa jawaban selama ini mengatakan bahwa yang mengawasi DPRD adalah rakyat. Jika ada anggota DPRD yang melakukan penyimpangan, pelanggaran dan berperilaku menyimpang maka rakyat yang akan menegur dan menghukum.
social pressure adalah cara yang dapat dilakukan rakyat melalui peran berbagai parliament watch, media dan bahkan aksi langsung dengan kekuatan massa melalui berbagai demonstrasi. Sejak reformasi, banyak bermunculan NGO yang memiliki visi melakukan pengawasan balk terhadap legislatif maupun ekskutif. Di tingkat pusat terdapat ICW, di daerah juga muncul NGO dengan visi serupa, misalnya di Bandung terdapat BIGS (Bandung Institute of Governance), di Surabaya terdapat KPKD (Konsorsium Pemantau Kinerja Dewan), di Jombang ada ICDHRE. Banyak cara yang dilakukan lembaga ini antara lain berperan aktif dengan melakukan monitoring dan edukasi untuk masyarakat melalui debat publik, atau bahkan membuka situs sendiri di internet, seperti yang dilakukan ICDHRE. social pressure juga dapat dilakukan melalui peran media, yang di masa reformasi ini media memiliki lebih banyak kebebasan dibandingkan pada era orde baru.
Peran Legislatif Sebagai Agen
Dalam proses penganggaran publik, legislatif memiliki peran yang sangat penting. Di Indonesia, UU 22/1999 mengatur peran legislatif dalam penyusunan anggaran, dimana dalam pasal 18 ayat e dinyatakan bahwa DPRD bersama-sama dengan Gubernur, Bupati/Walikota menetapkan APBD. Peran legislatif semakin krusial, karena dalam tahap ratifikasi memiliki peran sebagai pihak yang berwenang mengesahkan APBD. Oleh karena itu dalam paradigma baru penganggaran publik penting bagi DPRD untuk mendengarkan aspirasi rakyat melalui hearing dengan berbagai komponen yang mewakili rakyat seperti LSM, Perguruan Tinggi, kuesioner, kotak pos, media massa dan lain-lain.
Di sisi lain, menguatnya peran legislatif di masa reformasi, sifat demokrasi yang illusive dan imposible dan tidak adanya pengaturan pengawasan formal terhadap DPRD menyebabkan meningkatnya dysfunctional behavior. Berita miring tentang besarnya gaji dan fasilitas anggota DPRD; kasus korupsi DPRD banyak muncul di berbagai media. DPRD seringkali dituduh tidak mementingkan aspirasi rakyat tapi lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Tim peneliti CSIS (2001) menemukan bahwa pada lingkungan DPRD, kebanyakan cenderung menjadi birokratis, dalam pengertian fungsi keanggotaan dan kepemimpinan dalam institusi ini dianggap sebagai jabatan, dan yang bahkan harus bersifat hirarkis. Akibatnya, tuntutan-tuntutan untuk memenuhi kebutuhan anggota dan pimpinan DPRD lebih menjadi perhatian daripada kepentingan dan aspirasi masyarakat dan daerah setempat.
Peran Legislatif Sebagai Prinsipal
DPRD adalah pengemban fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan di daerah. Pasal 18 UU no.22 Tahun 1999 mengatur pengawasan DPRD terhadap pelaksanaan Perda, Pelaksanaan Keputusan Gubernur, Bupati dan Walikota, pelaksanaan APBD, pelaksanaan kebijakan daerah dan pelaksanaan kerjasama internasional di daerah.
Pengawasan DPRD berada pada dimensi politik bukan dimensi administrasi yang dilakukan pengawas fungsional (Yudoyono, 2002). Tugas pengawasan DPP.D lebih ditekankan pada segi hubungan antara penggunaan kekuasaan ekskutif dengan kondisi kehidupan rakyat di daerah, apakah rakyat telah memperoleh pelayanan semestinya. Pengawasan pada dimensi administrasi dilakukar. oleh lembaga pengawas fungsional seperti BPK, BPKP, Bawaskot, Bawasda.
Mardiasmo (2001) membedakan istilah pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan. Pengawasan mengacu pada suatu bentuk monitoring yang dilakukan oleh pihak di luar ekskutif (dalam hal ini DPRD dan masyarakat). Pengendalian merupakan internal control yang berada di bawah kendali eksekutif (pemerintah daerah) untuk menjamin bahwa strategi dijalankan secara baik sehingga tujuan organisasi dapat dicapai, sedangkan pemeriksaan dilakukan oleh badan yang memiliki kompetensi dan independensi untuk mengukur apakah kinerja yang telah dicapai ekskutif sudah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.
Perubahan mendasar akibat PP 105%2000 yang mensyaratkan penggunaan anggaran kinerja dan perubahan sistem akuntansi keuangan pemerintah daerah dari single entry system menjadi double entry system, dan keharusan untuk melaporkan pertanggungjawaban APBD dalam bentuk laporan keuangan yang terdiri dari laporan perhitungan APBD, Nota perhitungan APBD, Laporan Arus kas dan Neraca daerah yang dilengkapi penilaian kinerja berdasarkan tolok ukur Renstra pada dasarnya merupakan upaya rneningkatkan sistem kontrol yang lebih memadai. Dengan Demikian diharapkan tuntutan masyarakat akan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah dapat dipenuhi.
Peran Eksekutif Sebagai Agen
Kepala Daerah sebagai kepala eksekutif di daerah pada hakekatnya berkewajiban atas terse lenggaranya pemerintahan. Tugas utama eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan pada dasarnya bertujuan untuk memaksimalkan kepuasan rakyat sebagai prinsipal utama sektor publik. Kebijakan yang dibuat harus be-rorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan yang berorientasi pada rakyat secara kuantitatif dapat dianalisis melalui perbandingan besarnya belanja rutin dan belanja pembangunan pada APBD. Hakim (2003) menyatakan bahwa kebanyakan daerah di Indonesia komposisi belanja rutin yang diinterpretasikan untuk kepentingan eksekutif jumlahnya rata -rata jauh lebih besar daripada belanja pembangunan yang pada hakekatnya merupakan hasil riii yang dinikmati rakyat, hanya sekitar 30%. Hal ini mencerminkan bahwa ekskutif masih dirasakan lebih mementingkan kepentingannya sendini.
Kinerja Kepala Daerah akan dinilai dalam Iaporan pertangungjawabannya kepada DPRD tentang keberhasilan berbagai program dan kebijakannya yang nampak pada realisasi APBD. Jadi sebagai agen, Kepala Daerah pun memiliki kepentingan terhadap APBD. Menurut Nouri (1994), agen yang penilaian kinerjanya ditentukan oleh berhasil tidaknya anggaran pada saat diberi kesempatan menyusun anggaran akan cenderung melakukan Budgetary slack. Mardiasmo (2001) menyatakan beberapa alasan pemerintah lokal yang memotivasi mereka menciptakan slack positif antara lain karena hal ini akan membuat mereka menjadi "a hero", dianggap generous dan understanding. Alasan politis juga dikemukakan yaitu untuk menjalin hubungan yang balk antara DPRD, Kepala Daerah dan Komite Anggaran.
Peran Kepala Daerah Sebagai Prinsipal
Peran prinsipal dalam Principal - Agent Theory pada hakekatnya berorientasi pada penerapan sistem kontrol yang baik dalam upaya mengendalikan agen sebagai manajer bawahan yang karena asimetri informasi yang dimiliknya dan keinginannya untuk memaksimalisasi utilitinya cenderung berperilaku disfungsional dapat dikurangi.
Kepala Daerah adalah Kepala Eksekutif di daerah sehingga perannya sebagai prinsipal yang berkepentingan dengan penerapan sistem kontrol sama dengan peran prinsipal pada rantai sebelurnnya. Dengan demikian Kepala Daerah sebagai prinsipal dituntut pula untuk memberi dukungan terhadap keberhasilan reformasi penganggaran, keuangan dan sistem akuntansi daerah.
Peran Middle Manager (Kepala Dinas,Kabag, Kasubag) Sektor Publik ke bawah Sebagai Agen
Dalam struktur organisasi pemerintah daerah middle manager termasuk sebagai perangkat daerah, misalnya Dinas dan lembaga Teknis Daerah (Kantor dan Badan). Hubungan antara middle manager ini dengan anggaran sangat erat. Hal ini dikarenakan mereka adalah para manajer operasional yang bertanggungjawab terhadap pelayanan kepada masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut mereka menggunakan anggaran sebagai pedoman perencanaan dan pengendalian.
Dalam proses perencanaan anggaran mereka mengajukan Daftar Usulan Kegiatan Daerah maupun Draft Usulan Proyek Daerah sebagai dokumen usulan kegiatan suatu tahun anggaran tertentu. Kinerja mereka pun sering diukur berdasarkan tingkat pencapaian anggaran yang berhasil direalisasikannya. Dalam konteks ini perilaku manajer sektor publik agaknya identik dengan manajer sektor swasta dalam mengalokasikan sumberdayanya. Moore et al. (2000) dalam studinya mengenai manajer municipal di Amerika, menemukan bukti empiris yang sejalan dengan banyak temuan pada manajer di sektor swasta bahwa budget attainability, tight budget berhubungan dengan Budgetary slack.
Mardiasmo (2001) menemukan juga bahwa manajer publik cenderung menciptakan slack positif. Alasannya, dengan slack positif akan memperbaiki hubungannya dengan Kepala Daerah dan hal ini akan menyebabkan adanya a good job security.
Kenis (1979) dengan menggunakan goal theory meneliti pengaruh dimensi-dimensi anggaran terhadap sikap dan kinerja manajerial. goal theory tersebut dikembangkan oleh Edwin A. Locke (1968). Teori ini menjelaskan bahwa perilaku seorang ditentukan oleh dua buah cognition yaitu content (values) dan intentions (tujuan). Orang telah menentukan goal tersebut dan akan mempengaruhi perilaku yang sesungguhnya terjadi. Perilakunya akan diatur oleh ide (pemikiran) dan niatnya sehingga akan mempengaruhi tindakan dan konsekuensi kinerjanya.
Terima Kasih telah mengunjungi Tautan ini,
Jangan lupa untuk memberikan komentar pada form di bawah post ini.
Maturnuwun...
Comments :
Views All / Send Comment!
sangat sulit dilakukan dengan kapasitas aparatur pemerintahan kita bung
korupsi yg terjadi di pemerintahan kita juga karena teori keagenan. dimana pihak principal (eksekutif) lebih didominasi agent (legislatif), belum ada kesetaraan informasi yg terjadi ketika melakukan pembahasan apbn/apbd.
Betul pak, bhwa smua hrs dimulai dari kesadaran bersama utk menciptakan kemajuan. Selain itu jg dibutuhkan kesetaraan jg, persis spt ap yg bpk katakan. Staley dan Magner (2007) merumuskan sebuah teori pertukaran sosial dan kesetaraan organisasi dlm bentuk Procedural Budgetary Fairness serta Interactional Budgetary Fairness, dlm rangka menciptakan kemajuan di bidang anggaran publik pak..
Maturnuwn masukannya pak,,,, ^_^
mank sulit, tp apbl ada kemauan, kesulitan tetap akan ada solusinya
Post a Comment