Satu karakter dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah meruang dan mewaktu. Hal itu juga yang menjadi paradigma positivistics dalam membangun teori. Lacatos berpendapat bahwa ilmu pengetahuan harus dapat ditolak. Untuk itu, ilmu pengetahuan berkembang sejalan dengan perkembangan pola pikir manusia.
Akuntansi, sebagai social science juga mengalami perkembangan sebagaimana karakternya yang open endded terhadap ilmu sosial lainnya. Fenomena pergeseran paradigma pengelolaan perusahaan dari shareholders orientation ke stakeholders orientation memiliki peran penting dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dibidang akuntansi. Wujud riil perkembangan ilmu pengetahuan akuntansi dalam adopsi sistemik terhadap perkembangan isu corporate social responsibility tersebut adalah akuntansi sosial (social accounting).
Social Accounting adalah “......the ordering, measuring, and analysis of the social and economic consequences of governmental and enterpreneural behaviour”. (Freedman dalam Siegel dan Marconi, 2003). Dengan demikian fokus akuntansi sosial disamping goverenmental entities juga business entities yang memiliki dampak terhadap lingkungan baik pisik psikis. Lingkungan bisnis disini termasuk natural recources.
Dilihat dari horison waktu, tahun 1960 merupakan awal dari issu akuntansi sosial yang mengemuka berbarengan dengan pentingnya perusahaan mengedepankan praktik “good citizen”. Jargon good citizen mengemuka ketika semua pihak sadar akan arti penting kualitas produk, perlindungan kesejahteraan dan kesehataan karyawan, kontribusi perusahaan terhadap community, issu pemanasan global (Siegel dan Marconi, 2003). Siegel (2003) berpendapat bahwa agar perusahaan tetap survive maka harus menjaga kesehatan lingkungan masyarakat dimana mereka berada, menjamin kesehatan para karyawan dan menjamin equality antara pengorbana financial oleh konsumen dalam memprerolah produk perusahaan dengan jaminan kualitas dan kesehatan produk tersebut.
Antara tahun 1960-an sampai dengan 1970-an dapat dikatakan sebaga era perhatian sosial oleh masyarakat, dimana masyarakat (people) mulai muncul tuntutan tentang corporate social responsibility (Siegel, 2003). Robert Beyer (managing partner of Touche Ross in New York) menunjukkan:
Konferensi Stockholm tahun 1972 mencatat kejadian monumental berskala internasional tentang lingkungan. Saat itu, semua pihak menyadarai akan semakin menurunya kuaslitas lingkungan. Dalam konferensi tersebut menghasilkan resolusi monumental yaitu terbentuknya Nations Environmental Programme (UNEP) yang merupakan badan khusus PBB yang menangani masalah lingkungan.
Tahun 1983 PBB tergugah untuk ikut menangani masalah lingkungan dengan membentuk World Commission on Environment and Development. KTT Bumi Rio de Janeiro yang merupakan konferensi lingkungan sedunia diselenggarakan oleh PBB mengusung topik lingkungan. KTT Bumi ini menghasilkan kesepakan mendasar agar semua pihak sekecil apapun, baik atau buruk terhadap ramah lingkungan. Konferensi ini juga menekankan pentingnya semangat kebersamaan dalam mengatasi berbagai masalah terkait solusi saling berbenturannya antara kelompok yang melakukan pembangunan ekonomi dengan kelompok yang berkepentingan dalam melakukan upaya-upaya konservasi lingkungan.
Menelisik berbagai kejadian monumental kelas internasional tersebut, bukan berarti tanpa alasan. Berbagai kesepakatan tersebut dilatarbelakangi oleh semakin merosotnya lingkungan yang dipicu oleh industrialisasi. Sebagai contoh riil pada skala nasional adalah kasus Free Port, Lapindo, Caltex, Newmon, pencemaran lingkungan didaerah industri, radiasi, emisi debu, kebisingan, keincangan sosial dan sejenisnya. Problematika lingkungan tersebut, masyarakat harus menanggung berbagai pengorbanan sosial (social cost) sementara mereka adalah bukan pihak yang diungtungkan terkait industrialisasi. Dampak yang paling akhir adalah munculnya berbagai penyakit dan munculnya komplain (protes) stakeholders terhadap perusahaan. Hal itu akan mempengaruhi existensi operasional perusahaan dan bahkan sampai pada penutupan usaha.
Melihat konteks signifikansi keberpihakan sosial oleh unit business, kurun dekade terakhir issue corporate social responsibility menjadi kajian menarik baik dalam skala nasional maupun internasional, oleh praktisi maupun akademisi. Bukti empiris menunjukkan bahwa perusahaan telah membuka diri baik secara sukarela (motive approach) maupun karena tekanan dan anjuran pelaksanaan aturan (system approach) untuk melaksanakaan berbagai bentuk aktivitas sosial (keberpihakan sosial).
Tak kalah penting, perkembangan riset dibidang social responsibility tumbuh dan berkembang melampaui diberbagai lini kajian. Deegan (2002) melakukan meta analisis terhadap riset dibidang social responsibility yang merupakan bagian dari ranah riset dibidang akuntansi sosial (social accounting) bahwa riset dibidang akuntansi sosial khusuis dalam topik social responsibility telah masuk diberbagai dimensi masalah yang dikesploitasi. Tabel berikut ini memberikan gambaran masalah yang dipertanyakan dalam riset selama puluhan tahun, antara lain:
Tabel 1.
Perkembangan Riset di bidang Social Responsibility (Social Accounting)
Akuntansi, sebagai social science juga mengalami perkembangan sebagaimana karakternya yang open endded terhadap ilmu sosial lainnya. Fenomena pergeseran paradigma pengelolaan perusahaan dari shareholders orientation ke stakeholders orientation memiliki peran penting dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dibidang akuntansi. Wujud riil perkembangan ilmu pengetahuan akuntansi dalam adopsi sistemik terhadap perkembangan isu corporate social responsibility tersebut adalah akuntansi sosial (social accounting).
Social Accounting adalah “......the ordering, measuring, and analysis of the social and economic consequences of governmental and enterpreneural behaviour”. (Freedman dalam Siegel dan Marconi, 2003). Dengan demikian fokus akuntansi sosial disamping goverenmental entities juga business entities yang memiliki dampak terhadap lingkungan baik pisik psikis. Lingkungan bisnis disini termasuk natural recources.
Dilihat dari horison waktu, tahun 1960 merupakan awal dari issu akuntansi sosial yang mengemuka berbarengan dengan pentingnya perusahaan mengedepankan praktik “good citizen”. Jargon good citizen mengemuka ketika semua pihak sadar akan arti penting kualitas produk, perlindungan kesejahteraan dan kesehataan karyawan, kontribusi perusahaan terhadap community, issu pemanasan global (Siegel dan Marconi, 2003). Siegel (2003) berpendapat bahwa agar perusahaan tetap survive maka harus menjaga kesehatan lingkungan masyarakat dimana mereka berada, menjamin kesehatan para karyawan dan menjamin equality antara pengorbana financial oleh konsumen dalam memprerolah produk perusahaan dengan jaminan kualitas dan kesehatan produk tersebut.
Antara tahun 1960-an sampai dengan 1970-an dapat dikatakan sebaga era perhatian sosial oleh masyarakat, dimana masyarakat (people) mulai muncul tuntutan tentang corporate social responsibility (Siegel, 2003). Robert Beyer (managing partner of Touche Ross in New York) menunjukkan:
Restrictions on the use for “free” air and water are also matter of social accounting. Society is now examining cost that have always existed. Cost in terms of life and death, damage buidings and art works, foliag, and all other noxious effects of pollution. The only difference is that these costs are being transferred to the extent that is fiasible-from the cpmmunity at large to those who cause them and benefit from them”.Dengan demikian issu corporate social responsibility (CSR) tak dapat dilepas dari sejarah kejadia empiris yang semakin dis-harmoni. Tahun 1960-an Rache Carson menerbitkan buku “Silen Spring” yang didalamnya mengupas tantang persoalan lingkungan yang diwacanakan global. Dalam buku tersebut megupas banyak tentang kemerosotan lingkungan gobal yang sekarang terkenal dengan global worning. Sejak itu permasalah lingkungan semakin menggelobal dan menjadi perhatianb luas.
Konferensi Stockholm tahun 1972 mencatat kejadian monumental berskala internasional tentang lingkungan. Saat itu, semua pihak menyadarai akan semakin menurunya kuaslitas lingkungan. Dalam konferensi tersebut menghasilkan resolusi monumental yaitu terbentuknya Nations Environmental Programme (UNEP) yang merupakan badan khusus PBB yang menangani masalah lingkungan.
Tahun 1983 PBB tergugah untuk ikut menangani masalah lingkungan dengan membentuk World Commission on Environment and Development. KTT Bumi Rio de Janeiro yang merupakan konferensi lingkungan sedunia diselenggarakan oleh PBB mengusung topik lingkungan. KTT Bumi ini menghasilkan kesepakan mendasar agar semua pihak sekecil apapun, baik atau buruk terhadap ramah lingkungan. Konferensi ini juga menekankan pentingnya semangat kebersamaan dalam mengatasi berbagai masalah terkait solusi saling berbenturannya antara kelompok yang melakukan pembangunan ekonomi dengan kelompok yang berkepentingan dalam melakukan upaya-upaya konservasi lingkungan.
Menelisik berbagai kejadian monumental kelas internasional tersebut, bukan berarti tanpa alasan. Berbagai kesepakatan tersebut dilatarbelakangi oleh semakin merosotnya lingkungan yang dipicu oleh industrialisasi. Sebagai contoh riil pada skala nasional adalah kasus Free Port, Lapindo, Caltex, Newmon, pencemaran lingkungan didaerah industri, radiasi, emisi debu, kebisingan, keincangan sosial dan sejenisnya. Problematika lingkungan tersebut, masyarakat harus menanggung berbagai pengorbanan sosial (social cost) sementara mereka adalah bukan pihak yang diungtungkan terkait industrialisasi. Dampak yang paling akhir adalah munculnya berbagai penyakit dan munculnya komplain (protes) stakeholders terhadap perusahaan. Hal itu akan mempengaruhi existensi operasional perusahaan dan bahkan sampai pada penutupan usaha.
Melihat konteks signifikansi keberpihakan sosial oleh unit business, kurun dekade terakhir issue corporate social responsibility menjadi kajian menarik baik dalam skala nasional maupun internasional, oleh praktisi maupun akademisi. Bukti empiris menunjukkan bahwa perusahaan telah membuka diri baik secara sukarela (motive approach) maupun karena tekanan dan anjuran pelaksanaan aturan (system approach) untuk melaksanakaan berbagai bentuk aktivitas sosial (keberpihakan sosial).
Tak kalah penting, perkembangan riset dibidang social responsibility tumbuh dan berkembang melampaui diberbagai lini kajian. Deegan (2002) melakukan meta analisis terhadap riset dibidang social responsibility yang merupakan bagian dari ranah riset dibidang akuntansi sosial (social accounting) bahwa riset dibidang akuntansi sosial khusuis dalam topik social responsibility telah masuk diberbagai dimensi masalah yang dikesploitasi. Tabel berikut ini memberikan gambaran masalah yang dipertanyakan dalam riset selama puluhan tahun, antara lain:
Perkembangan Riset di bidang Social Responsibility (Social Accounting)
Research Problem & statement | Researches |
---|---|
What are companies report | Ernst & Earnst (1970), See Teoh & Thong (1984), Andrews et al (1989), Guthrie & Parker (1990), Harte & Owen (1991), Lynn (1992), Adams et al (1995), Gidsons & Guthrie (1995), Niskala & Pretes (1995), Deegan & Gordon (1996), Gamble et al (1996), Choi (1999), Bell and Lehman (1999), Newson & Deegan (2002) |
Can social & environmental disclosure practices be linked to other attributes of performance, such as economics perfoprmance, or to factors such as industry membership, country of origin (and culture), or size | Ingram & Frazier (1980), Trotman & Bradley (1981), Ulmann (1985), Cowen et al (1987), Fayers (1998), Newson & Deegan (2002) |
How do particular stakeholders react to social and environmental disclosure | Ingram (1978), Buzby & Falk (1978, 1979), Anderson dan Frankle (1980), Jaggi & Freedman (1982), Shane & Spicer (1983), Freedman & Jaggi (1986, 1988), Epstein & Freedman (1994), Blacconiere & Patten (1994), Tilt (1994), Deegan & Rankin (1997) |
What are accountant attitudes to social & environmental Accounting | Bebbington et al (1994), Deeegan et al (1996) |
What is the correspondence between corporate social and environmental disclosure and actual corporate performance | Wiseman (1982), Rockness (1985) |
Whar are roles of taxation instruments in relation to environmetal protection | Baumol (1975), Lockhart (1997), O’Riordan (1997) |
How is accounting education embracing the area, and what are sme of the impediments to including social & environmental issue with the accounting education programs of universities and professional accounting bodies | Blundell & booth (1988), Gray et al (1994), Gibson (1997), Gordon (1998), Gray & Collison (2001) |
How should organisations account for their social and environmetal performance | C.C Abt Associates (1972), Milne (1991), USEPA (1996), Bebbington & Gray (1997), Mathews (2000) |
What theories best explain how we do report, or perhaps, how we should report social and environmental information | Ramanathan (1976), Cooper & Sharer (1984), Benston (1982, 1984), Belkoui & Karpik (1989), Mathews (1993, 2000), Gray et al (1996), Lehman (1999), Deegan (2000) |
How Should (and perhaps, why should) management accounting system embrance social and environmental issues | Stone (1995), Bennett and James (1997, 1998), Ditz et al (1996), Lehman (1999), Deegan (2000) |
What motivates managers to make particular social & environmental disclosure | Guthrie & Parker (1989), Patten (1992), Roberts (1992), Degaan & Gordon (1996), Deegan & Rankin (1997), Adams et al (1998) |
What is the role, or scope, of social and environmental verifications, attentations, or audits (and these can all take on various forms) | Bauer & Fenn (1973), Grojer & Stark (1977), Brooks (1980), Geddes (1991), Gray & Collison (1991), Gray et al (1991), Zadek (1993), Gallhofer & Haslam (1995), Power (1997), Owen & Swift (1999), Ball et al (2000), Owen et al (2000), Gray (2002) |
Klik tombol like di atas... Jika anda menyukai artikel ini.
Terima Kasih telah mengunjungi Tautan ini,
Jangan lupa untuk memberikan komentar pada form di bawah post ini.
Maturnuwun...
Terima Kasih telah mengunjungi Tautan ini,
Jangan lupa untuk memberikan komentar pada form di bawah post ini.
Maturnuwun...
Comments :
Views All / Send Comment!
Post a Comment