Putaran krisis ekonomi dan keuangan global paska kehancuran Lehman Brothers menimbulkan kekacauan dan kepanikan di pasar keuangan global, termasuk industri perbankan di Indonesia. Di berbagai negara, aliran dana dan kredit terhenti, transaksi dan kegiatan ekonomi sehari-hari terganggu. Aliran dana keluar (capital outflow) terjadi besar-besaran. Indonesia yang saat krisis tidak memberlakukan penjaminan dana nasabah secara menyeluruh, menderita capital outflow lebih parah dibanding negara-negara tetangga yang menerapkan penjaminan dana nasabah secara penuh (blankeet guarantee). Aliran dana keluar itu membuat likuiditas di dalam negeri semakin kering dan bank-bank mengalami kesulitan mengelola arus dananya (Bank Indonesia: Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia, 2010).
Situasi krisis ketika itu berdampak pada bank-bank berskala besar di Indonesia. Pada bulan Oktober 2008, terdapat tiga bank besar BUMN yakni Bank Mandiri, Bank BNI, dan Bank BRI meminta bantuan likuiditas dari Pemerintah masing-masing sebesar 5 (lima) triliun rupiah. Total dana untuk menginjeksi ketiga bank tersebut sebesar 15 (lima belas) triliun rupiah. Dana tersebut bersumber dari uang pemerintah yang berada di Bank Indonesia. Bantuan likuiditas itu dipakai untuk memperkuat cadangan modal bank atau memenuhi komitmen kredit infrastruktur tanpa harus terganggu likuiditasnya. Maksud dari adanya bantuan likuiditas pemerintah ini agar ketiga bank pemerintah tadi tidak perlu mencari pinjaman dari luar negeri.
Ketika bank pemerintah yang secara umum mempunyai risiko kegagalan permasalahan likuiditas lebih kecil dari bank non pemerintah (swasta), maka akan sangat memungkinkan permasalahan serupa juga terjadi pada bank non pemerintah. Berdasar data dari statistik perbankan Indonesia, bank-bank swasta menengah dan kecil yang mengalami penurunan dana simpanan masyarakat. Dana itu lari ke luar negeri atau bank-bank besar, bahkan sampai ada nasabah yang menarik simpanan pada safe deposit box karena takut banknya ditutup. Kesulitan bank-bank menengah-kecil itu semakin diperparah ketika salah satu sumber pendanaan yang biasanya sangat didanalkan, yakni dana antar bank atau Pasar Uang Antar Bank (PUAB), berhenti mengalir atau macet.
Terdapat potensi kerentanan apabila terjadi flight to quality atau capital outflow yang mengakibatkan bank-bank menengah-kecil akan mengalami kesulitan likuditas (Kajian Stabilitas Keuangan, 2009).
Kenyataan pahit tersebut masih diperburuk lagi dengan penurunan kualitas aset-aset yang dipegang bank. Hal ini pada akhirnya akan memukul modal bank, karena surat-surat berharga yang dikuasai bank seperti Surat Utang Negara (SUN) nilainya merosot tajam. Di lain pihak, kenaikan yield atau penurunan harga SUN telah menyebabkan penurunan nilai aset bersih dalam neraca bank, asuransi, dana pensiun, dan reksadana yang memiliki SUN. Penurunan nilai aset menimbulkan kerugian yang selanjutnya menggerus kecukupan modal (CAR) lembaga keuangan tersebut.
Pada sisi lain, indek tekanan perbankan (Banking Pressure Index) yang dikeluarkan oleh Danareksa Research Institute serta indek stabilitas keuangan (Financial Stability Index) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia masuk dalam ambang batas kritis. Banking Pressure Index per Oktober 2008 sebesar 0,9 atau lebih tinggi dari ambang normal 0,5. Hal ini mengindikasikan adanya tekanan terhadap sistem perbankan yang cukup tinggi dan potensi terjadinya kegagalan (default) yang sangat besar.
Banking Pressure Index Indonesia
Kondisi ambang batas juga dapat dilihat pada indek stabilitas keuangan (Financial Stability Index) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Financial Stability Index per November 2008 sebesar 2,43 atau di atas angka indikatif maksimum 2,0. Kedua indikator ini menunjukkan sistem perbankan dan sistem keuangan nasional dalam keadaan genting.
Financial Stability Index
Sementara itu, lemahnya pasokan dana di masyarakat, membuat industri perbankan berusaha mempertahankan dana-dana (rupiah dan valas) yang mereka miliki guna mengantisipasi munculnya kewajiban seperti penarikan dana tunai deposan secara mendadak. Guna mempertahankan penghimpunan dana, Bank memberikan promosi untuk mempertahankan dana masyarakat melalui penawaran tingkat suku bunga tinggi khususnya deposito (dari 6 persen menjadi 12 persen per tahun). Perang bunga antar bank pun semakin tidak terhindarkan. Situasi ini akan berdampak pada kenaikkan tingkat bunga kredit yang memberatkan dunia usaha (Bank Indonesia: Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia.
Perkembangan Kredit dan DPK Perbankan
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, 2009.
Dalam kondisi biaya dana (cost of funds) yang semakin mahal, tiada pilihan bagi bank-bank untuk memangkas laba usaha mereka guna mempertahankan eksistensi keberlangsungan usaha dalam dunia perbankan nasional. Bila merujuk data statistik BI per Desember 2008, laba bank-bank umum setelah pajak mengalami penurunan tajam dibandingkan dengan perolehan laba sebulan sebelumnya (Nopember) yang membukukan sebesar Rp 30,61 triliun. Penurunan laba ini terutama disebabkan beban biaya (cost of funds) yang semakin tinggi.
Selain itu, sumber pemicu kerugian serta risiko kegagalan bank lainnya adalah transaksi valuta asing, terutama dolar AS. Pelemahan rupiah terhadap dolar AS periode September ke Desember 2008 berakibat pada transaksi valuta asing perbankan. Ketika rupiah melemah sebagai imbas dari krisis global, hal tersebut akan sangat memukul sisi permodalan serta kas bank. Dalam suasana seperti itu, tingkat kepercayaan nasabah bank pun goyah yang diperlihatkan dengan aksi runs. Di tengah situasi krisis, sebuah isu kecil dapat menjadi pemicu dan pemacu sebuah krisis besar seperti yang terlihat pada aksi runs nasabah pasca penutupan 16 (enam belas) bank di tahun 1997/1998. Bank runs terjadi jika sebagian besar nasabah menarik dananya sesegera mungkin karena kekhawatiran bahwa bank tidak dapat membayar dananya dalam jumlah penuh dan tepat waktu. Penarikan dana secara bersamaan tersebut dapat menimbulkan permasalahan kekurangan likuiditas bagi bank dan pada lanjutannya dapat menimbulkan kebangkrutan bank. Selain itu, bank runs yang terjadi pada salah satu bank dapat menimbulkan negative externality terhadap perbankan secara keseluruhan, yaitu dapat menjalar dengan cepat ke bank lainnya (contagion effect) atau systemic risk (Simorangkir, 2006).
Fenomena bank runs sebenarnya bukan terjadi pada akhir-akhir ini saja, melainkan telah terjadi sejak manusia memperkenalkan sistem perbankan modern. Kejadian bank runs dan bank panics terjadi di negara-negara berkembang maupun di negara-negara maju. Selain itu, bank runs dan bank panics tidak hanya terjadi sekali saja, tetapi terdapat kecenderungan pengulangan di beberapa negara. Menurut Kemmerer (1910) dalam Simorangkir (2006), antara tahun 1890 dan 1908 terdapat 21 kejadian bank panics di Amerika Serikat (AS).
Perkembangan terakhir juga menunjukkan bahwa antara tahun 1981 hingga tahun 1992 kembali terjadi banking crisis. Krisis perbankan di negara-negara lain juga menunjukkan fenomena yang sama. Menurut Demirguc-Kunt dan Detragiachhe (1997) setidaknya terdapat 29 negara yang mengalami krisis perbankan pada era di atas tahun 1980-an.
Sementara itu, Indonesia juga mengalami pola yang sama. Pada tahun 1992, beberapa perbankan Indonesia pernah mengalami bank runs dan terakhir pada tahun 1997/1998 merupakan krisis perbankan terparah dalam sejarah perbankan nasional. Bank runs yang terjadi di Indonesia pada akhir tahun 1997 tidak jauh berbeda dengan negara lainnya dan bahkan dalam beberapa hal krisis perbankan yang terjadi di Indonesia memberikan dampak yang lebih parah terhadap perekonomian. Krisis perbankan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997/1998 merupakan akibat dari kebijakan Pemerintah untuk menutup 16 bank pada November 1997. Di tengah tidak adanya asuransi deposito dan jaminan Pemerintah, kebijakan ini telah menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Kepanikan masyarakat telah mendorong terjadinya penarikan-penarikan tunai dana perbankan yang cukup besar dan pemindahan dana dari bank-bank yang dianggap lemah ke bank-bank yang dinilai kuat. Sebagai akibatnya, beberapa bank yang sebelumnya tergolong sehat dan sumber utama pemasok dana juga ikut terkena dampak krisis kepercayaan tersebut sehingga berubah posisinya menjadi peminjam dana di pasar uang antar bank (PUAB) (Kurniati dan Permata, 2009).
Menurut Kurniati dan Permata (2009), kepanikan seperti itu membuat bank-bank cenderung menahan likuiditas, baik rupiah maupun valuta asing (valas), untuk keperluan likuiditasnya masing-masing. Kondisi seperti ini akan membahayakan bank-bank yang tidak memiliki kekuatan likuiditas yang cukup. Lebih mengerikan lagi, jika kemudian muncul rumor atau berita negatif mengenai kegagalan bank dalam settlement kliring/real time gross settlement (RTGS), hal ini akan dengan cepat memicu terjadinya kepanikan di kalangan masyarakat dan berpotensi menimbulkan bank runs.
Kondisi ini diperparah lagi dengan depresiasi nilai tukar rupiah yang cukup besar sehingga kewajiban valuta asing bank membengkak cukup besar. Berbagai perkembangan ini tidak saja memperlemah kondisi likuiditas bank, tetapi juga memperlemah rentabilitas dan solvabilitas bank. Kondisi ini tercermin dari meningkatnya kredit yang tergolong tidak lancar dan turunnya rentabilitas bank. Walaupun bank runs di Indonesia telah berlangsung tujuh tahun yang lalu, dampaknya masih dirasakan sampai saat ini. Fungsi intermediasi perbankan saat ini masih belum berjalan normal, walaupun Bank Indonesia telah melakukan langkah-langkah penyehatan perbankan seperti restrukturisasi perbankan yang menyeluruh.
Pengalaman empiris menunjukkan bahwa bank runs dan bank panics dapat terjadi pada suatu negara. Hal ini dimaklumi karena bank merupakan lembaga kepercayaan yang berfungsi menghimpun dana dari surplus unit dan menyalurkannya ke defisit unit dalam bentuk kredit (financial intermediation). Sesuai dengan sifatnya, bank cenderung menempatkan dana dengan jangka waktu yang relatif panjang dibandingkan dengan jangka waktu sumber dananya (liquidity missmatch). Untuk meminimalkan biaya, bank cenderung akan memegang alat likuid yang tidak menghasilkan, seperti kas. Dalam hal terjadi penarikan dana besar-besaran (bank runs) karena ketidakpercayaan terhadap bank maka bank akan mengalami kesulitan likuiditas dalam memenuhi penarikan nasabahnya. Ketidakmampuan bank dalam memenuhi penarikan nasabahnya akan mendorong nasabah lain untuk menarik dananya sehingga semakin memperburuk kondisi keuangan bank.
Beberapa penelitian teoritis dan empiris menunjukkan bahwa penyebab bank runs beragam sesuai dengan kondisi suatu negara. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa faktor self-fullfilling prophecy merupakan penyebab utama dari bank runs. Sementara itu, penelitian lain menyimpulkan faktor fundamental ekonomi dan kinerja bank lebih dominan sebagai penyebab dari bank runs. Selain itu, terdapat juga penelitian yang menyimpulkan bahwa penyebab atau determinan bank runs adalah kombinasi dari semua faktor, yaitu self-fullfilling prophecy, fundamental bank dan makro ekonomi. Fundamental bank yaitu kondisi dari dalam (intern) bank tersebut yang meliputi aspek likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas.
Kondisi keuangan bank yang buruk akan mengakibatkan bank tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan likuiditas nasabah dan selanjutnya kondisi tersebut akan mengurangi kepercayaan terhadap bank. Ketidakpercayaan terhadap bank akan mendorong nasabah menarik dananya secara bersamaan dan selanjutnya dapat menimbulkan risiko sistemik ke bank lainnya/banking crisis(D’amato, et.al, 1997).
Kondisi makro ekonomi merupakan faktor-faktor eksternal dan bersifat makro berupa peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar bank dan mempengaruhi semua bank sehingga tidak dapat dikendalikan oleh bank. Inflasi dan nilai tukar tidak berpengaruh signifikan dalam mempengaruhi bank runs. Kondisi tersebut dapat terjadi karena peristiwa bank runs bersifat shock temporer sementara fundamental ekonomi merupakan variabel keputusan yang digunakan pengelola bank dalam jangka dimensi waktu yang lebih panjang dari dimensi waktu bank runs (Simorangkir, 2006).
Secara institusional, penutupan hampir separuh jumlah bank di Indonesia pada tahun 1997 yaitu sebanyak 16 bank dilikuidasi dan 45 lainnya bermasalah, tahun 1999 sebanyak 38 bank ditutup, tahun 2004 Bank Dagang Bali dan Bank Aspac dilikuidasi, tahun 2005 Bank Global ditutup, bulan April 2009 Bank Indonesia mencabut ijin usaha Bank IFI Pada semester II 2008 terdapat 2 (dua) permasalahan di perbankan yang banyak mendapat perhatian. Yang pertama adalah pengambil alihan Bank Century oleh LPS dan yang kedua adalah penutupan Bank Indover (Bank Indonesia: Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia, 2010).
Penelitian teoritis telah banyak dilakukan untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya bank runs, tetapi penelitian empiris dengan menggunakan data individual bank sangat jarang dilakukan karena terdapatnya keterbatasan data karena ketentuan kerahasian bank. Misalnya, Demirguc-Kunt dan Detrigiache (1997) menggunakan pendekatan multivariate logistic dengan menggunakan data panel negara-negara maju dan berkembang. Penelitian dengan menggunakan data individual bank dilakukan oleh D’amato, et.al. (1997) untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi bank runs pada tahun 1995 di Argentina.
Penelitian bank runs di Indonesia dilakukan oleh Sugema (2003) dengan menggunakan model logit dari bank yang solvent dan insolvent. Hasil penelitian, walaupun tidak konklusif, menunjukkan bahwa krisis perbankan di Indonesia karena faktor fundamental dan nasib buruk (bad luck). Penelitian lainnya dilakukan oleh Sugiarto (2003), tetapi penelitian ini lebih menekankan kepada pengaruh contagion krisis keuangan suatu negara terhadap negara lainnya, khususnya krisis keuangan yang terjadi di negara-negara Asia, termasuk Indonesia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Simorangkir (2006) menunjukkan bahwa pertumbuhan dana pihak ketiga dan pertumbuhan kredit berpengaruh signifikan terhadap bank runs. Sementara itu, komponen rentabilitas (ROA), permodalan (CAR), LDR serta komponen makro ekonomi yaitu inflasi, indeks produksi, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika (USD) secara statistik tidak berpengaruh signifikan terhadap bank runs.
Teori penyebab bank runs karena proses self-fulfilling telah lama dikenal dalam pustaka bank runs. Friedman dan Schwartz (1963) mengemukakan bahwa panik terutama berasal dari ketidakpercayaan terhadap sektor perbankan. Panik yang terjadi pada sistem perbankan mengakibatkan nasabah menarik dananya. Model ini didasarkan atas teori Nash equilibrium ketika economic agent akan menarik dananya secara besar-besaran karena mereka percaya bahwa seluruh populasi akan mengalami bank runs dan hal ini merupakan strategi optimal. Akan tetapi, model yang dikemukakan di sini tidak menjelaskan bagaimana bank runs terjadi. Model ini lebih bersifat sunspot (exogenous) models.
Selanjutnya Diamond dan Dybvig (1983) mengembangkan model Friedman dan Schwartz (1963). Model yang dikembangkan oleh Diamond dan Dybvig tersebut merupakan model yang sangat penting dan berpengaruh luas dalam model bank runs. Hasil tersebut mengemukakan bahwa bank runs yang terjadi merupakan respon rasional dari keyakinan nasabah. Jika nasabah berpikir bahwa bank tidak mempunyai dana yang cukup untuk memenuhi penarikan nasabah, maka bank runs akan terjadi. Sesuatu bank akan menghadapi penarikan besar-besaran jika cukup banyak individual yang percaya bahwa nasabah lainnya juga akan menarik dananya. Sehubungan dengan informasi yang tidak lengkap maka bank sehat juga dapat terkena bank runs jika pada bank tidak sehat terjadi penarikan dana besar-besaran (bank runs). Dengan demikian, bank runs yang terjadi akibat dari terdapatnya multiple equilibria.
Mengingat dampak bank runs di Indonesia cukup parah dan berlangsung cukup lama, maka penelitian mengenai bank runs merupakan suatu pekerjaan yang menantang. Di samping itu, penelitian mengenai bank runs masih sangat terbatas karena banyaknya hambatan dalam mendapatkan data yang lengkap mengenai kondisi keuangan perbankan sebagai akibat terbentur pada undang-undang kerahasian bank. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Sugema (2003), Demirguc-Kunt dan Detragiache (1997) dan D’Amato et.al. (1997), penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model panel data dinamis dengan menggunakan dana pihak ketiga sebagai proxy dari variabel bank runs, faktor fundamental bank dan makro ekonomi sebagai variabel independen.
Terima Kasih telah mengunjungi Tautan ini,
Jangan lupa untuk memberikan komentar pada form di bawah post ini.
Maturnuwun...
Comments :
Views All / Send Comment!
Post a Comment