Kasus tertangkap tangan pejabat auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jawa Barat oleh tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap Rp 272 juta, dianggap telah melukai integritas dan kredibilitas BPK dimata publik (Arif Nuralam, 2010, Direktur Eksekutif Indonesia Budgeting Center/IBC). Keadaan ini menunjukkan betapa pentingnya masalah integritas dan standar penilaian integritas bagi auditor, termasuk akuntan professional (Mawar Saron, 2008), dan penguatan integritas para pejabat publik jelas tidak bisa ditunda lagi (Azyumardi Azra, 2008).
Kasus tersebut sebenarnya menyangkut integritas kedua belah pihak, baik bagi auditor maupun bagi kliennya (Libby, 1981). Ikatan Akuntan Indonesia (IAI, 2010) menyebutkan bahwa, untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap akuntan harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin, karena (1) integritas mendasari timbulnya pengakuan professional, (2) Integritas tidak dapat menerima kecurangan atau peniadaan prinsip, (3) Integritas adalah bentuk standar teknis dan etika, (4) Integritas adalah prinsip objektivitas dan kehati-hatian profesional. Ketika auditor akan memulai suatu rangkaian audit, penilaian integritas klien seharusnya menjadi pertimbangan utama (COSO, 2004), karena integritas merupakan elemen utama dalam pengendalian intern.
Demikian juga Muatz dan Sharaf (1961) menyebutkan bahwa penilaian perilaku klien akan mempengaruhi strategi audit, walaupun rendahnya integritas klien tidak selalu menimbulkan masalah penipuan (Bernardi, 2000). Evaluasi bukti adalah bagian fundamental setiap audit, kompleks dan vital dalam proses pengambilan keputusan, auditor membutuhkan pertimbangan mengenai kualitas dan kuantitas bukti sesuai dengan kriteria yang ditetapkan seperti kecukupan, kompetenssi dan biaya (Lin, et.al., 1984). Sampai saat ini, auditor tetap pada pendirian awal bahwa objektif mendapatkan dan mengevaluasi bukti adalah inti dari audit (Ulfert Gronewold, 2003). Chow et.al., (1987), Van Peursem dan Pratt (1993), dan Kelly (1991) menemukan bahwa, evaluasi integritas klien dianggap oleh auditor sebagai salah satu langkah yang paling sulit dalam proses audit.
Namun studi lain menunjukkan bahwa integritas klien tidak signifikan dalam proses pengambilan keputusan, termasuk Kaplan dan Reckers (1984) dan Wright (1992). Studi Reckers dan Shultz (1993) juga menunjukkan bahwa auditor secara individu tidak mungkin lebih berhati-hati terhadap potensi adanya penipuan. Kurangnya kehati-hati ini dapat terjadi karena auditor tidak sepenuhnya mengintegrasikan informasi tentang penipuan dalam perkiraan mereka tentang kemungkinan untuk penipuan yang ada (Joyce dan Biddle, 1981). Friedberg et.al.,(1989) meneliti kepentingan relatif dari faktor-faktor kualitatif dan kuantitatif ketika menilai batas materialitas, mereka menemukan faktor-faktor kualitatif yang harus dipertimbangkan ketika mengevaluasi materialitas yaitu integritas manajemen.
Ponemon dan Gabhart (1993) menemukan bahwa integritas klien terkait dengan penilaian resiko auditor. Anderson dan Marchant (1989) mempelajari hubungan antara penilaian auditor atas kemungkinan penipuan dan penilaian risiko menggunakan integritas klien. Mereka menemukan bahwa, ketika membuat penilaian mengenai integritas dan kemampuan (ability) klien, perilaku positif (negatif) mempunyai nilai diagnostik yang lebih besar. Demekian juga, ketika memberikan penilaian perilaku positif dan negatif pada integritas klien, auditor akan berkonsentrasi pada perilaku negatif, sedangkan perilaku positif digunakan dalam evaluasi kemampuan (ability) klien. Joyce and Biddle (1981), mengontrol evaluasi integritas manajemen terjadi dalam tahap perencanaan audit.
Bernardi (1994a) menyatakan bahwa auditor membuat hipotesis tentang integritas klien selama tahap perencanaan audit. Selama audit, auditor harus menggunakan temuan mereka untuk melakukan revisi, mendukung atau menolak dugaan awal mereka tentang integritas klien. Bernardi (1994a) menemukan bahwa manajer terdeteksi penipuan pada tingkat yang lebih tinggi ketika ditemukan informasi tentang tinggi atau rendah integritasnya. Bernardi (1994a) menyarankan bahwa manajer yang moralnya tinggi, mungkin lebih mampu merevisi perkiraan risiko mereka sebelumnya, ketika diberi data yang bertentangan dengan perkiraan awal tentang integritas klien mereka dan deteksi penipuan.
Faktor yang dapat mempengaruhi hasil evaluasi bukti audit adalah kehandalan atau credibility sumber bukti, apakah bukti dari sumber yang berbeda atau yang bersifat berbeda adalah konsisten, dan interaksi antara keduanya ( Hirst,1994), baik sumber bukti internal maupun bukti eksternal serta konsistensi bukti dari sumber yang berbeda tersebut. Jenny Goodwin (1999), menyebutkan integritas dievaluasi sebagai tinggi atau rendah berkaitan dengan bukti yang diberikan oleh sumber. Studi sebelumnya yang dilakukan oleh Kaplan dan Reckers,1984; Bernardi,1994; Peecher,1996) telah memeriksa respon auditor terhadap integritas manajemen klien dalam berbagai situasi, hasil studi tidak signifikan. Peecher (1996) menemukan bahwa integritas manajemen mempengaruhi penerimaan distorsi penjelasan klien.
Bernardi (1994) menemukan bahwa sebagian besar auditor tampaknya tidak peduli dengan integritas klien ketika mengevaluasi kemungkinan salah saji dalam neraca. Rogers dan Shoemaker (1971), menyatakan bahwa kredibilitas adalah derajat dimana sumber atau saluran komunikasi dianggap sebagai dapat dipercaya dan kompeten oleh penerima secara objektif. Joyce dan Biddle (1981) menemukan bahwa auditor sensitif terhadap objektivitas bukti. Sementara Hirst (1994) menemukan interaksi antara kompetensi dan objektivitas merupakan faktor signifikan, hanya ketika kompetensi sumber tinggi. Sedangkan, sampai saat ini, belum ada studi tentang sensitivitas auditor terhadap integritas, selain integritas manajemen (Jenny Goodwin,1999). Hasil studi Bernardi (1994) juga menunjukkan bahwa auditor tidak sensitif terhadap integritas klien dalam tugas deteksi penipuan. Jenny Goodwin (1999), secara khusus, menyarankan studi lebih lanjut tentang interaksi antara integritas sumber, konsistensi bukti dan independensi sumber.
Pernyataan Standar Audit (SAS) 82 (AICPA, 1997) mensyaratkan bahwa auditor harus mendokumentasikan penilaian mereka tentang risiko penipuan. Selain itu, auditor juga harus peka tentang syarat untuk mendokumentasikan faktor menentukan risiko audit. Auditor pada awal atau sebelum melakukan pemeriksaan akan mengantisipasi dan mengevaluasi integritas klien, karena tingkat keyakinan akan integritas klien tersebut akan memberikan arahan guna penyesuaian program pemeriksaan dan potensi resiko yang mungkin akan diterima serta keyakinan akan keabsahan bukti yang akan dikumpulkan.
Bernardi (1997) mempelajari hubungan antara auditor, penilaian terhadap kemungkinan penipuan dengan integritas klien. Pada peringkat rendah (tinggi) meningkatkan integritas (penurunan) estimasi kemungkinan penipuan terdeteksi (tidak mendeteksi) oleh auditor. Dua efek tidak terduga terjadi sehubungan dengan probabilitas penipuan: (1) auditor pada kelompok integritas yang tinggi, yang terdeteksi penipuan, nilai probabilitas lebih tinggi dari kelompok kontrol dan (2) probabilitas perkiraan penipuan auditor dalam kelompok rendah, yang tidak mendeteksi penipuan, ada lebih tinggi dari kelompok kontrol auditor.
Goodwin (1999), menggunakan integritas auditor untuk menentukan sensitivitas terhadap sumber informasi audit, dan menyatakan bahwa integritas sumber informasi adalah variabel yang paling signifikan. Indah (2001), menemukan bahwa penilaian tentang integritas klien baru, yang negatif terkait dengan penilaian auditor pada tingkat risiko usaha untuk klien. Demikian pula, Ayers dan Kaplan (2003) menemukan bahwa penilaian terhadap risiko keterlibatan mengenai penerimaan klien baru secara bermakna dikaitkan dengan persepsi tentang integritas klien. Dan Johnstone serta Bedard (2004) menemukan bahwa persepsi integritas klien dikaitkan dengan keputusan tentang apakah akan menerima klien baru serta melanjutkan atau menghentikan jasa audit kepada klien tersebut.
Studi yang menguji hubungan antara penilaian auditor eksternal terhadap integritas manajemen, dan penilaian auditor terhadap risiko kekeliruan, perencanaan audit dan penemuan salah saji laporan keuangan, menunjukan terdapat hubungan antara integritas manajemen, perencanaan audit dan resiko audit (Dwight, Kizirian dan Brian, 2003). Demikian juga dengan Mock & Wright (1999) bahwa resiko audit mempunyai hubungan dengan perencanaan audit, sehingga auditor perlu penyesuaian keputusan mereka berdasarkan bukti tentang integritas manajemen (Beaulieu, 2001).
Penilaian integritas adalah komponen penting dari keputusan penerimaan klien baru (Ayers dan Kaplan 1998; Asare et al, 1994). Demikian juga setelah klien baru diterima, yaitu dalam tahap perencanaan, pertimbangan bila integritas klien di bawah normal, maka diperlukan penyesuaian tentang pengumpulan bukti audit, resiko audit, termasuk biaya audit. Integritas manajemen merupakan faktor penentu utama struktur resiko klien, sehingga auditor perlu memasukkan komponen resiko ke dalam penilaian audit (Dwight, Kizirian dan Brian, 2003). Ketika integritas manajemen dinilai rendah, maka auditor perlu memperbanyak bukti eksternal, demikian sebaliknya ketika integritas manajemen dinilai tinggi, diharapkan resiko dinilai pada tingkat yang lebih rendah.
Berdasar perspektif di atas, maka studi ini dimaksudkan membuktikan bagaimana pengaruh integritas terhadap bukti audit dan keyakinan audit (audit belief) dengan mediasi penilaian resiko audit dan bukti audit. Dewan Pengawas Perusahaan Akuntansi Publik (PCAOB 2007), menekankan kembali pentingnya penilaian risiko di bidang audit, karena, jika praktek audit gagal untuk menilai risiko klien secara tepat, kesimpulan yang keliru mungkin terjadi.
Penilaian risiko dengan menggunakan fungsi keyakinan secara potensial lebih informatif dibandingkan mereka yang menggunakan probabilitas (Hironori dan Mock, 2011). Ketika auditor berencana untuk menerima klien baru, yang penting mendapat perhatian adalah integritas klien, karena integritas akan mempengaruhi kemungkinan resiko yang dihadapi yaitu risiko penipuan dan kredibilitas sumber (Beaulieu, 2001). Penilaian integritas yang negatif secara tidak langsung terkait dengan penilaian bukti audit dan rekomendasi biaya (Beaulieu, 2001). Audit integritas juga merupakan petunjuk yang menyediakan informasi bagi auditor dalam menganalisis risiko dalam akuntansi sektor publik (Kathleen, 2008).
/ --- < Beberapa dikutip dari Rancangan Proposal Penelitian Jusmi Amit, SE., MBA., M.Si. > --- /