Integrity Theory dan Corruption Behavioral dalam Konteks Auditing Integrity Theory dan Corruption Behavioral dalam Konteks Auditing | EUREKA
<div style='background-color: none transparent;'><a href='http://www.rsspump.com/?web_widget/rss_ticker/news_widget' title='News Widget'>News Widget</a></div>

Integrity Theory dan Corruption Behavioral dalam Konteks Auditing

Integritas, menurut kamus Random House College Dictionary (1975), didefinisikan sebagai kepatuhan pada prinsip-prinsip moral dan etika. Integritas seseorang dipandang sebagai memiliki integritas, jika seseorang dapat melihat keselarasan yang jelas antar kata dan perbuatan (Tony Simons, 2002). Integritas perilaku adalah kenyamanan jenis tertentu yang biasanya timbul dari melihat-kebelakang, tindakan dari waktu ke waktu yang mempertahankan keutuhan diri. Integritas diri dikuatkan ketika “diri-sekarang” menghormatinya, ketika terdapat pilihan untuk tidak menghormatinya (Elias L.Khalil, 2005). Ketika integritas “terjual”, maka yang didapat adalah rasa malu (Cohen & Nisbett, 1994, 1997). Rasa malu (shame) adalah ketidak-nyamanan jenis tertentu yang timbul dari sebagian besar – bukan semua – pelanggaran kejujuran (Tangey, 1990).

Kelurusan, kejujuran, kehormatan, dan rasa malu beragam di antara berbagai orang dan di antara budaya (Cohen & Nisbett, 1994, 1997). Sebuah perbuatan dilakukan terhadap seorang anggota lain mungkin dianggap tidak jujur, tetapi kalau dilakukan terhadap orang luar, mungkin dianggap “pintar.” Perbedaan ini mungkin adalah salah satu aspek solidaritas etnis atau klan dan yang menyangkut keganjilan historis maupun budaya (Mosquera et.al., 2002).

Rasa malu (shame) terjadi ketika seseorang menganggap tindakannya sebagai kegagalan menyangkut standar, peraturan, dan tujuannya. Orang yang mengalami rasa malu ingin bersembunyi, ingin menghilang atau ingin mati. Itu merupakan keadaan negatif dan menyakitkan, yang juga mengacaukan perilaku yang berlangsung dan membuat kacau pikiran dan tidak mampu berbicara. Tubuh orang yang malu tampak mengkeret, seolah-olah hendak menghilang dari mata sendiri atau orang lain. Karena kuatnya keadaan emosi ini, dan serangan menyeluruh terhadap jaringan diri, satu-satunya yang bisa dilakukan kalau mengalami keadaan demikian adalah berusaha melepaskan diri darinya (Lewis, 1995a, Lewis, 1995b).

Kejujuran bisa “dijual” hanya jika biaya penegakan hukum cukup tinggi. Kalau biaya transaksi penegakan hukum nol, maka kejujuran akan mempunyai “harga” nol. Jadi, kejujuran adalah barang bukan-biasa, jangan korbankan karena kekayaan yang didapat (suap) akan mengorbankan pihak lain (Coase, 1937). Biaya transaksi penjualan kejujuran adalah pemanfaatan kesempatan (Williamson, 1975) adalah rasa malu yaitu suatu pelanggaran keterikatan yang mengikat atau konsistensi dari waktu ke waktu, yaitu, kejujuran.

Kejujuran adalah tentang konsistensi diri-masa-lalu dan diri-sekarang, maka ia adalah penjagaan identitas, yang bisa dianggap sebagai persediaan modal (= modal saham). George Akerlof dan Rachel Kranton (2000) menggambarkan identitas adalah fungsi batasan lingkungan historis dan budayanya. Penjagaan identitas, dan penghindaran rasa malu, begitu berpusat pada manusia dan kesehatan mental fisik sehingga kegagalannya mungkin membawa kepada gangguan kepribadian ganda, (Lewis [1995a, b).

Penjagaan identitas berpusat pada strategi pencarian-alasan-diri (Broucek, 1991; Schneider, 1992; Miller, 1996). Pencarian-alasan-diri (self-rationalzation) adalah sama dengan penguluran-berlebihan secara naratif untuk meyakinkan dirinya bahwa dirinya tak mengorbankan kejujuran demi suatu pendapatan lebih tinggi atau kenikmatan yang lebih besar, dengan menganggap seakan-akan orang lain tidak jujur dan bahkan jahat, (Hanah Arendt, 1976).

Para psikolog sosial telah mengumpulkan banyak temuan empiris tentang rasa malu dan patologi yang bisa dihasilkannya (Buss, 1980; Nathanson, 1992; Morrison, 1996; Lansky & Morrison, 1997; Gilbert & Andrews, 1998; Lewis & Haviland-Hone, 2000; Seidler, 2000; Tangney & Dearing, 2002]. Para sosiolog telah mempelajari gejala rasa malu terkait dengan kekerasan dan penyimpangan sosial (Scheff 1990; Retzinger, 1991; Scheff & Retzinger, 1991). Sedangkan, para antropolog telah mengidentifikasi rasa malu sebagai perekat penting solidaritas bersama (Gilmore, 1987; Hans, 1991). Beberapa ilmuwan politik juga telah menyoroti bagaimana rasa malu melahirkan kecongkakan dan mengejar kekuatan politik (Fisher, 1992). Para ekonom telah mulai memberikan perhatian kepada rasa malu, khususnya dengan istilah seperti “kejujuran hati,” “kepercayaan,” “keadilan,” “pembalasan,” dan seterusnya, (Fher & Gächter di Ben-Ner & Putterman, 1998; Levine, 1998; Khalil, 2003a).

Biaya kejujuran adalah perolehan yang diikhlaskan untuk memanfaatkan kesempatan. Tetapi biaya seperti itu adalah suatu biaya kesempatan yang bukan-biasa. Artinya, kejujuran adalah suatu produk-sampingan dari suatu pilihan atas beberapa alternatif yang diambil dalam suatu konteks dan karena itu kejujuran tidak bisa dikurangi dan dimasukkan ke salah satu alternatif, (Russell, 1956). Kejujuran sebagai konteks mengharuskan bahwa ia tidak bisa terpisah sama sekali dari landasannya, sebagaimana arti sebuah kalimat tidak bisa berdiri sendiri dari kata-kata yang membentuk kalimat itu, (Khalil, 2005).

Asumsi Teori Integritas
Teori integritas mempunyai tiga paham, integritas sebagai strategi (the integrity-as-strategy view) , integritas sebagai selera (the integrity-as taste view), dan integritas sebagai sifat (the integrity-as trait view), (Khalil, 2003).

1. Pandangan Integritas-Sebagai-Strategi
Pandangan integritas-sebagai-strategi (the integrity-as-strategy view), menggambarkan integritas sebagai suatu batasan yang efektif-biaya yang dipungut oleh pelaku untuk memperoleh kepercayaan orang secara berulang (Tullock, 1985; Acelrod & Dion, 1988), tetapi cukup untuk menguatkan bahwa biaya diperoleh melampaui biaya untuk bekerja sama (Kreps et.al., 1982), para pelakunya bertindak dengan kejujuran karena mereka adalah orang-orang egois yang mendapat pencerahan.

Ada dua pendekatan dalam penjelasan "the integrity-as-strategy view", pertama, apakah transaksi berulang memakan biaya transaksi cukup tinggi. Jadi, pelaku memilih berbuat atau bertindak dengan kejujuran dalam segala kasus, karena, secara rata-rata, perolehan kesempatan yang diikhlaskan lebih rendah dari biaya transaksi yang diperlukan untuk menyelesaikan kasus per-kasus.

Pendekatan kedua, yaitu pensyaratan biaya transaksi, yang menjelaskan mengapa orang untuk selalu berlaku dengan kejujuran (Azar, 2004; Güth et.al., 1990; Bolle, 1995, 1996; Roth et.al., 1991; Roth, 1995, p.258-260; Camerer & Thaler, 1995), yaitu bertindak penuh penolakan pembagian uang yang diusulkan kalau pembagiannya dianggap “tidak adil.” Dan akan memakan biaya nol, menurut pandangan integritas-sebagai-strategi (Posner, 2002).

2. Pandangan Integritas-sebagai-selera
Pada pandangan integritas-sebagai-selera (the integrity-as taste view) menjelaskan gejala integritas dengan biaya transaksi mendekati nol, dengan menempatkan kejujuran pada fungsi tujuan, yaitu, sebagai suatu selera biasa (Andreoni, 1988; Rabin, 1993; Levine, 1908). Menurut pandangan “integritas-sebagai-selera”, kejujuran bisa dikorbankan ketika intensitas godaan meningkat. Pandangan kejujuran-sebagai-selera diikhtisarkan dalam kiasan klisé “setiap orang punya harga”, yang diartikan setiap pengorbanan integritas (kejujuran) memerlukan tambahan biaya.

Pandangan ini menjelaskan integritas-sebagai-selera, yaitu bisa berubah, untuk menjelaskan watak kejujuran yang terputus-putus (Dowell, Godfarb, and Griffith, 1998). Yaitu, mereka memodelkan kelurusan sebagai pilihan yang terputus-putus (Hirshleifer & Riley, 1992; Robert Moffit,1983). Yaitu, tentang kesinambungan versus keterputusan perilaku, atau tentang kesinambungan versus keterputusan diri, model mereka mempertanyakan orang biasanya mengalami rasa malu ketika ia menjual kejujurannya? (Dowell, Godfarb, dan Griffith 1998). Kegagalan utama pandangan kejujuran-sebagai-selera adalah bukan karena melanggar yang dikehendaki, (Stiegler & Becker, 1977), akan tetapi menimbulkan ketidaknyaman lain yaitu rasa malu dan kebertahanan-hidup.

Rasa malu bukan sebagai kelainan, rasa malu adalah ketidak-nyamanan yang muncul ketika orang menjual suatu barang khusus, yaitu kejujuran. Jadi, ketika pandangan integritas-sebagai-selera bertahan, rasa malu tidak berbeda dari ketidak-nyamanan lain yang muncul ketika orang menjualnya, misalnya suatu hidangan atau jasa tenaga kerja, di mana orang akan melepaskan kenikmatan hidangan atau kenikmatan karena tidak usah bekerja. “Penjualan” kejujuran adalah aneh karena sama dengan menjatuhkan konteks jual-beli barang biasa. “Penjualan” kejujuran tak menambah keluaran sosial. Yang menjadi masalah adalah apakah pelaku telah terikat pada internalisasi biaya orang lain.

Kalau ada kejujuran, pelaku terikat untuk mentaati hak orang lain seperti disebutkan oleh hukum. Keterikatan ini sama dengan menyatakan bahwa pendapatan orang lain adalah bagian dari pendapatan si pelaku. Jadi, sebenarnya si pelaku tidak bisa meningkatkan pendapatannya dengan mengorbankan pendapatan orang lain, karena begitu hukum ditegakkan, maka ia harus membayar kembali pihak yang dirugikan. Ini menjelaskan mengapa “penjualan” kejujuran, meskipun, menyakitkan, tetapi tidak dihargai meskipun "suap"nya amat tinggi – sedangkan penjualan barang-barang lain biasanya dihargai ketika harga pengambilannya cukup tinggi.

Kalau alasan mengapa orang tidak menghargai kerja dengan pengorbanan rasa malu, sebagaimana orang menghargai kerja dengan pengorbanan tenaga kerja: Pelaku tidak jujur hendaknya paling tidak meyakinkan kepada dirinya sendiri, karena punya alasan, yaitu, berbohong ketika perolehan dengan memanfaatkan kesempatan lebih besar daripada biaya terduga, daripada mengorbankan rasa malu, walau harus menyembunyikan dirinya sendiri (Grant & Crawley, 2002). Mengapa orang berusaha menyembunyikan tindakan memanfaatkan kesempatan dari diri sendiri, walau menyembunyikan fakta dan kejanggalan kognitif (cognitive dissonance) [Akerlof & Dickens, 1982; Witt, 1986; Hirshleifer, 1987; Frank, 1987; Güt & Yaari, 1992; Gintis, 2000].

3. Pandangan integritas-sebagai-sifat
Pandangan integritas-sebagai-sifat (the integrity-as trait view), menjelaskan kebertahanan hidup dan menyoroti rasa malu. Rasa malu bisa dipandang sebagai biaya emosi atau kejiwaan yang mencegah orang berbuat tidak jujur. Yaitu, dapat dilihat sebagai alat “terikat-kuat” yang menetap dalam mahluk hidup untuk mendukung sifat kejujuran. Penalaran tersebut memakai apa yang bisa disebut orang sebagai “seleksi sosial” dan bukan seleksi alam. yaitu, bagian dari populasi yang sama seperti halnya setiap orang menyukai sifat kejujuran daripada sifat pengelabuan. Menurut penalaran ini, kalau pelaku yang jujur dalam populasi melampaui suatu ambang kritis, maka mereka akan membayar barang publik yang lebih mahal (Margolis, 1991).

Pandangan integritas-sebagai-sifat bisa menjelaskan pencarian-alasan-diri sebagai upaya pelaku untuk menghindari rasa sakit karena malu, punya kue dan juga memakannya, di sini, mahluk hidup tersebut benar-benar mampu mengirimkan petunjuk kepercayaan, merasa sakit karena malu (Elias L.Khalil, 2005).

Ide integritas-sebagai-sifat yang “terikat-kuat” masih diragukan untuk bisa dimulai, bagaimana menjelaskan bahwa, para pelaku menganggap tidak pantas meniadakan kejujuran, tanpa menimbulkan rasa malu, dalam keadaan tertentu. Misalnya, kalau pelaku menjadi yakin bahwa satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan main curang, mereka tidak perlu khawatir akan keterikatan dengan diri-masa-lalu, dan mereka akan main curang tanpa menimbulkan rasa malu. Jadi, rasa malu bukan suatu tanggapan otomatis yang “terikat-kuat.” Rasa malu, sepertinya dapat dibangkitkan atau ditangguhkan tergantung pada keadaan sekarang. Kelainan lain yang menghadang pandangan kejujuran-sebagai-sifat, bagaimana pelunturan sifat jujur bisa terjadi hanya kalau populasi sudah mencapai suatu rasio kritis pelaku jujur dan menjelaskan asal kejujuran.

Kejujuran, rasa malu, dan pencarian-alasan-diri, menyangkut pilihan dari waktu ke waktu dan pilihan dalam ketidak-pastian (Elser, 1986). Teori ini terkait dengan perilaku moral, pengertian Immanual Kant (1969) tentang “perintah tegas” yaitu kewajiban moral yang berlaku bagi siapapun. Bagi Kant, perintah tegas alias kewajiban moral tersebut sama dengan bertindak sesuai dengan tugas sebagaimana dikatakan. Tetapi pada dasarnya, kewajiban moral tidak tergantung pada kesukaan, kecenderungan, perasaan, atau tujuan tertentu seseorang.

Bagi Kant, kewajiban moral itu mempunyai kekuatan “hukum moral” dalam pengertian “tugas”. Kalau tugas seseorang adalah memenuhi suatu janji, maka itu merupakan kewajiban moral, bukan “perintah hipotetis.” Suatu perintah hipotetis adalah apa yang menurut ekonom adalah efisiensi, yaitu, pilihan cara terbaik untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan mengingat akibat yang diharapkan. Kant membolehkan tindakan yang berasal dari rasa atau pengejaran kebahagiaan, yang disebutnya sebagai tujuan yang “dibolehkan” (Kant, 1969). Tujuan-tujuan demikian dibolehkan dalam pengertian bahwa secara moral tidak berbeda (adiaphora), yaitu, tidak terlarang menurut hukum moral. Misalnya, apakah orang memberi makan dirinya dengan daging atau ikan, atau dengan bir atau anggur, adalah tindakan tidak berbeda secara moral.

Serupa dengan Kant, Amital Etzioni (1986) mengatakan bahwa orang hendaknya membedakan tujuan hakiki, yang menghasilkan “kenyamanan kenikmatan”, dari tujuan idaman, yang menghasilkan “’kenyamanan’ moral.” “Kenyamanan kenikmatan”-nya Etzioni (1986) tampaknya sesuai dengan tujuan yang dibolehkan Kant, sedangkan “’kenyamanan’ moral”-nya Etzioni sama dengan tujuan wajibnya Kant (Harsanyi, 1955; Sen, 1977, 1995; Hirschman, 1985).

Amartya Sen (1977, 1995) memandang tugas, atau yang disebutnya sebagai keterikatan, sebagai “kontra preferensi” dalam arti bahwa mempunyai sumber moral lebih tinggi yang terikat untuk mengurangi kesejahteraan. Sen (1995) menyebut perbedaan antara preferensi “etis” dengan preferensi “subjektif”-nya John Harsany, menyatakan apa yang disukai orang “berdasarkan pertimbangan sosial, bukan pribadi, dengan menunjuk pada moralitas lebih tinggi (Jane Mansbridge,1998).

McConnell (2001) memperlihatkan bahwa teori integritas mempunyai dampak pada seseorang dalam pertumbuhan sosial, terbukti bahwa orang akan memakai pertimbangan itu dalam suatu keputusan, Gervey et.al., (1999). Dalam konteks auditing, adalah suatu praktik umum untuk memperkirakan kejujuran para klien. Perkiraan itu adalah suatu faktor potensial dalam pertimbangan dan keputusan tentang kekuatan lingkungan kontrol, sistem kontrol intern, dan risiko kesalahan dan penipuan. Cressey (1953) mengembangkan segitiga penipuan, yang menunjukkan bahwa tiga unsur (motif, kesempatan yang tertangkap, dan suatu kecenderungan untuk merasionalkan) harus ada untuk terjadinya penipuan.

Motif dan kesempatan adalah ciri khas lingkungan, yang telah dipelajari oleh banyak peneliti. Misalnya, Apostolou, Hassell, dan Webber (2000) memakai para profesional untuk mengklasifikasi faktor-faktor risiko tentang motif atau kesempatan. Juga, Church, McMillan, dan Schneider (1998, 2001a, 2001b) melakukan suatu percobaan antara-subjek untuk menentukan apakah adanya faktor-faktor risiko penipuan mempengaruhi pertimbangan pelaporan keuangan auditor intern.

Namun demikian, hanya dua studi tentang penipuan telah menyelidiki unsur ketiga segitiga Cressey (1953), kecenderungan untuk merasionalkan, yang merupakan ciri khas pelaku penipuan. Menurut Cressey (1950), kecenderungan untuk merasionalkan adalah suatu kelemahan moral dan suatu variabel tersembunyi. Meskipun tersembunyi, para auditor memang melakukan suatu perkiraan tentang variabel tersembunyi ini ketika memperkirakan kejujuran manajemen (AICPA 1996, 2002). Loebbecke, Eining, dan Willingham (1989) meminta para auditor dengan pengalamannya untuk mengklasifikasi indikator-indikator penipuan sesuai dengan kemampuan mereka untuk mengidentifikasi kesempatan, motif, dan sikap (si pelaku) untuk melakukan penipuan. Bealieu (2001) menyelidiki efek kejujuran manajemen terhadap risiko, prosedur, dan bayaran audit.

Pertanyaan pertama dalam auditing adalah apakah para auditor akan memakai (yaitu, memberikan bobot kepada) petunjuk kejujuran dalam perkiraan mereka tentang risiko penyimpangan manajemen. Solomon dan Shields (1995) memeriksa selama duapuluh tahun penelitian dalam pertumbuhan auditing dan proses pengambilan keputusan, dan “ternyata konsisten dengan standar auditing profesional” (Solomon dan Shields 1995, 152). Pada Desember 2002, sebuah laporan tentang standar auditing berkaitan dengan mempertimbangkan penipuan dalam sebuah audit memandu auditor untuk “mengidentifikasi kejadian atau kondisi yang menunjukkan dorongan/tekanan untuk melakukan penipuan, kesempatan untuk melaksanakan penipuan, atau sikap/rasionalisasi untuk membenarkan suatu tindakan penipuan” (AICPA 2002, 31). Ketiga kategori menonjol sesuai dengan segitiga penipuan Cressey (1953). Merujuk pada panduan standar ini, para auditor seharusnya berusaha dan memberikan bobot pada informasi tentang “nilai-nilai tidak semestinya atau standar etika” (AICPA 2002, A.2) tentang para klien mereka.

Selain menggunakan petunjuk kejujuran terhadap perkiraan risiko penipuan menurut para auditor, studi ini juga akan menyelidiki apakah petunjuk kejujuran itu dipengaruhi oleh teori integritas yang dipegang oleh auditor. McConnell (2001) dan Gervey et.al., (1999) menyatakan bahwa teori integritas telah mempunyai suatu efek demikian terhadap pertimbangan sosial dan penilaian-penilaian yang dipakai untuk mempengaruhi keputusan. Gervey et.al., (1999), menyebut teori integritas juga mempunyai pengaruh terhadap tipe informasi tambahan yang diminta, dengan meminta informasi pribadi lebih banyak dibandingkan penganut teori inkremental. Studi ini menyelidiki apakah teori integritas menurut auditor mempengaruhi penilaian resiko audit dan keyakinan audit.

Pengaruh Teori Integritas
Dweck & Leggett (1988) mengembangkan model pengaruh teori yang bisa digeneralisasi, yang menjelaskan pola perilaku dan motivasi. Perkembangan model ini berawal dengan memeriksa perilaku pada anak-anak yang dihadapkan pada belajar (suatu tugas yang memperbaiki pengetahuan) dan mengerjakan (suatu tugas yang membuktikan pengetahuan yang ada). Ketika diberikan kesempatan untuk memilih suatu tugas (belajar atau mengerjakan), anak-anak yang beranggapan bahwa kecerdasan mereka tetap (baik tinggi atau rendah) mencari tugas mengerjakan, sementara anak-anak yang beranggapan bahwa mereka mempunyai suatu potensi untuk meningkatkan kecerdasan memilih belajar.

Hasilnya, Dweck & Leggett (1988) akhirnya berkesimpulan dua kelompok yang menyangkut anggapan tentang kecerdasan-diri: (1) para penganut teori entitas yang beranggapan bahwa kecerdasan mereka tetap dan hanya berusaha membuktikan apa yang sudah mereka ketahui; dan (2) para penganut teori inkremental yang beranggapan bahwa kecerdasan mereka bisa disesuaikan/ dibentuk dan berusaha untuk memperbaikinya.

Dweck & Leggett (1988) menggeneralisasi dua tipe orang: (1) para penganut teori entitas dan (2) para penganut teori inkremental. Para penganut teori entitas melihat ciri khas pribadi (misalnya, kecerdasan, moralitas) dan beranggapan bahwa ciri itu tetap pada orang; yaitu, orang yang berbeda mungkin mempunyai tingkat berbeda (yaitu, moralitas tinggi, moralitas rendah), tetapi di dalam seseorang tertentu, tingkat itu tidak berubah dari waktu ke waktu dan lebih mempunyai kepastian. Karena anggapan itu, para penganut teori entitas membentuk kesan tentang orang berdasarkan perilaku yang diamati dan akan memperkirakan perilaku mendatang sebagai serupa; secara umum, para penganut teori entitas menyesuaikan tujuan-tujuan pertimbangan berciri khas sebagai evaluatif, rigit (kaku), dan sulit diubah.

Para penganut teori inkremental melihat ciri khas pribadi, dan beranggapan bahwa bisa disesuaikan/dibentuk dalam tiap orang. Karena itu, mereka tidak menilai atau memperkirakan perilaku mendatang; tetapi mereka menyesuaikan tujuan-tujuan perkembangan berciri khas empati dan persistensi kepada perubahan dan untuk memperbaiki kecerdasannya. Dweck & Leggett (1988) menyatakan bahwa apakah seseorang adalah penganut teori entitas atau inkremental tergantung pada ciri khas pribadinya. Teori yang digeneralisasi ini telah dipakai oleh para peneliti dalam berbagai konteks berbeda, termasuk pada auditing sebagai suatu fungsi kunci evaluasi suatu sistem kontrol intern adalah memperkirakan integritas seseorang atau manajemen.

Gervey, Chiu, Hong, dan Dweck (1999) menyelidiki dampak ciri yang terkait watak pada pengambilan keputusan sebagai suatu fungsi pengaruh teori dalam suatu lingkungan hukum. Yaitu, ketika keterhormatan rendah (atau tinggi), perhatian lebih tinggi (atau lebih rendah) para penganut teori entitas menyimpulkan salah daripada ketika keterhormatan tinggi (atau rendah); para penganut teori inkremental tampaknya sama-sama menyimpulkan salah bagaimanapun keterhormatannya. Gervey et.al., (1999). menyimpulkan bahwa teori implisit watak moral bisa membentuk suatu kerangka untuk mengambil keputusan tentang orang lain.

McConnell (2001) memperlihatkan bahwa pengaruh teori mempunyai suatu dampak terhadap pertimbangan sosial yang dibentuk oleh orang, dan menawarkan bukti bahwa orang akan memakai pertimbangan itu dalam suatu keputusan. Stephanie F. Watson (1999), menemukan bahwa pengaruh teori pada perkiraan auditor intern tentang integritas manajemen bisa menjelaskan bagaimana auditor intern melakukan pertimbangan lain tentang kecenderungan manajemen untuk merasionalkan penipuan dan selanjutnya, perkiraan auditor tentang risiko penipuan manajemen

Cressey (1953) mengembangkan segitiga penyimpangan, yang memperlihatkan bahwa tiga unsur (motif, kesempatan yang tertangkap, dan kecenderungan untuk merasionalkan) harus ada untuk terjadinya penipuan. Karena itu, risiko adanya penyimpangan adalah suatu fungsi ketiga unsur tersebut:

Risiko Penyimpangan Aktual = f [motif + kesempatan yang tertangkap + kecenderungan untuk merasionalkan

Motif dan kesempatan adalah ciri khas lingkungan sedangkan kecenderungan untuk merasionalkan adalah ciri khas pelaku. Menurut Cressey (1950), kecenderungan untuk merasionalkan adalah suatu kelemahan moral dan suatu variabel kelemahan. Para auditor memang melakukan suatu perkiraan tentang variabel tersembunyi ini ketika memperkirakan kejujuran manajemen (AICPA 1996, 2002).

**Intisari Penelitian Jusmi Amit, SE., MBA., M.Si., Akt.




Klik tombol like di atas... Jika anda menyukai artikel ini.
Terima Kasih telah mengunjungi Tautan ini,
Jangan lupa untuk memberikan komentar pada form di bawah post ini.
Maturnuwun...

Subscribe in a reader

Comments :

0 comments to “Integrity Theory dan Corruption Behavioral dalam Konteks Auditing”
Views All / Send Comment!

Post a Comment