Teoritical Framework of Corporate Social Responsibility Teoritical Framework of Corporate Social Responsibility | EUREKA
<div style='background-color: none transparent;'><a href='http://www.rsspump.com/?web_widget/rss_ticker/news_widget' title='News Widget'>News Widget</a></div>

Teoritical Framework of Corporate Social Responsibility

Pergeseran Paradigma pengelolaan perusahaan dari shareholders orientation ke stakeholders orientation merupakan satu keniscayaan. Hal itu karena, secara sosiologis, eksistensi perusahaan di tengah lingkungan masyarakat (community) memiliki implikasi baik positif (positive externalities) maupun negatif (negative externalities). Positive externalities mengarah pada kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan, seperti membuka peluang kesempatan kerja, mendukung peningkatan PDRB, meningkatkan pendapatan serta bentuk sejenisnya. Sementara negetive externalities mendorong terwujud competitive dis-economics, seperti pencemaran, radiasi, kebisingan, kesenjangan sosial serta bentuk eksploitasi sumberdaya lainnya.

Herad dan Bolce (1998) berpendapat bahwa negative externalities benar-benar telah mengancam munculnya polusi udara dan air, kebisingan suara, kemacetan lalu lintas, limbah kimia, hujan asam, radiasi sampah nuklir, dan masih banyak lagi petaka lain, sehingga menyebabkan stres mental maupun pisik, dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Capra (1983) menuduh bahwa perusahaan merupakan penyebab utama apa yang sekarang disebut kesalahan alokasi sumber daya manusia dan alam.
Terkait dengan kerusakan lingkungan, paling tidak masyarakat harus menanggung empat macam biaya, antara lain: (1) damage cost; (2) transaction cost; (3) avoidance cost; dan (4) abatement cost (Afif dalam Roziqin dalam Memed, 2001).

Melihat konteks sebagaimana dinyatakan tersebut di atas, perusahaan seharusnya tidak sekedar bertanggungjawab pada shareholders seperti yang terjadi selama ini, namun meluas sampai pada stakeholders (selanjutnya disebut social responsibility). Corporate Social responsibility (CSR) merupakan pelebaran tanggung-jawab perusahaan sampai lingkungan baik secara pisik maupun psikis (Capra, 1983). Social responsibility tersebut dapat dilakukan misalnya dengan berinvestasi pada sektor-sektor ramah lingkungan, menjaga keseimbangan eksploitasi, pengolahan limbah (daur ulang limbah), menaikkan pengeluaran-pengeluan sosial (biaya sosial) serta cara lain guna menjaga keseimbangan lingkungan (Memed, 2001).

Namun demikian, sebagai unitas bisnis, sikap oportunistik seringkali muncul dan tak dapat dihindarkan dalam segala keputusan tindakan, tak terkecuali pada ketersediaan pelaksanaan tanggung jawab sosal perusahaan terhadap lingkungan (social responsibility). Sehingga, pelaksanaan corporate social responsibility (CSR) oleh sebagian besar perusahaan tak dapat dihindarkan dari latar-belakang motif, terutama motif ekonomi (economics motive).

Berbagai bukti empiris, tentang dominasi motive approach dibanding system approach adalah berbagai dimensi pengeluaran terkait tanggungjawab sosial perusahaan yang lebih dititik-beratkan pada upaya untuk membangun legitimasi perusahaan dimata stakeholders dalam porsi untuk meningkatkan profitabilitas baik di pasar komoditas maupun pasar modal. Lebih lanjut dinyatakan bahwa perusahaan dalam melakukan tanggung-jawab lebih diarahkan pada pengeluaran yang berdekatan dan mendukung operasi utama perusahaan, seperti bagi perusahaan otomotif maka pengeluaran lebih diarahkan untuk mendukung produknya, bagi perusahaan yang bergerak di sektor agriculture maka pengeluaran tanggungjawab sosial (social responsibility) juga dalam mendukung operasi agriculture. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa upaya pelaksanaan social responsibility (CSR) lebih didudukkan dalam kerangka menciptakan competitive advantage.

Berangkat dari konteks seperti itu, memungkinkan terjadi potensi variance pemahaman, pengertian dan pelaksanaan social responsibility baik bagi perusahaan maupun stakeholders (pemerintah, LSM, konsumen, supplier, masyarakat sekitar, bank, investor dan lainnya).

Perusahaan berpandangan bahwa pelaksanaan social responsibility (CSR) disamping diharapkan memberikan kontribusi terhadap masyarakat (sosial) juga diharapkan memberikan kontribusi ekonomi bagi perusahaan. Sementara, bagi stakeholders memiliki pandangan bahwa seharusnya perusahaan memiliki dan meningkatkan tanggungjawab sosial (social responsibility), karena perusahaan adalah pihak yang memunculkan competitive dis-economics,yang mana, selama ini justru stakeholders yang harus menanggungnya (social cost).

Kontradiksi pandangan tersebut, memunculkan pengaburan definisi social responsibility serta memunculkan paradigma Social responsibility yang bersifat volunter dan berada pada ambang minimun pelaksanaanya. Untuk itu, dalam rangka mencarikan benang merah, koherensi dan terintegrasi kedua belah pihak baik dari sisi konsepsi, batasan, cakupan dan pelaksanaannya, maka perlu kajian epistimologis tentang Corporate Social responsibility (CSR) yang dapat dijadikan pijakan dan praktik Corporate Social responsibility (CSR) sehingga diperoleh harmonisasi keterhubungan antara perusahaan dan komunitas masyarakat secara berimbang.

Corporate Social responsibility (CSR)
Kerangka pemikiran yang termuat dalam legitimacy theory dan stakeholders theory mengandung essensi mendasar tentang pergeseran paradigma pengelolaan perusahaan kearah orientasi keberpihakan terhadap masyarakat secara lebih luas. Muatan pergeseran kearah community orientation tersebut sudah barang pasti akan lebih banyak bermuatan tanggungjawab sosial (social responsibility) yang pada akhirnya justru dapat dijadikan pilar dalam menciptakan keunggulan kompetitif (competitive advantage) bagi perusahaan.

Johnson and Johnson (2006) mendefinisikan ”Corporate Social Responsibility (CSR) is about how companies manage the business processes to produce an overall positive impact on society”.

Definisi tersebut pada dasarnya berangkat dari filosofi bagaimana cara mengelola perusahaan baik sebagian maupun secara keseluruhan memiliki dampak positif bagi dirinya dan lingkungan. Untuk itu, perusahaan harus mampu mengelola bisnis operasinya dengan menghasilkan produk yang berorentasi secara positif terhadap masyarakat dan lingkungan.

Lord Holme and Richard Watts (2006) mendefinidsikan "Corporate Social Responsibility is the continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large".

Ghana (2006) mendefinisikan "CSR is about capacity building for sustainable likelihoods. It respects cultural differences and finds the business opportunities in building the skills of employees, the community and the government" lebih lanjut dinyatakan "corporate social responsibility (CSR) is about business giving back to society".

Batasan yang diberikan Ghana tersebut memberikan penjelasan secara lebih dalam, bahwa sesungguhnya corporate social responsibility memberikan kapasitas dalam membangun corporate building menuju terjaminnya going concern perusahaan. Didalamnya, termasuk upaya peka (respect) terhadap adopsi sistemik berbagai budaya kedalam strategi bisnis perusahaan termasuk keterampilan karyawan, masyarakat, dan pemerintah.

The European model is much more focused on operating the core business in a socially responsible way, complemented by investment in communities for solid business case reasons. Personally, I believe this model is more sustainable because: (1) Social responsibility becomes an integral part of the wealth creation process - which if managed properly should enhance the competitiveness of business and maximise the value of wealth creation to society; (2) When times get hard, there is the incentive to practice CSR more and better - if it is a philanthropic exercise which is peripheral to the main business, it will always be the first thing to go when push comes to shove.

Tanggungjawab sosial (social responsibility) yang merupakan keberpihakan terhadap stakeholders, meliputi keberpihakan terhadap managers, employee, stockholders, creditors, traders dan consumres (Richard N Farmer dan W. Dickerson Hogue, 1973). Lebih lanjut dinyatakan, bahwa perusahaan tidak hanya memiliki kepentingan terhadap peningkatan laba (profit), tetapi juga memperthitungkan kepentingan dan kebutuhan kelompok masyarakat baik internal maupun eksternal. Karena, terdapat koherensi antara upaya meningkatkan profitabilitas perusahaan terhadap legitimasi perusahaan lewat peningkatan corporate social responsibility.

The Worh Business Council for Sustainable Development (WBCSD) yang merupakan lembaga internasional yang berdiri tahun 1955 dan beranggotakan 120 perusahaan multinasional yang berasal dari 30 negara dunia, lewat publikasinya “Making Good Business Sense” mendefinisikan corporate social responsibilirty:
Continuing commitment by business to behave athically and contributed to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large”.

Definisi tersebut diatas menunjukkan corporate social responbility merupakan satu bentuk tindakan yang berangkat dari pertimbangan etis perusahaan yang diarahkan untuk meningkatkan ekonomi, yang dibarengi dengan peningkatan kualitas hidup bagi karyawan berikut keluargannya serta sekaligus peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar dan masyarakat secara lebih luas.

Perkembangan Pendekatan Praktik Corporate Social Responsibility
Kristalisasi praktik social responsibility (CSR) telah ada sejak lama, meskipun dalam bentuk, jenis dan dan kandungan yang berbeda. Menurut cara pandang tradisional, praktik corporate social responsibility lebih didasarkan pada aktivitas yang bersifat karitatif. Artinya, corporate social responsibility (CSR) lebih bersifat karitatif, jangka pendek dan masih dalam tataran polesan belaka (merupakan simbol saja).

Gema corporate social responsibility dimulai sejak tahun 1960-an saat dimana secara global, masyarakat dunia telah pulih dari excess Perang Dunia I dan II, dan mulai menapaki jalan menuju kesejahteraan. Gema corporate social responsibility (CSR) pada saat itu diramaikan dengan diterbitkan buku legendaris yang berjudul “Silent Spring” oleh Rachel Carson, seorang ibu rumah tangga, yang pemikiranya dilatar-belakangi oleh betapa mematikannya pestisida bagi lingkungan dan kehidupan. Sejak itulah, pemikiran tentang pentingnya perhatian terhadap masalah lingkungan dan kesehatan masyarakat semakin serius dan meluas (Wibisono, 2007).

Perkembangan praktik social responsibility selanjutnya nampak lebih maju dan komprehensif serta luas cakupannya, yaitu memasuki ranah pemikiran sampai pada level korporasi yang lebih manusiawi. Produk pemikiran monumental yang menandai kereterbukaan korporasi dalam meningkatkan tanggungjawab sosial tersebut termuat dalam buku yang berjudul “The Future Capitalism” yang ditulis oleh Lester Thurow (1966). Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa kapitalis (yang menjadi mainstream ekonomi selama ini) tak hanya berkutat pada persoalan ekonomi (economics rational) namun juga memasukkan unsur sosial dan lingkungan (social & environmental perspective) yang dapat dijadikan sebagai basis sustainable perusahaan dimata society (Wibisono, 2007). Pada tahap ini, social responsibility tidak sebatas diposisikan sebagai bentuk iktikad baik atau sebagai tangan dewa yang berbaik hati terhadap masyarakat lewat pengorbanan sosial yang dilakukan oleh perusahaan (korporasi). Melainkan, corporate social responsibility merupakan bagian dari dimensi yang mengandung motif termasuk mendukung strategi perusahaan dalam kerangkan positioning dimata stakehoders-nya.

Pemikiran selanjutnya adalah pada era tahun 1970-an, yang ditandai dengan terbitnya buku yang berjudul “The Limits to Growth” yang ditulis oleh Club of Rome. Satu esensi mendasar pada buku tersebut adalah mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa bumi yang kita pijaki mempunyai keterbatasan daya dukung, di sisi lain, manusia bertambah secara eksponensial. Karenanya, eksploitasi alam mesti dilakukan secara hati-hati supaya pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan (Wibisono, 2007). Sejalan dengan bergulirnya wacana tentang kepedulian lingkungan, kegiatan kedermawanan perusahaan terus berkembang dalam kemasan philanthropy serta Community Development (CD). Pada dasarwarsa tersebut, terjadi perpindahan penekanan kearah sektor-sektor produktif kearah sektor-sektor sosial. Oleh karena itu, pada kurun dekade terakhir ini, Corporate Social responsibility (CSR) menjadi bagian penting yang tak terpisahkan dengan operasional perusahaan (Toms, 2000).

Satu keniscayaan tak dapat dihindari terutama bagi perusahaan yang operasi usahannya banyak bersinggungan dengan eksplorasi sumber daya alam, yang secara harian sangat bersentuhan langsung maupun tidak langsung terhadap pencemaran, eksploitasi lingkungan baik pisik dan psikis, social responsibility memiliki multiplier effect besar terhadap klaim masyarakat, pemerintah, LSM serta pihak lainnya. Untuk itu, mereka hendaknya menjadikan Corporate Social responsibility (CSR) sebagai pilar strategi operasi perusahaan. Hal itu sejalan dengan pendapat Peter Drucker (1974) bahwa "……the conscience of a business is measured by its public espousal of popular social goals and the highests moral development is the best intentions".

Di era 1980-an makin banyak perusahaan yang menggeser konsep social responsibility dari basis pilanthropy kearah yang lebih produktif lewat community development (CD). Intinya, kegiatan kedermawanan yang sebelumnya kental dengan pola kedermawanan karitatif bergeser orientasinya kearah pemberdayaan masyarakat, (CD), seperti pengembangan kerjasama, memberikan ketrampilan, pembukaan akses pasar, hubungan intiplasma dan sejenisnya.

Dasawarsa 1990-an adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beragam pendekatan aplikasi Corporate Social responsibility (CSR), seperti pendekatan integral, pendekatan stakeholders maupun pendekatan civil society. Lebih lanjut dinyatakan, beragam pendekatan tersebut telah mempengaruhi praktik community development, yang pada akhirnya menjadi satu aktivitas yang lintas sektor mencakup baik aktivitas produktif maupun sosial.

Satu terobosan besar perkembangan gema corporate social responsibility dikemukakan oleh John Eklington (1997) yang terkenal dengan “The Triple Botton Line” yang dimuat dalam buku “Canibalts with Forks, the Triple Botton Line of Twentieth Century Business”. Ia berpendapat, bahwa jika perusahaan ingin sustain, maka ia perlu memperhatikan 3P, yaitu bukan cuma profit yang diburu, namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).

Konsep triple botton line tersebut nampaknya cukup direspon oleh banyak kalangan, karena mengandung strategi integral dengan memadukan antara social motive dan economics motive. Gambar. 1 berikut mengillustrasikan keterkaitan gugus tanggung-jawab sosial perusahaan yang secara integral dan memberikan basics ideas kristalisasi motive grounds dan pragmtice gorouds (social motive dan economice motive).

Gambar. 1
Konsep Triple Botton Line


Sumber: Elkington (1997)


Gambar. 1 tersebut diatas mengisyaratkan bahwa terjadi koneksitas secara integral antara kepedulian masyarakat, menjaga keseimbangan lingkungan dan upaya mencapai laba perusahaan.




Klik tombol like di atas... Jika anda menyukai artikel ini.
Terima Kasih telah mengunjungi Tautan ini,
Jangan lupa untuk memberikan komentar pada form di bawah post ini.
Maturnuwun...

Subscribe in a reader

Comments :

0 comments to “Teoritical Framework of Corporate Social Responsibility”
Views All / Send Comment!

Post a Comment