<div style='background-color: none transparent;'><a href='http://www.rsspump.com/?web_widget/rss_ticker/news_widget' title='News Widget'>News Widget</a></div>

Makna Jarak Dalam Konsep Ekonomi

Dec 1, 2012 0 comments
Jarak mengacu pada mudah atau sulitnya barang, jasa, tenaga kerja, modal, informasi, dan ide-ide untuk melintasi ruang. Hal itu akan mengukur seberapa mudah arus modal, mobilitas tenaga kerja, distribusi barang, dan layanan yang disampaikan antara dua lokasi. Jarak, dalam pengertian ini, merupakan konsep ekonomi, bukan hanya sebuah konsep fisik. Meskipun jarak ekonomi umumnya terkait dengan jarak Euclidean (garis lurus) antara dua lokasi serta ciri-ciri fisik geografi yang memisahkan mereka, hubungan tersebut bukanlah hal yang mudah untuk dipahami. Salah satu alasannya adalah bahwa jarak untuk pertukaran barang berbeda untuk migrasi orang.

Untuk perdagangan barang dan jasa, jarak menangkap waktu dan biaya moneter. Penempatan dan kualitas infrastruktur transportasi dan ketersediaan transportasi secara dramatis dapat mempengaruhi jarak ekonomi antara dua daerah, meskipun jarak Euclidean antara kedua wilayah tersebut bisa menjadi identik. Dua desa mungkin memiliki jarak Euclidean (secara garis lurus) yang sama ke kota, tapi bisa terjadi bahwa desa yang satu berada di dekat jalan raya nasional, yang lain pada jalan pedesaan tak beraspal. Satu contoh fenomena terjadi di India, berdasarkan jarak garis lurus, sebagian besar wilayah di India terhubung dengan baik ke pasar di pemukiman padat. Tetapi orang-orang di banyak bagian India mengalami kesulitan mendapatkan ke pasar karena waktu perjalanan ditentukan oleh jenis dan kualitas jalan dan infrastruktur transportasi lainnya (lihat Gambar 2.1).

Gambar 2.1.
Waktu Perjalanan Antar Wilayah Pemukiman Dilihat dari Wilayah Administrasi Subnasional


Untuk mobilitas tenaga kerja, jarak juga menangkap "biaya psikis" pemisahan antar wilayah yang berdekatan. Antara 1985 dan 1995, distribusi migran di provinsi China yang berasal dari provinsi lain terhenti karena jarak antar propinsi meningkat. Disamping itu, terdapat pula biaya tambahan untuk migrasi antara provinsi non-tetangga. Jadi, seperti perdagangan, jarak secara ekonomis untuk migrasi berkaitan dengan jarak fisik, akan tetapi tidak identik dengan jarak fisik. Dalam paparan ini, tujuan yang menarik adalah lokasi dengan kepadatan ekonomi terbesar atau potensi pasar tertinggi. Jarak, dengan demikian merupakan sebuah metafora untuk akses ke pasar.

Hambatan produk manusia (termasuk kebijakan) juga dapat meningkatkan jarak. Roadblock dan Hambatan lokal biasa digunakan untuk perjalanan melalui jalan darat di banyak negara Sub-Sahara. Ketika otonomi politik lokal tinggi, mungkin akan berdampak pada adanya fragmentasi teritorial sebagai kebijakan perlindungan yang dilakukan pada tingkat lokal. Gambar 2.1 menunjukkan waktu antara pemukiman manusia, dengan asumsi hambatan buatan manusia sedikit atau tidak ada. Jarak bisa panjang, bahkan di negara berpenghasilan tinggi.


Lokasi yang Dekat Dengan Pasar Memiliki Keunggulan Dasar
Pemerintah provinsi di Negara China pada tahun 1980 meningkatkan kekuasaan administratif mereka di bawah reformasi desentralisasi. Mereka menggunakan kekuatan tersebut untuk melindungi perusahaan lokal - menaikkan tarif dan memaksakan larangan pengiriman dari provinsi lain. Impor antar propinsi turun dari 50 persen menjadi 38 persen (dari GDP) antara tahun 1992 dan 1997, sementara penyerapan lokal barang dalam provinsi tersebut naik dari 68 persen menjadi 72 persen. Besarannya adalah sama dengan barang yang melintasi perbatasan AS-Kanada dan perbatasan internasional di Uni Eropa (UE). Sistem pendaftaran rumah tangga permanen hukou China - menghubungkan tempat tinggal dengan akses ke barang-barang konsumen, kesempatan kerja, dan perlindungan sosial – berkurang mirip dengan migrasi internal. Jarak dan kepadatan mempengaruhi gerakan spasial barang, jasa, informasi, pengetahuan, dan orang-orang. Arus pulang pergi, migrasi, telekomunikasi, arus informasi, dan pengiriman barang menghubungkan daerah asal dan daerah penerima. Kebanyakan interaksi spasial akan mempunyai bermanfaat, namun terdapat juga sisi negatifnya, yaitu penyebaran penyakit. Faktor penentu utama kekuatan interaksi ini adalah jarak. Hukum “Waldo Tobler” tentang Geografi menyatakan bahwa “everything is related to everything else, but near things are more related than distant things”. Area yang lebih dekat dengan kepadatan ekonomi memiliki akses yang lebih mudah untuk interaksi dan pertukaran yang menguntungkan.

Di Indonesia koneksi jalan yang lebih baik mempersingkat waktu perjalanan dan jarak ke pusat-pusat ekonomi, menciptakan daerah aglomerasi yang lebih besar. Karena jalan yang baik dan akses yang lebih mudah ke pasar. Desa dengan jarak 60 kilometer dari pusat kabupaten menghasilkan aktivitas manufaktur sebanyak pusat kabupaten itu sendiri, dan daerah pinggiran yang terhubung dengan baik menjadi bagian dari wilayah aglomerasi. Namun di daerah pinggiran kota yang kurang terhubung, kepadatan kegiatan ekonomi jatuh dengan cepat melampaui desa dengan jarak 25 kilometer dari pusat kabupaten (gambar 2.2).
Gambar 2.2.
Manufacturing Activity In Indonesia Flourishes In Areas With Shorter Economic Distance To Density


Spillovers dari kedekatan dengan kepadatan muncul di kedua negara maju dan berkembang. Pada perusahaan manufaktur di Eropa, total faktor produktivitas suatu daerah meningkat secara positif dan secara signifikan terkait dengan kepadatan produksi manufaktur di daerah tetangga. Kecepatan pertumbuhan permintaan di wilayah daerah tetangga akan merangsang peningkatan total faktor produktivitas lebih cepat.

Fenomena ini terjadi juga di negara berkembang. Jaringan jalan raya yang mengelilingi Jakarta yang dibangun pada 1980-an, menyebabkan banyak perusahaan pindah dari pusat Jakarta untuk menghemat biaya tanah dan kemacetan. Akan tetapi mereka tetap menentukan tempat yang dekat dengan wilayah metropolitan dalam rangka untuk memiliki akses ke pasar yang besar. Hal serupa tapi kurang menonjol adalah pola dalam aglomerasi Indonesia lainnya, dimana pertumbuhan telah terkuat di daerah pinggiran kota-kota besar sekitarnya. Di Brasil terjadi perpindahan lokasi industri yang lebih besar dari São Paulo ke daerah pinggiran dengan upah penduduknya yang rendah. Setelah koridor transportasi, industri ini bergerak melalui negara São Paulo ke negara bagian tetangga Minas Gerais.

Sustuinable Development

Nov 10, 2012 0 comments
Sustainable development arise because of the assumption that the market economy is not always concerned about the environment. The difference between the market "perfect" and the environment as a fundamental reason why economic activities lead to environmental degradation. These differences led to the emergence of environmental economics, as a public policy intervention in the allocation of environmental resources through non-market activities or to correct market failures. The concept of sustainable development is a planning concept which emphasizes the principles of balance between economic, social, and cultural rights as the primary objective with the principles of environmental sustainability.

In the context of sustainable development, especially in the spatial dimension has received little attention. The importance of spatial elements derived from the mutual relations are (1) the global and local influence (2) global trends will affect local. Economic structure and environment in a specific region of an area to determine the sensitivity of the economic power and the external environment (Bergh and Nijkamp, 1999). Therefore, the study of sustainability in a multi-regional system could be useful in the spatial implications of global sustainability, both in regional and international activities.

The concept of sustainable development is essentially founded on three basic pillars, namely economic, social, and environmental. The third approach is not an approach that stands partially, but interact to influence each other. Sustainable development is the process of bringing these three development processes in a balanced way. At the local level, sustainable development requires that economic development can sustain people's lives through the use of resources locally. If the results of economic development (welfare) is to be distributed in the long run, the protection of the environment to prevent ecological damage is one way to go (ICLEI, 1996). Schematically, the relationship between the three basic pillars of sustainable development can be described as follows:

FIGURE 1.
BASIC PILLAR SUSTAINABLE DEVELOPMENT



In principle, the concept of sustainable development promote economic and social development and environmental protection. These three aspects should be run in a balanced and mutually supportive. Sustainable development considering that aspects of development undertaken sustain and support developments in the future. Sustainable development describes the alignment and harmony in the use of natural resources, and the resources made ​​by taking into account ongoing conservation efforts.

Sustainable development can be called if it fulfills the criteria of economic, socially beneficial, and preserve the environment. At first, the concept of sustainable development is dominated by the economic dimension. The dimensions of the environment started to receive attention in the eighties. Earth Summit in Rio de Janeiro in 1992 was the starting point in the consideration of the social dimension of sustainable development. One important result of the conference was the establishment of a commission of sustainable development (CSD - Commission on Sustainable Development). The Commission has produced an agreement to implement the concept of sustainable development as set out in Agenda 21 (Sugiyono, 2004).

The concept of sustainable development, especially economic development, is based on the available capacity of the natural resource, environmental and social character. In the past, development activities which are focused on growth and led to negative impacts of ecological deterioration and depletion of natural resources. Therefore, the management of national resources and the environment in the future should be based on an important aspect of the production and activity space for conservation and environmental health. Therefore, regional development, urban and rural, can no longer be based solely on economic development, but should be based on sustainable development (Hall and Ulrich, 2000).

Hereinafter defined sustainable development as "development that is intended to meet the needs of the present generation without compromising the opportunities of future generations to meet life" (IISD, 2005). According Askary (2003) sustainable development and environmentally sound can be defined as "a conscious and deliberate effort, which integrates the environment, including resource into the development process for assure abilities, well-being and quality of life for present and future generations to come". While the concept of sustainable development by Urban 21 (2000) is how to improve the quality of life in a region, including the quality of the ecological, cultural, political, institutional and socio-economic components without leaving a burden (depletion of natural resources and increasing debt) on the next generation.

On the other hand, Munro (1995) states that sustainable development is a set of activities that can improve the lives of people in various aspects and the increase can be maintained. Meanwhile, world commission for environment and development (WECD) defines sustainable development as development that is intended to meet the needs of present generations without compromising the ability of future generations to meet their own needs. In other words, sustainable development is defined as development that prioritize the use of resources that do not jeopardize the future use (WECD, 1987). Not only that, the sustainability here should include the three basic principles of the above, one can not only fulfilled. In its development, sustainable development is also intended to seek innovative strategies to change the institutional structure and policies and changes in the behavior of the individual to the global level (IISD, 2005).

In order for development to be sustainable it ideally benefits must be sustainable and continuously maintained. This means that development must meet a variety of objectives in a balanced way, both economic, environmental, and social (WCED, 1987; Munro, 1995; Meadows, 1999; IISD, 2005).

1. Economically Sustainable
Economically sustainable principles relating to costs and benefits, rather the benefits should outweigh the impact. Sustainable economic system must be able to produce goods and services continually, to keep management and other levels of government.

2. Socially Sustainable
Socially sustainable means reflects the interaction between development and the social norms prevailing in society. An activity is socially sustainable if it can integrate with social norms or not contrary to the public tolerance to change. Socially sustainable system must be able to achieve uniformity of distribution, the provision of social services including health and education, as well as accountability and participation.

3. Environmentally Sustainable
Ecologically sustainable, it implies to keep humans and other species that interact with it, now and in the future, so as to improve the quality of life. Environmentally sustainable system must be able to maintain stable resources, avoiding excessive exploitation of renewable resource systems, and maintain the natural resources that can not be updated so that it can be used optimally. In other words, development should not destroy the ecosystem that now exists, instead the species should be conserved for future purposes.

In development and implementation of sustainable development, the role of local government is very fundamental. As a self-regulating system, a local government consisting of a control system (government) and an object (or the community). The local government will play a role as an institution that has legitimacy and is responsible for the development and implementation of sustainable development through the policy-making process does. In an effort to generate policy-oriented cities to achieve sustainable conditions, local governments will need a set of indicators that will provide direction and guidance to local authorities about whether the policies that have been implemented are on the ideal track. Development of indicators of sustainable development is one of The set action towards more sustainable development.

Operationalization or implementation of the concept of sustainable development requires indicators to assess its effectiveness, in this case to know whether an activity, program or policy can be said to be sustainable (sustainable) or unsustainable (unsustainable). These indicators will provide advice to the government regarding the actions to be taken to overcome the problems faced. Need for indicators that are specifically developed to look at the internal management of local governments in determining whether a city has implemented a policy of sustainable development. Although global commitment to sustainable development implementation formally developed after the declaration of Johannesburg in 2002, but the efforts of indicators of sustainability have started much earlier.

Ideal criteria for the sustainable development indicators (Warren, 1997):

  1. Indicators should reflect a basic or fundamental long-term economic and social environment for generations to come;
  2. Easy to understand and clear: simple, understandable and accessible to the public;
  3. Can be quantitatified;
  4. Sensitive to changes in the location or group of people;
  5. Predictive and anticipatory;
  6. Have a reference or threshold value;
  7. Relatively easy to use;
  8. Aspects of quality: the methodology used to construct the indicators should be clearly defined with accurate, scientifically and socially acceptable, and
  9. Sensitive to the Time: if applied every year to show the trend indicator representative.

Corporate Governance Corporate and Social Responsibility Disclosure

Nov 9, 2012 0 comments
To what extent corporate governance and CSR are converging in international business not only depends on views on corporate governance, but also on how CSR is framed within an MNE. As mentioned in the introduction, CSR is an elusive concept that, just as corporate governance, has been defined in many different ways. Nevertheless, there is some agreement that it involves attention on a voluntary basis to the ethical, social and environmental implications of business (Carroll, 1999; Whetten et al., 2002). One important dimension for how CSR is framed concerns its scope: is it perceived as an external or internal issue? Deakin and Hobbs (2007) argue that CSR is often thought of by managers of listed firms as a way of dealing with external issues, for example the ethical consequences of outsourcing production activities, fair trade, and global environmental problems. However, these authors also indicate that CSR is sometimes interpreted differently as well, focusing on internal issues instead. They give the example of the European Commission, which argued in a Green Paper that besides an external dimension, CSR has an internal dimension, which involves employees’ working conditions such as work force diversity and equal pay for women (EC, 2003). The distinction between internal and external aspects of CSR touches upon one of the main debates in corporate governance: if firms have a responsibility to a wider group of constituents, how far should this responsibility go and what kind of (social and environmental) activities will they become involved in?

It was with these questions in mind that the stakeholder approach was first introduced (Freeman and Reed, 1983). This approach explains why business has responsibilities that go beyond the maximization of profits to include the interests of non-stock holding agents. Indeed, if a company would focus solely on such narrow objectives, the expectations of other stakeholders would be neglected, and in turn their support could be compromised in the long term. Freeman’s (1984, p. 46) definition of stakeholders as “any group or individual who can affect or is affected by the achievement of the organization’s objectives” is most widely accepted (Mitchell et.al., 1997).

Advocates of the stakeholder perspective consider as a starting point that “all persons or groups with legitimate interests participating in an enterprise do so to obtain benefits and that there is no prima facie priority of one set of interests and benefits over another” (Mitchell et al., 1997, p. 68). From such a perspective, a company emerges as a nexus of implicit and explicit contracts between various actors with interests that are not always congruent (Hill and Jones, 1992). The stakeholder approach emphasizes that actors have different motivations to engage in relationships with a firm and expect different benefits from their collaboration. This means that dealing with stakeholders poses complexities for business in view of conflicting interests (cf. Daily et al., 2003). Researchers in finance and governance also criticise the concept (Jensen, 2001; Sternberg, 1997), inter alia because it is “a convenient portmanteau expression into which many different items can be packed” (Charkham, 2005, p. 20). Another important argument has been that the stakeholder approach makes managers unaccountable for their actions because it does not contain clues on how to balance competing interests and thus gives managers the opportunity to pursue their own causes (Bradley et al., 1999; Jensen, 2001).

In prioritizing competing stakeholder interests, it has been argued that firms take into account to what extent the organization depends on a stakeholder for resources (Jawahar and McLaughlin, 2001). This instrumental view on CSR suggests that firms’ primary reason to be responsive to stakeholders is a maximization of long-term market value (Donaldson and Preston, 1995; Jensen, 2001). Such instrumental motives are closely connected to the way corporate governance has broadened in recent years. As discussed above, a corporate governance view suggests that the main reason for firms to deal with stakeholders is that neglecting them could mean a loss of control on the strategic direction and performance (Luo, 2005a). We therefore expect that firms driven by instrumental motives to practice CSR will predominantly be concerned with shareholders and inside stakeholders such as managers and employees, and, as a consequence, frame CSR with a focus on internal aspects. This is supported by the literature which has found that corporate governance has a considerable impact on internal CSR issues such as employee conditions (Deakin et al., 2002) and ethical aspects related to remuneration, managerial and employee behaviour (Bonn and Fisher, 2005; Kimber and Lipton 2005; Rossouw 2005; Ryan, 2005; Wieland, 2005).

In contrast, motives to deal with outside stakeholders may be seen as not as closely, or not only, connected to instrumental motives, but relying also, and perhaps more, on sustaining moral legitimacy vis-à-vis outsider groups (Suchman, 1995). When CSR is mainly a response to outside stakeholders such as local communities and NGOs, it is more likely to be perceived as dealing with external environmental and community issues (Deakin and Hobbs, 2007). On the basis of this, it can be argued that external framing of CSR shares considerably less commonalities with corporate governance. This would imply that framing CSR focusing on external issues puts much less emphasis on the competitive nature of CSR. Only in a small minority of cases implications for a firm’s strategic direction and performance may be involved – an example that is currently mentioned in this regard is climate change, but this is still in its infancy (cf. Cogan, 2006). On the whole, we thus expect that corporate governance is more likely to be integrated in MNEs’ CSR policies when CSR is framed with a strong focus on internal aspects such as employee conditions and ethical behavior of managers and employees.

Premature Sign Off Audit Procedures

Nov 8, 2012 0 comments
In the recent case of an audit on the company, as Enron, WorldCom in USA (Duska and Brenda, 2003) Kimia Farma and closure of Public Accounting Firm in Indonesia (www.bapepamlk.depkeu.go.id) becomes an great issue for public accounting profession and formidable challenge to improve image of audit profession in providing quality audits. A good of Quality Audit in principle can be achieved if auditors apply standards and principles of auditing, behaving freely without impartial (Independent), obedient to the law and comply with professional codes of ethics. Reduction of audit quality is defined implementation of audit quality reduction is done deliberately by auditor (Coram, et al, 2004). Kane and Velury (2005), defines quality audit as capacity of external auditors to detect materiality and irregularities form. Russell (2000), mentions that quality audit is a function of quality assurance which will be used to compare actual conditions with which they should.

Reduction of Quality Audit behavior or Reduced Audit Quality is an action taken by auditors during contract in which these perform can reduce accuracy and effectiveness audit evidence collection (Malone and Robers, 1996). This behavior can occur because there is a dilemma between costs inherent in audit process and quality, faced by auditors in audit environment (Kaplan, 1995). On one hand, auditor must meet Professional Standards to achieve a high level of audit quality that can be achieved by performing audit procedures. But on the other hand, auditors face cost barriers that make to degrade quality of audits. In addition, barriers of time may be one factor leading to lower quality audit, due to limited time auditor is required to complete all audit procedures, it affects auditor's actions are intentionally not doing all the existing audit procedures.

Various studies with respect to quality of audits have been conducted among others researcher. Kelly and Margheim (1990), mentions that decline in audit quality is result of pressure. Otley and Pierce (1995), explains that some auditors dysfunctional behaviors such as Premature Sign-Off Audit Procedures are a few behaviors that tend to lead to problems behaviors as auditors, which will affect the quality loss audit and trends of lowering public confidence in accounting profession and eventually kill profession itself.

Debate Stock Exchange Commission (SEC) in discussion of Effectiveness Audit, has been established by American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) has recommended that dysfunctional Behavior is a problem that requires sustained attention (Public Oversight Board, 2000). The survey has been conducted on senior Big Six auditor in Ireland have confirmed that 89% involved with some form of behavior lowers quality of audits in Premature Sign-Off Audit Procedures, while 12% were participating in under-reporting of Time and more other (Otley and Pierce, 1995). This condition would require attention by practitioners and institutions in implementation audit, auditor can maintain quality of her work.

Studies Cohen Commission (1978), Rhoden (1978), Alderman and Deitrick (1982), and Raghunathan (1991) detect reasons why auditors perform premature sign-off of audit procedures, auditing of limited period of time specified, perception of audit procedures performed not important (low risk), no material audit procedures, audit procedures that are less understood, audit report submission deadline, as well as influence of auditors' boredom.

Heriningsih (2002) found a significant relationship between time pressure and audit risk of premature sign-off of audit procedures. However, this study can not prove that level of materiality may be associated with premature termination of audit procedures.

Survey conducted by Conram, et.al., (2000), against 106 senior auditor general explained that budget time pressures providing greatest influence on behavior of reduced quality audit and associated with audit risk. This results explained that under conditions of low level of audit risk of error associated with an increase in audit quality reduction acts as a whole.

Otley and Pierce (1996), explaining that managers tend to perform reduced quality audit compared to increase budget time. However, different results presented by Houston (1999), that senior audit time budget less influence on risk of client in terms of audit fee pressure. Malone and Roberts (1996), found no relationship between level of time budget pressures and a decrease in audit quality.

Auditors are often confronted by presence of time pressure. Time pressure consists of time budget pressure and time deadline pressure. When time budget that has been specified could be achieved, it will not cause conflicts, so possibility of dysfunctional behaviors will not be done. Previous studies showed significant association of time pressure in explaining dysfunctional behaviors (Kelley and Margheim, 1990; Carcello et al, 1996; Otley and Pierce, 1996a; Willett and Page, 1996; Pierce and Sweeney, 2004; McNamara et al , 2005). In these studies, time pressure operationalized as attainment of time budget (time budget attainability).

The existence of time pressure causes a person is required to complete a job soon and if it is not achieved it will lead to conflict because of time allowed for an elapsed and quality of audit work may be interrupted and it will lead to dysfunctional behaviors. Previous research on time pressure associated with dysfunctional behavior has been done by Pierce and Sweeney (2004) and Kelley et al, (1999), DeZoort and Lord (1997), (Eden, 1982) and results showed there is a significant relationship.

Weningtyas et.al, (2006) found evidence of a significant relationship between time pressure, risk audits, materiality and review procedures and quality control of termination of audit procedures. The results of study Weningtyas et al proved that time pressure and audit risk associated positively with cessation of auditing procedures, so greater time pressure and audit risk faced by auditors, greater tendency of auditors to conduct audits termination procedures. While materiality and reviews procedure and quality control is negatively related to termination behavior of audit procedures, so that lower materiality and review procedures and quality control behavior of lower termination of audit procedures.

This study was motivated by Conram et.al., (2000), Heriningsih (2002) and Suryanita, et.al, (2007). Previous studies testing audit procedures that are often stopped by auditors and examine relationship between time pressure, audit risk, materiality and reviews procedure and quality control have an impact on decision to conduct an audit procedure termination. These studies there are inconsistencies between study results Herningsih (2002) and Suryanita et.al., (2006) in assessing relationship between materiality of termination of audit procedures.

Herningsih (2002) found no significant relationship between materiality of termination of audit procedures, while Suryanita et.al., (2006) could prove the relationship. This research can be assured results of previous studies on relationship between materiality of termination of audit procedures.
This study refers to termination of audit procedures above. This study involves auditor respondents who worked in Semarang. Semarang as it is one big cities in Indonesia and has quite a lot of public accounting firm so it is quite representative for this study, and to find out how much time pressure faced by auditors in Semarang effect on performance, because there a various result of time pressure that faced by auditors in different regions (Suryanita et al, 2007).

Theoritical Framework of Premature Sign-off Audit

Nov 7, 2012 0 comments
A good of Quality Audit in principle can be achieved if auditors apply standards and principles of auditing, behaving freely without impartial (Independent), obedient to the law and comply with professional codes of ethics. Reduction of audit quality is defined implementation of audit quality reduction is done deliberately by auditor (Coram, et.al, 2004). Kane and Velury (2005), defines quality audit as capacity of external auditors to detect materiality and irregularities form. Russell (2000), mentions that quality audit is a function of quality assurance which will be used to compare actual conditions with which they should.


Attribution Theory
Attribution theory will provide an explanation of how to determine cause or motive of person's behavior. This theory was directed to develop an explanation of the ways we judge people differently, depending on the meaning of what we associate to a particular behavior. This theory refers to how one explains causes of behavior of others or himself (Luthans, 1998), which determined whether from internal or external (Robert, 1996) it will show its effect on individuals.

Cause of this behavior in social perception, better known as dispositional attributions (internal causes), and situational attributions (external causes) (Robert, 1996). Internal causes tend to refer to aspects of individual behavior, something that has existed in a person such as a personal trait, self-perception, ability and motivation. While external causes more referring to the environment that affect a person's behavior, such as social conditions, social values, public opinion as well as contextual factors audits (audit risk, Materiality and reviews procedures and quality control).

Based on above it can be concluded that attribution theory can be used as a basis for finding such factors as contextual factors audit (audit risk, Materiality and reviews procedures and quality control) cause why auditors did sign off prematurely. By knowing factors that cause an auditor to sign off prematurely, then the trigger factors of premature sign-off can be minimized, so that auditor wishes to make a premature sign-off can be reduced.

Inverted U Theory
Inverted U theory is most widely used model to explain relationship between pressure and performance. According to Robbins (2006), the logic underlying theory of an inverted U that stress at low to moderate levels stimulates body and improve ability to react. In this condition individual is usually able to do the job better, more intensive or faster. But if too much stress will place demands that can not be achieved or someone constraints, resulting in decreased performance. While stress is defined as a condition in which individuals face the opportunities, constraints (constrains), or demands (demands) associated with what is really wanted and results are perceived as something that is uncertain but important (Robbins, 2006).

Inverted U Curve: Relationship Between Stress and Performance

Model of inverted U theory also describes reaction to stress from time to time and to changes in stress intensity. Theoretical model of an inverted U got a lot of criticism from researchers such as Otley and Pierce (1996), which found no evidence of an inverted U curve relationship; Kelley and Margheim (1990), which examines relationship between time budget pressure by dysfunctional behavior auditors found no significant results statistically to support inverted U theory. Likewise, results of research conducted by Pierce and Sweeney (2004), who found a linear relationship between time budget pressure and dysfunctional behaviors. Robbins (2006), also mentioned that this model does not get much support empirically. Linear relationship is basis of this research in linking between work pressure and risk of error auditor.

Research in psychology conducted by Djatmiko (2007), mentions that relationship between stress and performance is not a linear but rather an inverted U curve, this is due to body's physiological response to stress conditions would interfere with an individual's performance. Distress at each level will cause performance degradation, so that optimal performance is achieved at individual precisely highest stress levels. In this study, relationship between pressure and quality of performance is linear, where rate of premature sign-off will occur at time budget pressures lowest and highest.

Reduced Audit Quality
As professionals, auditors are required to use his professional skills with a meticulous and thorough in carrying out audit (IAI, 2001, section 230.01). The use of professional skills with careful and thorough skepticism requires auditor to carry out their professional and must disclose in reasonable condition of company being audited based on an evaluation of evidence obtained during the course of auditing. In an effort to obtain sufficient competent audit evidence, then prior to conducting an audit of CPA is required to create and develop an audit program in writing. Audit program is a collection of audit procedures to be implemented during audit process.

The existence of reduction quality audit behavior (RQA) is also called "irregular auditing practice" (Willett and Page, 1996) in auditing literature is evidence that implementation of audit procedures in accordance with the audit program is not always implemented by auditor. RQA behavior is defined "as the actions undertaken auditor during audit assignment which reduces the effectiveness of audit evidence collected" (Malone and Robert, 1996, p. 49). Thus, evidence gathered during audit is unreliable, wrong or inadequate in quality and quantity (Herrbach, 2001). The evidence is not quite as competent and reasonable basis for auditor in detecting errors and irregularities are adrift on the audited financial statements.

RQA behavior is a serious problem, because they reduce quality of audits directly (Otley and Pierce, 1996a; McNair, 1991). As stated by McNair (1991, p. 642):
This type of behavior, namely a failure to exercise due care, can in the extreme undermine integrity of the audit process. The inability to monitor true effort is perhaps the most critical exposure, or danger, faced by an audit management held accountable for audit integrity by the public.

Studies behavior of earlier RQA mainly focused on one type of behavior that is considered most serious RQA is premature discontinuation of audit procedures (premature sign-off) [eg. Alderman and Deitrick, 1982; Margheim and Company, 1986; Raghunathan, 1991 ]. Premature termination of audit procedure is an act performed by auditor does not implement or ignore one or more of required audit procedures, but the auditor documenting all audit procedures have been completed in full (Alderman and Deitrick, 1982; Raghunathan, 1991).

Rhode results (1978) in Alderman and Deitrick (1982) showed the majority (nearly 60 percent) of respondents admitted they sometimes make premature termination of audit procedures. Results of subsequent studies conducted Alderman and Deitrick (1982) and Raghunathan (1991) confirm these findings.

Findings of subsequent studies conducted by Kelley and Margheim (1990), Malone and Robert (1996), Otley and Pierce (1996a), Herrbach (2001) and Pierce and Sweeney (2004) shows in addition to premature termination of audit procedures, various forms of other actions performed auditors in implementation of audit programs that could potentially reduce the quality of audits.

Anggaran Berbasis Kinerja (ABK): Sebuah Harapan Menuju Perbaikan

Jan 24, 2012 0 comments

[token: 2ADXN5SR6TUA]

Proses penyusunan APBD saat ini lebih sering dikenal dengan istilah Anggaran Berbasis Kinerja (ABK). Dasar kebijakannya adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29/2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kepmen tersebut direvisi dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. ABK adalah proses penyusunan APBD yang diberlakukan dengan harapan dapat mendorong proses tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Penerapannya diharapkan akan membuat proses pembangunan menjadi lebih efsien dan partisipatif, karena melibatkan pengambil kebijakan, pelaksana kegiatan, bahkan dalam tahap tertentu juga melibatkan warga masyarakat sebagai penerima manfaat dari kegiatan pelayanan publik. Melalui ABK keterkaitan antara nilai uang dan hasil dapat diidentifkasi, sehingga program dapat dijalankan secara efektif. Dengan demikian, jika ada perbedaan antara rencana dan realisasinya, dapat dilakukan evaluasi sumber-sumber input dan bagaimana keterkaitannya dengan output dan outcome untuk menentukan efektivitas dan efsiensi pelaksanaan program.

Secara ringkas, ada tiga tahap penting dalam penyusunan APBD, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.1. Pertama, tahap perencanaan, dengan Bappeda sebagai koordinator. Kedua, tahap penganggaran, yang dikoordinasikan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Ketiga, tahap legislasi/pengesahan, dikoordinasikan oleh TAPD dengan Tim Anggaran DPRD. Penyusunan APBD dengan pendekatan kinerja (ABK) di tingkat kabupaten dimulai dari penyerapan aspirasi masyarakat melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), yang berlangsung dari tingkat desa sampai kabupaten.

Gambar 2.1. Skema Proses Penyusunan APBD Selama Satu Tahun Anggaran

Januari-April Mei-Agustus Sept-Des
PERENCANAAN PENGANGGARAN PENGESAHAN
Masing-masing SKPD merancang RKA dan dikonsultasikan dengan BAPPEDA TAPD menyusun PPA dan dikonsultasikan serta dibahas bersama DPRD Bupati/Walikota (beserta jajaran) menyusun Ranperda APBD, dan dibahas bersama DPRD


Hasil Musrenbang menjadi salah satu bahan masukan bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk merancang usulan kegiatan tahun berikutnya, dengan dibantu oleh tim asistensi dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Usulan kegiatan yang disetujui dimuat dalam dokumen Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) dengan pagu anggaran yang ditetapkan oleh tim asistensi Bappeda.

Dokumen RASK kemudian dibahas oleh Tim Asistensi Eksekutif, yang terdiri atas Bappeda, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) dan Bagian Keuangan Sekretariat Daerah. Hasilnya dituangkan dalam dokumen Rancangan APBD (RAPBD). RAPBD dibahas oleh DPRD untuk disetujui serta dievaluasi oleh pemerintah Provinsi. Setelah pemerintah provinsi memberikan persetujuannya, RAPBD kemudian disahkan oleh DPRD menjadi APBD.
Penjabarannya kemudian disusun dalam dokumen yang disebut Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) untuk APBD tahun berjalan. Proses penganggaran berbasis kinerja sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Permendagri 9/1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah (P5D). Di dalam P5D, Bappeda berperan dalam menyusun Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (REPETADA) yang pada akhirnya menjadi APBD, sedangkan dalam sistem ABK perencanaan pembangunan dibuat oleh setiap SKPD dengan diasistensi oleh Bappeda. Selain itu, pada P5D perencanaan pembangunan masih belum terintegrasi secara menyeluruh dengan proses penganggaran. Kegiatan REPETADA pada tingkat Kabupaten/Kota meliputi: Musbangdes, Temukarya LKMD/diskusi UDKP (Unit Daerah Kerja Pembangunan) di tingkat Kecamatan, Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) Daerah Tingkat II, Perumusan dan Penyusunan Daftar Usulan proyek (DUP) oleh dinas/instansi, Rakorbang daerah tingkat I, Penyusunan dan penetapan rancangan APBD, Penyusunan Lembaran Kerja (LK), DIPDA (Daftar Isian Proyek Daerah) dan Petunjuk Operasional (PO) serta monitoring dan evaluasi.

Pemerintah kabupaten - dalam hal ini Bappeda, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda), dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) menganggap ABK adalah sesuatu yang akan berdampak baik khususnya di dalam mengarahkan perencanaan jangka panjang, menengah dan pendek yang lebih sinergis dan terintegrasi dengan penganggarannya. Melalui proses ini, SKPD diharuskan membuat suatu program yang terukur baik input, output maupun outcomenya jika ingin mendapatkan kucuran dana untuk program-program yang diajukan. Di samping itu, dana-dana yang dikeluarkan melalui APBD tiap tahunnya bisa digunakan secara efsien, efektif dan tepat sasaran.

Dengan penganggaran berbasis kinerja dan proses yang lebih partisipatif diharapkan dapat memperbaiki tata kelola pemerintahan, meningkatkan efektivitas pembangunan dan memperbaiki tingkat kehidupan masyarakat.

Muyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang)
Tahap penting dalam penyusunan APBD dengan pendekatan kinerja (ABK) di tingkat kabupaten dimulai dari penyerapan aspirasi masyarakat melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), yang berlangsung dari tingkat desa sampai kabupaten. Hasil Musrenbang menjadi salah satu bahan masukan bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk merancang usulan kegiatan tahun berikutnya, dengan dibantu oleh tim asistensi dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Usulan kegiatan yang disetujui dimuat dalam dokumen Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) dengan pagu anggaran yang ditetapkan oleh tim asistensi Bappeda.

Proses penyerapan aspirasi melalui Musrenbang tidak dilakukan oleh setiap instansi pemerintah secara terpisah, tetapi melalui perwakilan dari setiap SKPD yang hadir dalam forum musyawarah. Di satu sisi, proses penyerapan tersebut lebih praktis dan berpeluang menangkap program atau isu yang sifatnya lintas SKPD. Di sisi lain, aspirasi yang disampaikan menjadi kurang fokus pada suatu sektor tertentu, sehingga mempersulit masing-masing SKPD untuk menterjemahkan aspirasi masyarakat, sehingga usulan masyarakat yang sering terungkap lebih banyak berupa permintaan atas pembangunan prasarana fisik alih-alih pengelolaan hutan secara lestari. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana memastikan bahwa aspirasi yang tertampung tidak hanya bersifat jangka pendek, tetapi juga jangka panjang.

Penggalian aspirasi melalui Musrenbang seringkali belum dibarengi dengan data mengenai kondisi terkini yang dapat diandalkan. Padahal ketiadaan data yang terpercaya dan lengkap dapat menghambat proses penyusunan ABK, mengingat data yang lengkap dapat digunakan sebagai salah satu bahan untuk melakukan pengukuran kinerja.

Walaupun bukan satu-satunya sumber acuan (karena masih ada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, RPJMD dan Rencana strategis, Restra), seharusnya Musrenbang menjadi bahan masukan dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang selanjutnya dipedomani dalam penyusunan RAPBD. Namun dalam kenyataannya, hasil Musrenbang belum sepenuhnya menjadi acuan penyusunan program dan anggaran, dan aspirasi yang terkumpul hanya dituangkan dalam sebuah laporan yang disimpan untuk acuan di waktu yang akan datang. Hal ini karena terbatasnya waktu dan pengetahuan untuk memahami aturan ABK dan mengolah aspirasi masyarakat yang sifatnya cenderung umum.

Proses Penyusunan Anggaran Sektor Publik
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD) yang dipresentasikan setiap tahun oleh eksekutif, memberi informasi rinci kepada DPR/DPRD dan masyarakat tentang program-program apa yang direncanakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan rakyat, dan bagaimana program-program tersebut dibiayai. Penyusunan dan pelaksanaan anggaran tahunan merupakan rangkaian proses anggaran. Proses penyusunan anggaran mempunyai empat tujuan, yaitu: 1) Membantu pemerintah mencapai tujuan fiskal dan meningkatkan koordinasi antarbagian dalam lingkungan pemerintah; 2) Membantu menciptakan efisiensi dan keadilan dalam menyediakan barang dan jasa publik melalui proses pemrioritasan; 3) Memungkinkan bagi pemerintah untuk memenuhi prioritas belanja; 4) Meningkatkan transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah kepada DPR/DPRD dan masyarakat luas.

Faktor dominan yang terdapat dalam proses penganggaran adalah: 1) Tujuan dan target yang hendak dicapai; 2) Ketersediaan sumber daya (faktor-faktor produksi yang dimiliki pemerintah); 3) Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan target; 4) Faktor-faktor lain yang mempengaruhi anggaran, seperti: munculnya peraturan pemerintah yang baru, fluktuasi pasar, perubahan sosial dan politik, bencana alam, dan sebagainya.

Pengelolaan keuangan publik melibatkan beberapa aspek, yaitu aspek penganggaran, aspek akuntansi, aspek pengendalian, dan aspek auditing. Aspek penganggaran mengantisipasi pendapatan dan belanja (revenues and expenditures), sedangkan aspek akuntansi terkait dengan proses mencatat, mengolah, dan melaporkan segala aktivitas penerimaan dan pengeluaran (receipts and disbursments) atas dana pada saat anggaran dilaksanakan. Kedua aspek tersebut dianggap penting dalam manajemen keuangan publik. Namun, di antara kedua aspek tersebut aspek penganggaran dianggap sebagai isu sentral bila dipandang dari sisi waktu. Kalau aspek akuntansi lebih bersifat “retrospective” (pencatatan masa lalu), maka aspek penganggaran lebih bersifat “prospective” atau “anticipatory” (perencanaan masa yang akan datang). Karena aspek penganggaran dianggap sebagai isu sentral, maka para manajer publik perlu mengetahui prinsip-prinsip pokok yang ada pada siklus anggaran.

Gambar 2.2. Proses Penyusunan APBD Bentuk Penganggaran Sektor Publik



Claim Token: 2ADXN5SR6TUA

Principal - Agent Theory Dalam Proses Perencanaan Anggaran Publik

Jan 23, 2012 4 comments

Permasalahan Principal - Agent Theory dalam proses penganggaran terkait dengan fenomena budgetary slack, yang sering diistilahkan juga sebagai padding the budget (Hilton, 1994). Budgetary slack adalah suatu kecenderungan yang dilakukan oleh manajer agen pada saat diberi kesempatan berpartisipasi menyusun anggaran, akan melakukan underestimate revenue atau overestimate expenditure.

Hal ini dilakukan karena anggaran digunakan sebagai dasar penilaian kinerja manajer agen sehingga untuk memudahkan tingkat pencapaiannya mereka akan melakukan Budgetary slack. Berdasarkan pengamatan penulis terhadap berbagai penelitian sebelumnya, disimpulkan bahwa variabel yang mempengaruhi dapat digolongkan dalam tiga jenis, yaitu faktor environmental, organisasional dan individual. Faktor environmental terdiri dari kondisi ekonomi, politik (Mayper et al., 1991), teknologi (Merchant, 1985), uncertainty environment (L,eavins et al., 1995, Darlis, 2001), social pressure (Stevens, 1996,2000). Faktor organisasional terdiri dari tingkat desentralisasi (Leavins, et al., i99-5), reward system (Govindrajan, 19$6 ; Chow et al., 1988), budaya (Henrika & Mardiasmo, 2002), pantisipasi (Young, 1985 ; Govindraian, 1986 ; Dunk, 1993 ; Leavins et al., 1995), budget pressure (Leavins et al., 1995), budget attainability (Moore et al. 2000), information asymetri (Young, 1985 ; Dunk, 1993 ; Dunk & Perera, 1997 ; Moore et al., 2000 ; Douglas & Wier, 2000 ; Henrika & Mardiasmo, 2002) dan, organizational commitment (Darlis, 2001 ; Henrika & Mardiasmo, 2002). Faktor individual antara lain etika, moral (Stevens, 1996 ; Douglas & 'Xier, 2000 ; Blanchette et al., 2002).

Sebaliknya dari sisi prinsipal, seperti yang diungkapkan Jensen dan Meckling untuk mencegah moral hazard agen hendaknya diberlakukan sistem kontrol yang ketat. Didukung temuan Lau (1997) yang menunjukkan bahwa sistem akuntansi berpengaruh negatif terhadap Budgetary slack.

Penelitian Budgetary slack pada organisasi sektor publik tidak sesemarak pada organisasi sektor swasta. Beberapa peneliti yang telah meiakukan antara lain Mayper et al. (1991) ; Moore et al. (2000) ; Mardiasmo (2001) ; Henrika dan Mardiasmo (2002). Karakteristik penganggaran publik yang berbeda dengan karakteristik penganggaran sektor swasta bukan tidak mungkin menjadi salah satu penyebab. Kompleksitas penganggaran publik yang melibatkan berbagai konstituen dengan kepentingan berbeda membutuhkan analisis Principal - Agent Theory yang lebih seksama. Disamping itu penanggungjawab/pembuat anggaran publik yang bervariasi menurut variasi juridiksi masing-masing daerah bisa menjadi penyebab pula. Lee dan Johnson (1998), menyatakan bahwa pada daerah yang juridiksinya lemah, dimana ekskutif dalam hal ini mayor atau walikota adalah lemah, maka line agency (misal Kepala Dinas) dapat langsung mengajukan permintaan anggaran kepada legislatif.

Penerapan Principal - Agent Theory dalam proses penganggaran sektor publik berbeda dengan sektor swasta. Pada sektor swasta diterapkan konsep Principal - Agent Theory tradisional dengan one agen-one principal. Pada organisasi sektor publik dimana terjadi pola hubungan yang lebih rumit dan kompleks maka Principal - Agent Theory tidak dapat digunakan. Pada sektor publik, khususnya dalam proses pembuatan anggaran, maka anggaran merupakan hasil kerjasama dua pihak yaitu legislastif dan ekskutif yang dalam kerangka demokrasi ditujukan untuk kepentingan rakyat. Jadi ada tiga faktor yaitu legislatif, ekskutif dan rakyat.

Bream et al. (2002), menyatakan bahwa hubungan, principal-agent adalah serangkaian hubungan serial yang kompleks dan melibatkan berbagai elemen pemerintah yang berbeda, yang dapat berfungsi balk sebagai prinsipal maupun agen secara bersama. Breaux menggunakan principal agent dalam kasus penilaian privatisasi. Breaux membuktikan bahwa Principal-Agent Theory tradisional tidak mampu menjelaskan kompleksitas hubungan antar konstituen sektor publik khususnya pada pemerintah demokrasi.

Greenberg (1996) dalam Darsono (2001), membahas Principal - Agent Theory sektor publik dan menghubungkannya dengan pencurian atau korupsi. la berpendapat bahwa korupsi dilakukan secara hirarkis. Hal ini bisa terjadi karena korupsi dilakukan dengan memanfaatkan asymmetry information (Darsono, 2001). Koruptor memiliki superior information dibandingkan pihak lainnya. Superior dalam hal pengetahuan, pengalaman, kemarnpuan negosiasi, kekuatan organisasi dan sebagainya (Wood, 1994 dalam Darsono, 2001).

Proses Penganggaran Daerah di Indonesia dalam Konteks Principal Agent Theory
Scarpello dan Jones (1996) sebagaimana dikutip dalam Darsono (2001) menyatakan bahwa hubungan prinsipal-agen bersifat hirarkis. Pada tingkat manajemen di bawahnya terjadi hubungan antara prinsipal dan agen. Prinsipalnya adalah manajer puncak sedangkan agennya adalah manajer menengah. Hal inipun berlaku pada penganggaran sektor publik.

Rantai hubungan penganggaran daerah dapat ditunjukkan dalam konteks Principal - Agent Theory dengan mengacu pada pendapat Moe (1984) dalam (2001). Moe menggunakan unit analisis negara, dengan 5 rantai yaitu:
  1. voters-legislature,
  2. legislature-government,
  3. ministry of finance-spending agency,
  4. minister-bureaucrats,
  5. senior bureaucratst down to service provider.

Rantai 4 dan 5 tidak terjadi pada proses penganggaran daerah. Rantai pembuatan anggaran sektor publik yang berjenjang ini membuat adanya perangkapan peran. Sebagai contoh adalah legislatif, dalam rantai pertama legislatif berperan sebagai agen, namun sebaliknya pada rantai kedua legislatif berperan sebagai prinsipal.

Pada pemerintahan yang menganut azas demokrasi maka prinsipal utama adalah rakyat. Legislatif adalah lembaga perwakilan rakyat, keberadaannya dimungkinkan karena rakyat (voters) telah memilihnya. Dengan demikian berdasarkan hubungan prinsipal - agen, maka legislatif memiliki peran sebagai agen yang terikat kontrak untuk mewakili kepentingan rakyat sebagai prinsipal.

Peran Rakyat (voters) Sebagai Prinsipal
DPRD merupakan perwakilan rakyat sehingga DPRD harus bertanggung jawab pada prinsipal utama sektor publik yaitu rakyat. Masalahnya adalah bahwa demokrasi ditakdirkan untuk bersifat illusive dan imposible. Bersifat illusive sebab elit sebenarnya hanya bertanggungjawab diantara mereka sendiri, tidak pernah langsung ke rakyat. Bersifat imposible sebab elit, sekali terpilih mewakili rakyat melalui pemilu, dapat dengan mudah mengatasnamakan kepentingan pribadi (personal interest) sebagai kehendak rakvat (the will of the peoule) (Plamenatz, 1996 dalam Syamsudin, 2001).

Inilah permasalahan utama dalam hubungan voters dan legislatif, dengan kewenangan DPRD yang semakin besar akibat UU 22/1999 belum ada sistem kontrol yang jelas dalam mekanisme pengaturan yang resmi untuk melakukan pengawasan terhadap DPRD (Yudoyono, 2002). Beberapa jawaban selama ini mengatakan bahwa yang mengawasi DPRD adalah rakyat. Jika ada anggota DPRD yang melakukan penyimpangan, pelanggaran dan berperilaku menyimpang maka rakyat yang akan menegur dan menghukum.

social pressure adalah cara yang dapat dilakukan rakyat melalui peran berbagai parliament watch, media dan bahkan aksi langsung dengan kekuatan massa melalui berbagai demonstrasi. Sejak reformasi, banyak bermunculan NGO yang memiliki visi melakukan pengawasan balk terhadap legislatif maupun ekskutif. Di tingkat pusat terdapat ICW, di daerah juga muncul NGO dengan visi serupa, misalnya di Bandung terdapat BIGS (Bandung Institute of Governance), di Surabaya terdapat KPKD (Konsorsium Pemantau Kinerja Dewan), di Jombang ada ICDHRE. Banyak cara yang dilakukan lembaga ini antara lain berperan aktif dengan melakukan monitoring dan edukasi untuk masyarakat melalui debat publik, atau bahkan membuka situs sendiri di internet, seperti yang dilakukan ICDHRE. social pressure juga dapat dilakukan melalui peran media, yang di masa reformasi ini media memiliki lebih banyak kebebasan dibandingkan pada era orde baru.

Peran Legislatif Sebagai Agen
Dalam proses penganggaran publik, legislatif memiliki peran yang sangat penting. Di Indonesia, UU 22/1999 mengatur peran legislatif dalam penyusunan anggaran, dimana dalam pasal 18 ayat e dinyatakan bahwa DPRD bersama-sama dengan Gubernur, Bupati/Walikota menetapkan APBD. Peran legislatif semakin krusial, karena dalam tahap ratifikasi memiliki peran sebagai pihak yang berwenang mengesahkan APBD. Oleh karena itu dalam paradigma baru penganggaran publik penting bagi DPRD untuk mendengarkan aspirasi rakyat melalui hearing dengan berbagai komponen yang mewakili rakyat seperti LSM, Perguruan Tinggi, kuesioner, kotak pos, media massa dan lain-lain.

Di sisi lain, menguatnya peran legislatif di masa reformasi, sifat demokrasi yang illusive dan imposible dan tidak adanya pengaturan pengawasan formal terhadap DPRD menyebabkan meningkatnya dysfunctional behavior. Berita miring tentang besarnya gaji dan fasilitas anggota DPRD; kasus korupsi DPRD banyak muncul di berbagai media. DPRD seringkali dituduh tidak mementingkan aspirasi rakyat tapi lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Tim peneliti CSIS (2001) menemukan bahwa pada lingkungan DPRD, kebanyakan cenderung menjadi birokratis, dalam pengertian fungsi keanggotaan dan kepemimpinan dalam institusi ini dianggap sebagai jabatan, dan yang bahkan harus bersifat hirarkis. Akibatnya, tuntutan-tuntutan untuk memenuhi kebutuhan anggota dan pimpinan DPRD lebih menjadi perhatian daripada kepentingan dan aspirasi masyarakat dan daerah setempat.

Peran Legislatif Sebagai Prinsipal
DPRD adalah pengemban fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan di daerah. Pasal 18 UU no.22 Tahun 1999 mengatur pengawasan DPRD terhadap pelaksanaan Perda, Pelaksanaan Keputusan Gubernur, Bupati dan Walikota, pelaksanaan APBD, pelaksanaan kebijakan daerah dan pelaksanaan kerjasama internasional di daerah.

Pengawasan DPRD berada pada dimensi politik bukan dimensi administrasi yang dilakukan pengawas fungsional (Yudoyono, 2002). Tugas pengawasan DPP.D lebih ditekankan pada segi hubungan antara penggunaan kekuasaan ekskutif dengan kondisi kehidupan rakyat di daerah, apakah rakyat telah memperoleh pelayanan semestinya. Pengawasan pada dimensi administrasi dilakukar. oleh lembaga pengawas fungsional seperti BPK, BPKP, Bawaskot, Bawasda.

Mardiasmo (2001) membedakan istilah pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan. Pengawasan mengacu pada suatu bentuk monitoring yang dilakukan oleh pihak di luar ekskutif (dalam hal ini DPRD dan masyarakat). Pengendalian merupakan internal control yang berada di bawah kendali eksekutif (pemerintah daerah) untuk menjamin bahwa strategi dijalankan secara baik sehingga tujuan organisasi dapat dicapai, sedangkan pemeriksaan dilakukan oleh badan yang memiliki kompetensi dan independensi untuk mengukur apakah kinerja yang telah dicapai ekskutif sudah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.

Perubahan mendasar akibat PP 105%2000 yang mensyaratkan penggunaan anggaran kinerja dan perubahan sistem akuntansi keuangan pemerintah daerah dari single entry system menjadi double entry system, dan keharusan untuk melaporkan pertanggungjawaban APBD dalam bentuk laporan keuangan yang terdiri dari laporan perhitungan APBD, Nota perhitungan APBD, Laporan Arus kas dan Neraca daerah yang dilengkapi penilaian kinerja berdasarkan tolok ukur Renstra pada dasarnya merupakan upaya rneningkatkan sistem kontrol yang lebih memadai. Dengan Demikian diharapkan tuntutan masyarakat akan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah dapat dipenuhi.

Peran Eksekutif Sebagai Agen
Kepala Daerah sebagai kepala eksekutif di daerah pada hakekatnya berkewajiban atas terse lenggaranya pemerintahan. Tugas utama eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan pada dasarnya bertujuan untuk memaksimalkan kepuasan rakyat sebagai prinsipal utama sektor publik. Kebijakan yang dibuat harus be-rorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan yang berorientasi pada rakyat secara kuantitatif dapat dianalisis melalui perbandingan besarnya belanja rutin dan belanja pembangunan pada APBD. Hakim (2003) menyatakan bahwa kebanyakan daerah di Indonesia komposisi belanja rutin yang diinterpretasikan untuk kepentingan eksekutif jumlahnya rata -rata jauh lebih besar daripada belanja pembangunan yang pada hakekatnya merupakan hasil riii yang dinikmati rakyat, hanya sekitar 30%. Hal ini mencerminkan bahwa ekskutif masih dirasakan lebih mementingkan kepentingannya sendini.

Kinerja Kepala Daerah akan dinilai dalam Iaporan pertangungjawabannya kepada DPRD tentang keberhasilan berbagai program dan kebijakannya yang nampak pada realisasi APBD. Jadi sebagai agen, Kepala Daerah pun memiliki kepentingan terhadap APBD. Menurut Nouri (1994), agen yang penilaian kinerjanya ditentukan oleh berhasil tidaknya anggaran pada saat diberi kesempatan menyusun anggaran akan cenderung melakukan Budgetary slack. Mardiasmo (2001) menyatakan beberapa alasan pemerintah lokal yang memotivasi mereka menciptakan slack positif antara lain karena hal ini akan membuat mereka menjadi "a hero", dianggap generous dan understanding. Alasan politis juga dikemukakan yaitu untuk menjalin hubungan yang balk antara DPRD, Kepala Daerah dan Komite Anggaran.

Peran Kepala Daerah Sebagai Prinsipal
Peran prinsipal dalam Principal - Agent Theory pada hakekatnya berorientasi pada penerapan sistem kontrol yang baik dalam upaya mengendalikan agen sebagai manajer bawahan yang karena asimetri informasi yang dimiliknya dan keinginannya untuk memaksimalisasi utilitinya cenderung berperilaku disfungsional dapat dikurangi.

Kepala Daerah adalah Kepala Eksekutif di daerah sehingga perannya sebagai prinsipal yang berkepentingan dengan penerapan sistem kontrol sama dengan peran prinsipal pada rantai sebelurnnya. Dengan demikian Kepala Daerah sebagai prinsipal dituntut pula untuk memberi dukungan terhadap keberhasilan reformasi penganggaran, keuangan dan sistem akuntansi daerah.

Peran Middle Manager (Kepala Dinas,Kabag, Kasubag) Sektor Publik ke bawah Sebagai Agen
Dalam struktur organisasi pemerintah daerah middle manager termasuk sebagai perangkat daerah, misalnya Dinas dan lembaga Teknis Daerah (Kantor dan Badan). Hubungan antara middle manager ini dengan anggaran sangat erat. Hal ini dikarenakan mereka adalah para manajer operasional yang bertanggungjawab terhadap pelayanan kepada masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut mereka menggunakan anggaran sebagai pedoman perencanaan dan pengendalian.

Dalam proses perencanaan anggaran mereka mengajukan Daftar Usulan Kegiatan Daerah maupun Draft Usulan Proyek Daerah sebagai dokumen usulan kegiatan suatu tahun anggaran tertentu. Kinerja mereka pun sering diukur berdasarkan tingkat pencapaian anggaran yang berhasil direalisasikannya. Dalam konteks ini perilaku manajer sektor publik agaknya identik dengan manajer sektor swasta dalam mengalokasikan sumberdayanya. Moore et al. (2000) dalam studinya mengenai manajer municipal di Amerika, menemukan bukti empiris yang sejalan dengan banyak temuan pada manajer di sektor swasta bahwa budget attainability, tight budget berhubungan dengan Budgetary slack.

Mardiasmo (2001) menemukan juga bahwa manajer publik cenderung menciptakan slack positif. Alasannya, dengan slack positif akan memperbaiki hubungannya dengan Kepala Daerah dan hal ini akan menyebabkan adanya a good job security.

Kenis (1979) dengan menggunakan goal theory meneliti pengaruh dimensi-dimensi anggaran terhadap sikap dan kinerja manajerial. goal theory tersebut dikembangkan oleh Edwin A. Locke (1968). Teori ini menjelaskan bahwa perilaku seorang ditentukan oleh dua buah cognition yaitu content (values) dan intentions (tujuan). Orang telah menentukan goal tersebut dan akan mempengaruhi perilaku yang sesungguhnya terjadi. Perilakunya akan diatur oleh ide (pemikiran) dan niatnya sehingga akan mempengaruhi tindakan dan konsekuensi kinerjanya.

Factors Influencing Environmental Accounting Information System Design

Jan 21, 2012 1 comments

An entity's environmental strategy indicates both the entity's dedication and motivation to incorporate environmental stewardship in its daily activities; this may affect both external and internal reporting demands of an environmental accounting information system. A firm only interested in legitimizing its actions to society or appeasing its stakeholders (Islam and Deegan, 2008) may outfit their information system differently than a firm that finds it economically beneficial to aggressively pursue an environmental stewardship strategy (Clarkson et.al., 2008). Also, governmental and not-for-profit entities may have different considerations from for-profit firms when developing their environmental strategies since no profit motive exists (Ball, 2005; Herbohn, 2005). Even within governmental agencies, strategies will vary depending on whether an objective relates to environmental stewardship of the agency's actions or establishment and enforcement of environmental regulations (Cormier et.al., 2004) for a model on corporate environmental reporting, which considers company management assessments of stakeholder influences on a company's environmentally related actions).

Stakeholders' power (or lack thereof) to influence an entity's actions can impact the entity's environmental objectives and strategies (Aerts and Cormier, 2009; Darnell et.al., 2009; Magness, 2006; Neu et.al., 1998). Communications from an entity's management concerning environmental issues may positively or negatively impact the development of a system, as noted in a number of case studies (Ball, 2005; Dey, 2007; Herbohn, 2005). Thus, an entity's strategy towards environmental stewardship will impact the environmental accounting information system developed, and the types and level of management communications on environmental issues moderate this effect.

Experimental methods can contribute to the literature by focusing on these factors in ways that extend the archival and case study findings. Specifically, the reported associations within these studies can be extended with experiments to better understand why the associations exist. Environmental strategies can be manipulated in a laboratory setting (e.g. stakeholder appeasement strategies, pro-environmental versus pro-economic strategies, etc.) to help determine which entity strategies result in certain manager decisions that influence the ways that environmental data are implemented into an accounting information system. Stakeholder influences can be manipulated (e.g. strong external pressures, weak interactions with the entity, etc.) and studied to observe how decision makers respond to these pressures when forming the entity's environmental strategy. The model suggests that the environmental strategy employed determines the way in which an entity's environmental information system is implemented.

Environmental accounting information systems
After considering how stakeholder influences and an entity's environmental strategy molds the implementation of an environmental information system, the model emphasizes considering data organization and data quality in designing experiments on environmental accounting information systems. Relative to traditional accounting information, environmental accounting information comprises lower levels of user familiarity (Gray and Bebbington, 2001), which may hinder effective processing of this non-traditional data. This unfamiliarity may very well be contributing to the resistance organizations experience when an environmental accounting initiative struggles to make progress (Ball, 2005; Dey, 2007; Herbohn, 2005).

Experiments can explore any potential underlying psychological mechanisms that may contribute to organizational resistance (Ball, 2005) or cognitive difficulties (Kaplan and Wisner, 2009) associated with effectively using environmental data. The current literature is mainly silent on providing these types of explanation; experiments have the potential to extend the literature by determining why certain behaviors and decisions are observed.

To provide an example of psychological factors that may be important to explore in an environmental accounting context yet does not receive much attention in the extant literature, consider the following about the nature of environmental data. The organizational display of environmental data, and their combination with non-environmental metrics, warrants a particular and unique concern to decisions involving environmental information because of the unfamiliarity and potential complexity of this non-traditional data. Different types of data organization and different levels of data quality are well-known factors that impact the cognitive processing of information (Schkade and Kleinmuntz, 1994), so it is important to understand these cognitive influences on the capturing and presentation of environmental data in the implementation of accounting information systems. A better understanding of why behaviors and decisions occur would be helpful in determining how to mitigate factors such as cognitive biases in the processing of environmental information. Data organization and data quality are further explored below.

Data organization
The organization component of displayed data relates to the data visual structure (Schkade and Kleinmuntz, 1994). For example, a traditional way to organize a balanced scorecard's data is to classify and present the data in four perspectives (financial, customers, internal business processes, and learning and growth). When new data are considered to be included in the scorecard, there is debate on whether the new data organization should result in a new, fifth perspective, or whether the data should be embedded within the traditional perspectives. In Kaplan and Wisner's (2009) study, these "new data" are environmental metrics. In their experimental design, the data organization's manipulation includes a four-perspective scorecard in which environmental data embed within the traditional four perspectives, or a five-perspective scorecard in which a standalone fifth perspective isolates and groups environmental data together.

Another way to analyze data organization in an evaluative context includes considering its evaluation mode. In separate evaluation (SE) mode, alternatives are presented and evaluated sequentially. In joint evaluation (JE) mode, alternatives are presented and evaluated jointly (Fischhoff et.al., 1980). For example, assume a manager must analyze evaluations from three employees who are competing for the same promotion within the firm. If the employee analyzes the candidates for promotion in SE mode, then the manager will analyze each candidate's information one at a time. She will finish analyzing the first candidate before moving on to evaluate the second candidate. However, if the manager evaluates the candidates in JE mode, then she will analyze the candidates' information together and at the same time. When alternatives are analyzed in JE mode, direct comparisons can be made between the alternatives (and thus establish a reference point) that are not available for evaluations made in SE mode.

Environmental Disclosures and Economic Performance

Jan 20, 2012 0 comments

A second general category of archival research explores the relationships between environmental disclosures, environmental performance, and/or financial performance. Overall, the results vary in the direction and magnitude of these associations. Li et.al. (1997) find increased disclosures of environmental information when firms are more likely to pollute, when stakeholders become more aware of the firms' environmental liabilities, and when threats to obtaining regulatory costs decline. Cho et.al. (2006) find that companies with higher political lobbying efforts have increased environmental disclosures and lower environmental performances, suggesting a management strategy to influence environmental regulatory procedures. Patten (2002) finds a negative correlation between environmental disclosures and environmental performance, and the correlation is more pronounced among firms in non-ESIs. Social and political pressures may explain the negative correlation. Bad environmental performance leads to pressure to disclose, and ESIs are not affected as much by this pressure because they already receive more scrutiny.

Sociopolitical pressures may also help explain findings of negative correlations between environmental footnote disclosures and both American firms' level of business outside of the USA (fear of being perceived as a polluter) and firms' earnings volatility (fear of bad news exasperating low-earnings periods; Karim et.al., 2006). Cho et.al. (2010) find a similar usage of disclosures when considering the language of US annual reports; the worse the corporate environmental performance, the more optimistic and vague the environmental disclosure language in the entity's annual report.

Al-Tuwaijri et.al. (2004) find different results from Patten (2002) when they consider endogeneity among environmental performance, financial performance, and environmental disclosures. They find positive links, suggesting that environmental stewardship and economic success do not have to be adversarial objectives (see Frooman (1997) and Orlitzky et.al. (2003) for meta-analysis providing general support for a positive relationship between corporate socially responsible behavior and financial performance). Ruf et.al. (2001) use stakeholder theory to explain a broader positive link between corporate social performance and financial performance, suggesting that firms better serve their shareholders when they address other stakeholder concerns. Indeed, environmental disclosures on company web sites suggest that companies perceive environmental issues as a competitive advantage instead of a regulatory burden (Jose and Lee, 2007). In contrast to the above results, Murray et.al. (2006) find no relation between UK companies' stock returns and their environmental and social disclosures. However, there was a positive relationship between a company's level of disclosures and the consistency of their financial returns (i.e. high disclosure levels correlated with consistently high returns, and vice versa).

In another study on market reactions, Blacconiere and Northcut (1997) show that the market-valued environmental disclosure information surrounding US environmental regulations in 1986 (the Superfund Amendments and Reauthorization Act). Specifically, chemical companies with pre-1986 environmental disclosures received better market reactions compared to companies with environmental cost information disclosed by the EPA relating to the legislation and indicating greater environmental cost risks. Investors seem to view corporate disclosures as an indicator of the company adequately mitigating environmental cost risks such as regulatory burdens. This finding supports Blacconiere and Patten's (1994) earlier analysis of a different critical event - the 1984 Union Carbide chemical leak incident in Bhopal, India. In this study, investors also appeared to respond more favorably (i.e. not as negatively) to chemical companies that disclosed environmental information more thoroughly before the incident occurred. Magness (2010) echoes this favorable response to prior environmental disclosures in a study on investor reactions to an accident in the Canadian mining industry. In this study, investors react particularly favorable (i.e. moderate negative reactions) to companies disclosing that they have upper level company involvement in environmental issues. In a sample of pulp and paper companies, Clarkson et.al. (2004) show that environmental capital expenditures yield gains for low-polluting companies, but not their high-polluting counterparts. Also, investors utilize data on companies' environmental performances to assess future environmental liabilities that are yet to be recognized.

Clarkson et.al. (2008) attempt to resolve tension in the different frameworks used to explain the link between environmental disclosures and environmental performance. Specifically, they conclude that US companies involved in ESIs have a positive relationship between voluntary environmental disclosures and environmental performance. These findings support economic theories of discretionary disclosure and not social-political frameworks such as legitimacy theory. However, for companies experiencing pressure for better environmental performance by external stakeholders, the social-political frameworks do provide a structure for predicting disclosures of environmental information when the company has not made a hard commitment to disclose the information.

Overall, archival environmental accounting studies have tested, with much success, the legitimacy framework's ability to support the pattern of environmental disclosures observed among companies. One consequence of the evidence supporting legitimacy theory results in the possibility that firms disclose environmental information simply to gain permission from society to operate. Thus, if society is appeased by only a firm's level of information disclosure (i.e. words but not necessarily action), then improved environmental performance cannot be a guaranteed outcome. This may explain the studies that found no association (Walden and Stagliano, 2003) or failed to find a positive (Patten, 2002) correlation between environmental disclosures and environmental performance. However, other studies reviewed find a positive relationship between disclosure and performance (both environmental and financial), which would support more economic-based disclosure paradigms (i.e. firms disclose because they can back up their information claims, thus it is their competitive advantage to disclose) compared to socio-political frameworks such as legitimacy theory (Clarkson et.al., 2008). Model miss-specification, e.g. not considering endogeneity among the variables, may be driving these conflicting results (Al-Tuwaijri et.al., 2004), so this debate would benefit from more research.

Advantages of archival research methods include analyzing data from a broad portion of the test population, so results can be fairly generalized to the whole population. Since financial data usually captures consistent and high-quality information, archival methods are a good approach to addressing financial environmental accounting inquiries. However, an archival study can only suggest correlations between two variables because the variables are not manipulated and isolated (i.e. "turning one dial at a time") (Shadish et.al., 2002). Thus, the archival method cannot show causation as well as why an association between variables exists.

Kehidupan Baru

Jan 17, 2012 0 comments
Hiduplah seperti Ibrahim, raja yang meninggalkan takhta kerajaannya, lalu pergi menuju kerajaan lain. Ibrahim (Tahun 783) Pangeran Balkh, merupakan salah satu orang yang meninggalkan kerajaan eksternalnya demi kerajaan internal karena demi suatu penglihatan ilahi. Dia menjadi seorang sufi.

Pada suatu malam, saat beliau tidur, terdengar bunyi langkah kaki di atap rumahnya. Beliau pun berteriak, “Hei, siapa di atas?” Sekelompok makhluk mengagumkan tunduk menampakkah diri, dengan memperlihatkan kepalanya di ujung atap. “Oh ya, kami sedang mencari unta di atap ini!”

“Hah, siapa yang pernah menceritakan kepadamu bahwa seekor unta bisa berada di atap rumah ini?”

“Benar! Tetapi siapa juga yang pernah menceritakan bahwa orang bisa lebur menyatu dengan Tuhannya, sementara ia terus menjadi kepala negara (penguasa)?”
Itulah kejadian yang telah merubah hidup Ibrahim secara keseluruhan. Dia kini telah pergi, hilang musnah entah kemana.

Jenggot panjang dan jubahnya masih tersisa, namun diri sejatinya telah menjadi sufi yang larut musnah dalam ekstase sebuah perenungan diri di Gunung Qaf. Semua orang masih terus menyanjung-nyanjung apa yang telah dilakukan Ibrahim. Memang, dunia ini selalu saja bangga dengan perubahan total mendadak yang terjadi dalam diri orang tertentu. Diantara orang-orang, banyak yang mengenangnya kembali.

Jika engkau bukan salah satu dari orang-orang tersebut, bukalah dirimu terhadap para alkimis yang selalu berada di sekitar kita agar mereka mengubah hidupmu menjadi salah satu diantaranya. Setiap malam mereka menjamah kita dengan cara-cara yang berbeda. Tumbuhan baru tumbuh dan berkembang dalam kesadaran!

Ibrahim salah satu diantara orang yang berhasil memimpikan realitas sejati itu. Hal itu telah membebaskan dirinya secara total. Realitas beliau yang sesungguhnya adalah kebijakannya dalam pengambilan keputusan. Beliau sangat suka mendengar alunan musik, kidung nyanyian, untaian biola kuno, deru bunyi drum, alunan bunyi seruling dan terompet.

Orang-orang bijak, baik pria maupun wanita, mengatakan bahwa kita mencintai musik karena musik menyerupai alunan bunyi alam semesta yang mengumandangkan kemanunggalan segala sesuatu dengan Keberadaan.

Sebelumnya, kita merupakan bagian dari harmoni itu, dan alunan suara soprano serta getaran bunyi bas yang ada menyegarkan kembali ingatan kita akan kesatuan kita dengan harmoni jiwa tersebut. Akan tetapi bagaimana hal itu dapat terjadi, sementara tubuh-tubuh kita ini penuh diliputi dengan keraguan, kelupaan, dan ratapan duka?
Itu terjadi bagaikan air yang mengalir ke seluruh tubuh, yang entah bagaimana ia berubah menjadi pahit dan basi, namun air tetaplah air. Ia akan terus mengeluarkan nyala api! Ada alunan musik yang berdengung ke seluruh tubuh yang mampu memadamkan kobaran nyala api itu.

Dengarkanlah alunan melodi musik ini, Berusahalah agar nyaring bunyinya makin kuat terdengar.

Nabi Muhammad pernah bersabda, “tanda peristiwa agung itu terjadi apabila seseorang tidak lagi tertarik terhadap kesenangan dan kebahagiaan semu di dunia”
Demikianlah yang terjadi dalam diri seorang pangeran muda. Usia sama sekali tidak menjadi patokan atau penghalang perubahan mulia ini. Tiba-tiba, pangeran muda itu melihat dunia ini sebagai suatu drama besar raja yang tinggal di puncak gunung: anak-anak bertarung merebut puncak gundukan pasir di pantai. Salah satu berhasil mencapai puncaknya berteriak keras: “Aku adalah penguasa!” Dan yang lain menariknya turun, lalu naik dan meneriakkan hal serupa, “Sekarang akulah penguasanya!” Begitulah terus terjadi.

Kerumitan dan ketidakteraturan dunia ini dapat menjadi sangat sederhana, dan itu terjadi dengan cepat.

Oleh karena itu, Sadar dan Bangunlah….!!!
Demikian apa adanya!

Generalized Method of Moment (GMM): Blundell-Bond Estimator

Jan 15, 2012 0 comments


Estimator Blundell dan Bond yang ditemukan pada tahun 1998 dan sering disebut juga sebagai System GMM (SYS GMM). Estimator dirancang untuk data panel dengan periode waktu yang pendek, satu variabel terikat, model yang melibatkan variabel tenggat terikat, linier, memiliki variabel penjelas endogenous dan predetermined, tidak menghilangkan unobserved individual-specific effect serta dapat diterapkan secara umum.

SYS GMM dikembangkan untuk mengoreksi kelemahan first difference GMM (GMM-diff), yang pada bagian sebelumnya telah diuraikan. Hal ini menyebabkan penjelasan mengenai SYS GMM akan dapat dipahami jika didahului oleh penjelasan mengenai GMM-diff. Bagian ini juga akan menjelaskan bagaimana estimator SYS GMM dapat mengatasi kasus measurement error dan endogenitas dalam variabel penjelas.

GMM-diff. Pertama-tama dijelaskan tentang pendekatan GMM-diff. Untuk penyederhanaan, terdapat model AR (1) dengan unobserved individual-specific effect
Yit = αyi,t-1 + ηi + vit, |α| < 1 (5.3)
untuk i = 1, ..., N dan t = 2, ..., T, dimana ηi + vit = uit memiliki struktur komponen standard error.
E [ηi] = 0, E[vit] = 0, E [vit ηi] = 0 untuk i = 1, ..., N dan t = 2, ..., T (5.4)
Diasumsikan bahwa transient error tidak berkorelasi secara serial.
E [vit ηi] = 0 untuk i = 1, ..., N dan s ≠ t (5.5)
dan kondisi awal yi1 predetermined.
E [yi1 vit] = 0 untuk i = 1, ..., N dan t = 2, ..., T (5.6)
Asumsi-asumsi ini menyatakan m = 0,5 (T - 1) (T - 2) moment restriction.
E [yi,t-s Δvit] = 0 untuk t = 3, ..., T dan s ≥ 2 (5.7)
yang kemudian secara lebih singkat dapat ditulis:
E(Zit Δvit) = 0 (5.8)
di mana Zi adalah matriks (T - 2) x m yaitu:

Z= …..(5.9)

dan Δvit adalah (T - 2) vektor (Δvi3, Δvi4, ..., Δvit). Ini adalah moment restrictions yang dieksploitasi oleh standar linear GMM-diff sehingga secara tidak langsung menyatakan penggunaan tenggat level t-2 dan periode sebelumnya sebagai instrumen untuk persamaan first differences (Arellano dan Bond, 1991). Hal ini menghasilkan estimator α yang konsisten saat N menuju tidak terhingga dengan T tetap.

Estimator GMM-diff ini ditemukan memiliki sifat-sifat poor finite sample dalam konteks bias dan akurasi pada sejumlah kasus penting. Hal ini hanya akan terjadi saat tenggat level dari suatu seri berkorelasi secara lemah dengan first difference berikutnya sehingga instrumen yang tersedia untuk persamaan first difference menjadi lemah (Blundell dan Bond, 1998). Dalam model AR (1) pada persamaan (5.3), hal ini terjadi sebagai parameter autoregressive (α) yang mendekati 1 atau saat varians dari individual effecti) meningkat relatif terhadap varians transient shockit).

Simulasi yang dilakukan oleh Blundell dan Bond (1998 dan 2000) menunjukkan bahwa dapat saja terjadi large downward finite sample bias pada estimator GMM-diff terutama saat jumlah periode yang tersedia tidak terlalu panjang. Diperlukan kehati-hatian sebelum menggunakan metode ini untuk suatu seri seperti GDP per kapita dari sampel yang hanya memiliki lima atau enam periode dari rata-rata lima tahun.

SYS GMM. Estimator SYS GMM dikembangkan oleh Arellano dan Bover (1995) dan Blundell dan Bond (1998). Inti dari SYS GMM adalah sistem persamaan yang diestimasi adalah dalam bentuk first difference dan level. Instrumen-instrumen yang digunakan untuk persamaan dalam bentul level adalah lagged first difference dari seri tersebut. Instrumen-instrumen ini merupakan instrumen yang tepat dengan asumsi restriksi kondisi awal.

SYS GMM merupakan estimator yang memiliki sifat superior finite sample. Untuk memperoleh estimator GMM linear yang cocok untuk mengestimasi model-model autoregressive panel data yang persistent, Blundell dan Bond (1998) mempertimbangkan asumsi tambahan yaitu
E [ηiΔyi2] = 0 untuk i = 1, ...,N. (5.10)

Asumsi ini memerlukan restriksi pada kondisi awal yit. Kondisi (5.10) terjadi jika rata-rata dari seri yit yang bervariasi menurut individu, tetap konstan menurut periode waktu 1, 2, ..., T untuk tiap individu. Jika dikombinasikan dengan model AR (1) yang telah dikemukakan dalam persamaan (5.3) sampai dengan (5.6) maka asumsi ini akan menghasilkan T-2 kondisi momen linier sebagai berikut
E (uit Δyi,t-1) = 0 untuk i = 1, ..., N dan t = 3, 4, ..., T. (5.11)

Hal ini memungkinkan penggunaan lagged first-differences dari seri sebagai instrumen untuk persamaan dalam bentuk level sebagaimana yang diusulkan oleh Arellano dan Bover (1995).

Tahap selanjutnya adalah membangun suatu estimator GMM yang mengekspolitasi baik restriksi momen (5.7) dan (5.11). Hal ini menggunakan stack System persamaan (T-2) dalam bentuk first differences dan persamaan (T-2) dalam bentuk level, untuk periode 3, ..., T. Matriks instrumen untuk sistem ini dapat ditulis sebagai berikut:
Z =

dimana Zi diberikan sebagai persamaan (4.9). Himpunan lengkap dari second-order moment condition dengan asumsi (4.10) dapat diekspresikan sebagai
E(Zit Δvit) = 0 (5.12)
dimana ui (Δvi4, ..., Δvit, μi3,..., μit)

Jadi estimator System GMM (SYS GMM) mengkombinasikan himpunan persamaan standar dalam bentuk first difference dengan tenggat level yang cocok sebagai instrumen, dengan tambahan persamaan dalam bentuk lagged first difference sebagai instrumen. Walaupun level yit berkorelasi dengan individual specific effecti) pada model (5.3), asumsi (5.10) mensyaratkan bahwa first difference Δyit tidak berkorelasi dengan ηi sehingga memungkinkan lagged first difference untuk digunakan sebagai instrumen dalam persamaan level.

Blundell dan Bond (1998) juga melaporkan data hasil simulasi Monte Carlo yang membandingkan kinerja finite sample dari GMM-diff dan SYS GMM. Untuk Model AR (1), hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang dramatis dari finite sample bias dan keuntungan dalam hal ketepatan saat mengeksploitasi tambahan kondisi-kondisi momen ini di saat parameter autoregressive diidentifikasi secara lemah oleh persamaan-persamaan first-difference.

Temporary Measurement Error. Bagian sebelumnya telah menjelaskan bagaimana estimator GMM-diff dan SYS GMM dapat memberikan estimasi parameter yang konsisten dalam model-model panel data dengan variabel tenggat penjelas dan unobserved time-invariant individual-specific effect. Saat ini akan dijelaskan bagaimana metode-metode ini dapat memungkinkan transient measurement error. Diingatkan pula bahwa beberapa tambahan permanent measurement error telah dimasukkan pula ke time-invariant individual effect sehingga juga telah dikontrol.

Anggaplah spesifikasi AR (1) ingin diestimasi dalam persamaan (5.3) namun yit yang sesungguhnya tidak diobservasi melainkan yang diobservasi adalah
yit = yit + mit
untuk i = 1, ..., N dan t = l, ... , T, yaitu measurement errors mit yang tidak berkorelasi secara serial
E [mit mis) = 0 untuk i = 1, ..., N dan s ≠ t
dan tidak berkorelasi dengan beberapa realisasi dari disturbance kecuali current disturbance vit.
E [mit vis] = 0 untuk i = 1, ..., N dan s ≠ t.

Model empiris yang menggunakan data yang telah diobservasi adalah
yit = α Dyit-1 + η1 + &epsilon;it |α| < 1 (5.13) &epsilon;(sub>it = vit + mit – α mi,t-1
untuk i = 1, ..., N dan t = 2, ..., T, dan persamaan first-difference adaIah
ΔYit = αΔy i,t-1 + Δ&epsilon;it |α| < 1 (5.14) AF-it = Δvit + Δmit - α Δmi,t-1
untuk i = 1, ..., N dan t = 3, ..., T.

Dalam kasus ini, sangat penting untuk mencatat bahwa variabel penganggu &epsilon;it dalam persamaan (5.13) secara serial berkorelasi, sehingga tenggat dari seri yang dapat diobservasi yit-2 bukan lagi merupakan instrumen yang tepat untuk persamaan first difference dalam persamaan (5.14). Tanpa asumsi selanjutnya, hal ini berarti tidak ada instrumen yang tersedia untuk persamaan first difference equation dalam periode t = 3, dan setidaknya empat observasi seri waktu pada mis-measured series yang diperlukan untuk mengidentifikasi parameter α. Jika diasumsikan bahwa T > 4, maka akan tersedia kondisi momen berikut:
E [Yi,t-SΔ&epsilon;it] = 0 untuk t = 4. ..., T dan s ≥ 3,
yang menyatakan penggunaan tenggat level dari seri yang dapat diobservasi pada t-3 dan periode sebelumnya sebagai variabel instrumen untuk persamaan dalam bentuk first difference.

Asumsikan bahwa E( ) = 0 untuk i = 1, ..., N, sehingga kondisi momen untuk persamaan dalam bentuk level akan tersedia saat tidak terdapat measurement error. First-order moving average serial correlation dalam st juga menyatakan bahwa tidak lagi merupakan instrumen yang tepat dalam bentuk level. Asalkan measurement error mit tidak menyebabkan korelasi di antara observed first-differences dan individual ηi sehingga dapat ditulis:
E [ ] = 0 untuk i = 1, ..., N dan t = 2, .., T.
maka kondisi momen berikut tersedia
E ( ) = 0 untuk i = 1, ..., N dan t = 4, ..., T.

sehingga lagged first-difference yang cocok dari seri yang dapat diobservasi dapat juga digunakan sebagai variabel instrumen untuk persamaan dalam bentuk level dengan measurement error yang tidak berkorelasi secara serial. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, kondisi momen tambahan ini akan menjadi sangat penting untuk membangun estimator GMM dengan finite sample properties dalam konteks seri yang sangat persistent.