<div style='background-color: none transparent;'><a href='http://www.rsspump.com/?web_widget/rss_ticker/news_widget' title='News Widget'>News Widget</a></div>

Masalah Data Panel Variabel Tenggat Terikat

Dec 31, 2011 0 comments

Model data panel yang melibatkan variabel tenggat terikat memiliki beberapa hal yang tidak sesuai dengan asumsi klasik. Salah satu di antaranya adalah adanya autokorelasi akibat keberadaan variabel tenggat Yit yaitu Yit-1 di antara variabel penjelas, dan heterogenitas akibat perbedaan di antara unit analisis yang dalam hal ini adalah bank. Karena Yit merupakan fungsi dari ηi maka Yit-1 juga merupakan fungsi dari ηi sehingga terdapat korelasi antara variabel penjelas dan residual. Hal ini menyebabkan estimator OLS dan estimator-estimator konvensional untuk persaman simultan (termasuk 2SLS) menjadi bias dan tidak konsisten walaupun tidak terdapat korelasi serial dalam uit (Baltagi, 2001: 129-130). Transformasi dengan menggunakan first difference dapat menghilangkan heterogenitas namun tetap menyisakan masalah korelasi antara variabel penjelas dan residual. Dalam kondisi seperti ini, bias tetap terjadi walaupun estimator GLS digunakan. Korelasi tersebut tidak dapat dihilangkan dengan meningkatkan jumlah sampel.

Alternatif lain adalah model dapat diestimasi dengan menggunakan within group estimator (fixed effect) yang mengeliminasi sumber inkonsistensi yang berkenaan dengan penggunaan OLS melalui transformasi persamaan untuk menghilangkan ηi, namun dalam data panel saat jumlah periode yang diteliti tidak terlalu panjang, transformasi ini akan mendorong terjadi korelasi antara variabel tenggat terikat yang telah ditransformasi dan variabel penjelas yang telah ditransformasi. Hal ini dapat menyebabkan bias (Hsiao, 1986). Penambahan jumlah sampel tidak akan menghilangkan korelasi yang terjadi sehingga within group estimator tetap tidak konsisten (Nickell, 1981). Meskipun demikian bias yang terjadi saat periode waktu mendekati tak terhingga akan menghilang. Saat periode waktu meningkat, kontribusi tiap-tiap periode terhadap rata-¬rata individu menjadi kecil mengakibatkan korelasi yang terjadi karena transformasi akan hilang. Oleh karena itu, estimator yang konsisten seharusnya terletak di antara OLS dan within group estimator. Sebagai konsekuensinya, analisis dengan menggunakan Generalized Method of Moment (GMM) diperlukan.

Generalized Method of Moment Difference (GMM-diff) dikembangkan oleh Holtz-Eakin et.al. (1988) dan Arellano dan Bond (1991). Estimator GMM-diff menggunakan persamaan first difference. Transformasi ini akan menghilangkan ηi serta memungkinkan variabel-variabel tenggat endogen pada periode kedua dan sebelumnya untuk menjadi variabel instrumen yang tepat asalkan tidak terdapat korelasi serial pada random error (Oliveira dkk, 2005). Hal itu dapat diuji dengan menggunakan uji untuk korelasi serial untuk residual dalam bentuk first difference. Selanjutnya pada tahun 1998, kelemahan dari estimator GMM-diff mulai dibicarakan lebih lanjut. Jika variabel instrumen yang digunakan lemah, maka parameter yang dihasilkan oleh GMM-diff akan tetap mengalami downward bias.

Untuk mengoreksi kelemahan estimator GMM-diff, maka Blundell dan Bond (1998) mengusulkan agar persamaan dalam first difference harus dikombinasikan dengan persamaan dalam bentuk level agar instrumen yang digunakan harus tetap ortogonal terhadap ηi. Variabel terikat dalam bentuk level seharusnya berkorelasi dengan ηi sehingga memerlukan situasi yang mengijinkan adanya korelasi antara variabel penjelas dan ηi. Selanjutnya Blundell dan Bond (1998) juga menekankan bahwa dalam model autoregressive distributed lag, seri dari first difference dapat tidak berkorelasi dengan ηi asalkan saja seri tersebut memiliki rata-rata yang stasioner. Hal ini menjadikan lagged first difference dapat digunakan sebagai instrumen pada persamaan dalam bentuk level. Ketepatan instrumen yang digunakan dapat diuji dengan Sargan test of overidentifying restrictions.

Social Exchange Model Government Budgeting Context

Dec 28, 2011 0 comments
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 tahun 2005 menegaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun berdasarkan pada sasaran tertentu yang hendak dicapai dalam satu tahun anggaran, yaitu dengan mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau ouput dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Pendekatan ini berorientasi pada pendekatan kinerja, bukan berorientasi pada pendekatan kebijakan. Kedua undang-undang tersebut telah merubah akuntabilitas atau pertanggungjawaban pemerintah daerah dari pertanggungjawaban vertikal (kepada pemerintah pusat) ke pertanggungjawaban horisontal (kepada masyarakat melalui DPRD). Implikasinya adalah adanya tuntutan otonomi yang lebih luas dan akuntabilitas publik yang nyata yang harus diberikan kepada pemerintah daerah.

Penggunaan paradigma diatas menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintah guna mendukung salah satu agenda reformasi di Indonesia yaitu terciptanya good governance. Salah satu konsekuensi tersebut diantaranya adalah reformasi anggaran (budgeting reform). Hal ini dikarenakan tuntutan pengelolaan pemerintah daerah yang berakuntabilitas dan berorientasi pada kepentingan publik (public oriented) tidak bisa lepas dari anggaran pemerintah daerah. Wujud dari penyelenggaraan otonomi daerah adalah pemanfaatan sumber daya yang dilakukan secara ekonomis, efisien, efektif, adil dan merata untuk mencapai akuntabilitas publik (Mardiasmo, 2002a).

Akuntabilitas melalui anggaran meliputi penyusunan anggaran sampai dengan pelaporan anggaran. Selain itu, anggaran merupakan elemen penting dalam sistem pengendalian manajemen karena anggaran tidak saja sebagai alat perencanaan keuangan, tetapi juga sebagai alat pengendalian, koordinasi, komunikasi, evaluasi kinerja dan motivasi (Kenis, 1979; Chow et al, 1988; Antony dan Govindarajan, 1998). Bentuk pengendalian ini sesuai dengan prinsip agency theory yang mana pemerintah sebagai agent dan DPRD sebagai principal. Selanjutnya, DPRD yang merupakan representasi dari rakyat (publik) akan mengawasi kinerja pemerintah melalui anggaran. Anggaran publik merupakan dokumen/kontrak politik antara pemerintah dan DPRD untuk masa yang akan datang (Mardiasmo, 2002b). Hal inilah yang menyebabkan mengapa penelitian di bidang anggaran pada pemerintah daerah menjadi penting dan relevan. Banyak organisasi menganggap anggaran merupakan rencana aktivitas yang akan menjadi pedoman untuk melaksanakan serangkaian aktivitas tertentu dimasa yang akan datang. Untuk membuat anggaran efektif, maka manajer memerlukan ramalan kondisi yang akan datang yang masuk akal (Nouri et all, 1996: 73). Penyusunan anggaran melibatkan berbagai pihak, baik manajer atas maupun bawah, yang secara umum memainkan peranan yang aktif dalam mempersiapkan dan mengevaluasi berbagai alternatif dari tujuan anggaran sehingga negosiasi ini merupakan komitmen manajer penyusun anggaran serta pihak-pihak yang terkait di dalamnya, dan akibatnya anggaran senantiasa digunakan sebagai tolok ukur terbaik kinerja manajer (Kren Leslie, 1992: 512).

Budgetary slack telah menjadi fokus penting dari penelitian yang ditujukan kepada desain dan implementasi sistem penganggaran organisasi yang efektif (e.g., Chow, Cooper, & Waller, 1988; Dunk, 1993; Merchant, 1985; Onsi, 1973; Stevens, 2002; Van der Stede, 2000; Young, 1985). Budgetary slack dibuat sebagai hasil dari proses penganggaran organisasi, sumber daya dan usaha yang diarahkan pada kegiatan yang tidak dapat dibenarkan dalam hal kontribusi mereka untuk tujuan-tujuan organisasi'' (Van der Stede, 2000, p. 611). Paper ini mengkaji kecenderungan manajer untuk menciptakan Budgetary slack dalam konteks anggaran pemerintah federal AS, di mana peran utama proses penganggaran untuk mengalokasikan sumber daya di antara subunit pemerintah dan di mana anggaran kewenangan anggaran akhir pada tingkat maksimum pembelanjaan aktivitas masing-masing unit (Peters, 2004; Wildavsky, 1984). Covaleski, Evans, Luft, and Shields (2003, p. 10) menyatakan bahwa peran alokasi sumber daya adalah salah satu fitur penting dari anggaran organisasi.

Selama penyusunan anggaran yang diusulkan Presiden, kepala unit pemerintah federal AS meminta resource untuk operasi unit mereka pada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi (Executive Office of the U.S. President, 2004; Peters, 2004; Wildavsky, 1984). Manajer tersebut memiliki beberapa insentif untuk menciptakan slack dalam unit anggaran mereka dengan meminta peningkatan anggaran. resource Slack memberikan alibi terhadap resiko bahwa kejadian tak terduga di masa depan akan berdampak negatif pada kemampuan unit pemerintahan untuk memberikan pelayanan (Van der Stede, 2000). Karena evaluasi dari kinerja kepala pemerintah federal dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas unit layanan mereka (Senat Bill, 1993, hal 20; USGAO, 2000), manajer akan melihat Budgetary slack sebagai alat untuk memastikan bahwa mereka akan menerima kinerja yang dihubungkan dengan outcome yang menguntungkan. Sebagai contoh, proteksi Budgetary slack memberikan dampak negatif terhadap peristiwa tak terduga yang dapat meningkatkan kemungkinan bahwa manajer akan menerima imbalan ekstrinsik kinerja-kontinjen seperti promosi dan kenaikan gaji (Merchant & Manzoni, 1989; Van der Stede, 2000); bahwa mereka akan melihat diri mereka sebagai pemenang dan menghindari stigma berprestasi rendah (Merchant & Manzoni, 1989), dan mereka akan mendapatkan kredibilitas dari pejabat pemerintah lainnya yang memungkinkan mereka untuk menjual ide-ide mereka, untuk memiliki sumber daya yang dialokasikan pada unit mereka di masa depan , dan untuk mencegah intervensi dalam operasi unit (Merchant & Manzoni, 1989; Wildavsky, 1984). Kreasi Budgetary slack juga dapat meningkatkan status kepala pemerintah federal dan pengakuan di antara pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan dalam unit anggaran mereka (misalnya, pegawai unit pemerintah dan klien perusahaan) karena ukuran alokasi anggaran merupakan indikator efektivitas manajer sebagai unit pendukung utama dalam kompetisi untuk sumber daya pemerintah yang terbatas (Niskanen, 1971). Alasan lainnya adalah bahwa kepala pemerintahan federal berusaha untuk membangun slack ke dalam unit anggaran mereka berkaitan dengan bias egosentris, dimana penerima dalam alokasi sumber daya sering meminta dan merasa menerima sebagian besar sumber daya sesuai yang mereka terima (Diekmann, Samuels, Ross, & Bazerman, 1997). Leung, Tong, dan Ho (2004, hal 407) menyimpulkan bahwa bias egosentris adalah “deep seated and amazingly robust” pada seluruh pengaturan alokasi sumber daya.

Budgetary slack dalam bentuk unit organisasi yang menerima sumber daya yang lebih dari yang dibutuhkan dapat memiliki pengaruh disfungsional pada suatu organisasi (Nouri, 1994). Dalam konteks anggaran pemerintah federal AS, misalnya, anggaran berisi slack akan dialokasikan pada share yang lebih besar dari sumber daya pemerintah yang terbatas dari yang dibenarkan memberikan kontribusi mereka untuk tujuan kebijakan keseluruhan pemerintah, yang mungkin memiliki dampak negatif pada kemampuan pemerintah untuk mencapai tujuan karena sumber daya akan dialihkan dari unit yang lebih efektif (Wildavsky, 1984). Dampak negatif potensial dari Budgetary slack menciptakan kebutuhan untuk studi yang mengidentifikasi aspek-aspek desain dan implementasi sistem penganggaran yang mempengaruhi kecenderungan manajer untuk menciptakan Budgetary slack; Merchant (1985) dan Nouri (1994) menyatakan bahwa penelitian tersebut memberikan wawasan tentang cara mengendalikan Budgetary slack ketika terjadi disfungsional. Variabel sistem penganggaran sebelumnya ditemukan berhubungan dengan kecenderungan untuk menciptakan Budgetary slack atau Budgetary slack self-rated termasuk partisipasi anggaran (misalnya, Govindarajan, 1986; Merchant, 1985; Nouri & Parker, 1996; Onsi, 1973) dan gaya kontrol anggaran yang kaku (misalnya, Onsi, 1973; Van der Stede, 2000).

Stdui menguji model yang didasarkan pada penelitian mengenai pertukaran sosial dan kesetaraan organisasi yang berhubungan dengan dua aspek sistem penganggaran - prosedural budgetary fairness dan interaksional budgetary fairness – pada kecenderungan manajer untuk menciptakan Budgetary slack. Prosedural budgetary fairness, yang mengkaji tentang desain sistem penganggaran, sejauh mana prosedur anggaran struktural organisasi formal sesuai dengan norma hak atau kesusilaan. Interaksional budgetary fairness, yang membahas implementasi sistem penganggaran, adalah sejauh mana para pembuat keputusan anggaran menerapkan prosedur anggaran dalam cara yang sesuai dengan norma-norma manajer dari hak atau kesusilaan. Model, yang ditunjukkan dalam Gambar. 1, mengusulkan secara khusus bahwa prosedural dan interaksional budgetary fairness mengurangi kecenderungan manajer untuk menciptakan Budgetary slack secara tidak langsung melalui peningkatan kepercayaan atasan langsung mereka. Studi saat ini melengkapi penelitian Little, Magner, dan Welker (2002), yang menemukan bahwa prosedural dan interaksional budgetary fairness memiliki efek interaktif pada kecenderungan untuk menciptakan Budgetary slack seperti bahwa manajer memiliki kecenderungan yang sangat rendah untuk membuat slack ketika prosedur anggaran formal dan atasan mengimplementasikan tentang prosedur tersebut secara adil. Sedangkan Little et al. menunjukkan bahwa prosedural dan interaksional budgetary fairness bersama-sama mengurangi kecenderungan untuk menciptakan Budgetary slack, studi ini menginvestigasi kemungkinan mekanisme masing-masing bentuk budgetary fairness dalam mengurangi kecenderungan untuk membuat slack; secara khusus dengan meningkatkan kepercayaan pada atasan langsung.

Hasil studi menunjukkan bahwa prosedur pelaksanaan anggaran formal yang fair dan implementasi prosedur yang fair mengurangi kecenderungan manajer untuk menciptakan Budgetary slack, dan bahwa kepercayaan pada atasan langsung memainkan peran kunci dalam memediasi proses tersebut. Ukuran prosedural dan interaksional budgetary fairness, di mana setiap item mengukur kriteria fairness yang berbeda, memberikan arahan kepada organisasi dan pejabat organisasi sebagai cara yang spesifik yang dapat meningkatkan budgetary fairness.


Prosedural dan interaksional fairness dalam pengambilan keputusan organisasi telah diteliti dalam beberapa konteks, termasuk penganggaran dan setting yang terkait seperti alokasi pembayaran dan penilaian kinerja (lihat tinjauan literatur keadilan organisasi oleh Brockner & Wiesenfeld, 1996; Colquitt, Conlon, Wesson, Porter, & Ng, 2001; Greenberg, 1990). Norma-norma yang berlaku dalam menilai keadilan prosedural misalnya prosedur pengambilan keputusan formal organisasi memberikan kesempatan untuk menyuarakan opini mereka dan untuk mengambil keputusan yang tidak menguntungkan dan prosedur tersebut dilakukan dengan cara yang konsisten berdasarkan informasi yang akurat (Barrett-Howard & Tyler, 1986; Greenberg, 1986; Leventhal, 1980; Magner, Johnson, Sobery, & Welker, 2000; Tyler, 1988). Dalam menilai keadilan interaksional, karyawan menjadi lebih fokus pada faktor-faktor seperti apakah pengambil keputusan dipengaruhi oleh sensitivitas interpersonal dan memberikan penjelasan yang cukup dan jelas untuk keputusan mereka (Bies & Moag, 1986; Brockner & Wiesenfeld, 1996; Tyler & Bies, 1990 ). Prosedural dan interaksional fairness ditemukan mempunyai pengaruh penting terhadap sikap dan perilaku karyawan seperti kepuasan kerja, komitmen organisasi, perilaku anggota organisasi, evaluasi pengawasan, niatan berpindah, dan kinerja (lihat tinjauan meta analitis literatur keadilan organisasi oleh Colquitt et al., 2001). Peneliti seperti Konovosky dan Pugh (1994) dan Masterson, Lewis, Goldman, dan Taylor (2000) telah menggunakan teori pertukaran sosial sebagai dasar untuk menjelaskan mekanisme prosedural dan interaksional fairness mempengaruhi sikap dan perilaku.

Menurut teori pertukaran sosial, karyawan mengembangkan hubungan pertukaran sosial dengan organisasi mereka dan otoritas organisasi di masing-masing pihak memberikan kontribusi pada hubungan dengan harapan menerima manfaat di masa depan yang dapat dibandingkan (Masterson et al., 2000). Karyawan mencari materi (misalnya, kenaikan gaji) dan psikologis (misalnya, harga diri) manfaat dari hubungan organisasi yang sedang berlangsung (Brockner, 2002; Brockner, Siegel, Daly, Tyler, & Martin, 1997; Lind & Tyler, 1988). Dalam hubungan pertukaran sosial, sifat yang tepat dari kewajiban masing-masing pihak adalah tidak ditentukan dan dasar untuk mengukur kontribusi tidak jelas (Blau, 1964, hlm 88-97; pembahasan teori pertukaran sosial sebagian besar didasarkan pada Blau). Pertukaran Sosial berbeda dengan pertukaran ekonomi, di mana dasar yang pasti dari kewajiban masing-masing pihak ditentukan di muka, dengan cara kontrak formal yang dapat ditegakkan melalui sanksi hukum (Aryee, Budhwar, & Chen, 2002). Manfaat yang diterima karyawan dan otoritas organisasi dalam hubungan pertukaran sosial mewajibkan mereka untuk saling memberi manfaat. Karyawan merespon, dan karenanya mempertahankan hubungan pertukaran sosial, terutama melalui perilaku pada tujuan organisasi (Masterson et al., 2000).

Sementara masing-masing pihak memberikan kontribusi untuk hubungan pertukaran sosial dengan harapan umum dari beberapa return, dasar yang pasti dari return diserahkan kepada kebijaksanaan orang yang akan membuatnya. Tidak ada cara untuk menjamin return yang sesuai untuk kontribusi dalam hubungan pertukaran sosial dan dalam jangka pendek orang cenderung untuk melihat asimetri antara kontribusi dan manfaat yang mereka terima (Konovosky & Pugh, 1994). Oleh karena itu, faktor penting dalam pelestarian hubungan pertukaran sosial adalah bahwa masing-masing pihak mempercayai pihak lain untuk melaksanakan kewajiban memadai nya dalam jangka panjang (Aryee et al., 2002; Blau, 1964; Konovosky & Pugh, 1994). Trust adalah kesediaan salah satu pihak menjadi rentan terhadap tindakan pihak lain berdasarkan harapan bahwa yang lain akan melakukan tindakan penting pada pemberi kepercayaan (Mayer, Davies, & Schoorman, 1995, hal 712).

Studi ini secara konsisten menunjukkan bahwa prosedural dan interaksional fairness dalam pengambilan keputusan organisasi merupakan sumber penting dari kepercayaan karyawan dalam organisasi mereka dan otoritas organisasi (misalnya, Aryee et al., 2002; Brockner et al., 1997; Colquitt et al., 2001; Fichman , 2003; Konovosky & Pugh, 1994; Su Leung,, & Morris, 2001; Magner & Johnson, 1995; Magner & Welker, 1994; Mayer et al, 1995; Schriesheim Pillai,., & Williams, 1999 Bos Van; den, Wilke, & Lind, 1998). Brockner (2002) dan Brockner dan Siegel (1996) disebabkan fenomena ini untuk menginformasikan bahwa prosedural dan interaksional fairness menyampaikan kepada karyawan tentang sejauh mana mereka dapat mengharapkan untuk menerima manfaat bernilai dari organisasi dan wewenang organisasi dalam jangka panjang. Selanjutnya, penjelasan Brockner mengapa keadilan organisasi mempengaruhi kepercayaan diterapkan ke pengaturan anggaran dan hipotesis penelitian dikembangkan.
Mengenai interaksional budgetary fairness, ketika pembuat keputusan anggaran melaksanakan prosedur formal dalam anggaran secara adil melalui sensitivitas interpersonal pada manajer unit dan menyediakan mereka dengan penjelasan yang jelas dan memadai untuk keputusan penganggaran, manajer cenderung melihat perlakuan sebagai sinyal bahwa mereka dinilai anggota organisasi, yang akan memberikan mereka keuntungan psikologis seperti meningkatkan harga diri. Selain itu, perlakuan tersebut menunjukkan bahwa pembuat keputusan anggaran memiliki goodwill oleh para manajer, yang memberikan jaminan kepada manajer pengambil keputusan bahwa anggaran akan menyediakan mereka keuntungan material yang wajar seperti distribusi sumber daya anggaran yang menguntungkan dan reward yang dihubungkan dengan anggaran, seperti promosi dan gaji. Manajer cenderung untuk melihat atasan langsung mereka sebagai pengambil keputusan anggaran yang memainkan peran utama dalam pelaksanaan prosedur formal anggaran, dan dengan demikian sebagai sumber utama materi bernilai dan manfaat psikologis. Selanjutnya, karena kesalahan atribusi yang mendasar (Gilbert & Malone, 1995; Heider, 1958; Ross, 1977), dimana orang cenderung menghubungkan perilaku lain yang relatif pribadi, motif, dan sikap (disposisi mereka), dibanding penyebab situasional, manajer akan cenderung untuk melihat cara atasan menerapkan prosedur formal anggaran yang stabil dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, jika manajer memahami bahwa atasan mereka melaksanakan prosedur formal anggaran dengan cara yang adil, mereka akan menyimpulkan bahwa atasan akan terus menerapkan prosedur yang fair di masa depan, dan dengan demikian akan mengharapkan untuk menerima manfaat material dan psikologis yang berasal dari pelaksanaan yang fair dalam jangka panjang. Berdasarkan harapan bahwa atasan akan memberikan manfaat jangka panjang, manajer akan menjadi lebih rentan terhadap tindakan jangka pendek atasan dalam kegiatan organisasi penting seperti anggaran sehingga memiliki kepercayaan yang lebih besar pada atasan.

Mengenai prosedural budgetary fairness, prosedur formal anggaran organisasi yang memberikan kesempatan karyawan untuk menyuarakan pendapat mereka selama penganggaran dan untuk naik banding dalam keputusan penganggaran, menggunakan informasi akurat dalam pengambilan keputusan penganggaran, sinyal untuk manajer bahwa mereka akan menyadari fair share keuntungan material mereka seperti anggaran yang menguntungkan dan konsekuensi reward. Prosedur anggaran formal yang fair juga memberikan manajer manfaat psikologis seperti harga diri dalam organisasi seperti prosedur organisasi yang menandakan bahwa mereka dinilai sebagai anggota organisasi. Karena prosedur organisasi formal merupakan dasar struktural dan organisasi cenderung untuk mengikuti struktur tetap, manajer akan cenderung melihat prosedur anggaran formal stabil dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, jika manajer percaya bahwa prosedur anggaran formal saat ini wajar, mereka akan menyimpulkan bahwa prosedur akan terus wajar di masa depan, dan dengan demikian akan mengharapkan untuk menerima manfaat material dan psikologis yang berasal dari prosedur tersebut dalam jangka panjang. Selanjutnya, karena atasan mereka dilihat sebagai agen utama dalam organisasi dan satu anggaran perilaku dibatasi oleh struktur prosedur anggaran formal, manajer akan melihat bahwa prosedur anggaran formal yang wajar akan meningkatkan kemampuan atasan mereka untuk memberikan mereka materi bernilai dan manfaat psikologis dalam jangka panjang. Karena manajer berharap untuk menerima manfaat jangka panjang dari atasan, mereka akan membiarkan diri mereka lebih rentan terhadap tindakan jangka pendek pengawas di berbagai bidang seperti anggaran, sehingga memiliki kepercayaan yang lebih besar pada atasan.

Karena interaksional budgetary fairness dan prosedural budgetary fairness meningkatkan kepercayaan manajer terhadap atasan mereka dalam rangka menyediakan materi bernilai dan manfaat psikologis dalam jangka panjang, manajer akan merasa berkewajiban untuk mempertahankan hubungan pertukaran sosial. Cara yang layak di mana manajer dapat membalas kepercayaan yang ditimbulkan oleh budgetary fairness adalah dengan menunjukkan kecilnya kecenderungan untuk mengajukan bias perkiraan anggaran. Menciptakan slack dalam anggaran, perilaku dimaksudkan untuk memanipulasi proses anggaran organisasi sehingga seseorang memiliki kepentingan pribadi, inkonsisten dengan keinginan untuk mengembalikan kebaikan kepada organisasi dan kewenangan organisasi untuk mendesain dan melaksanakan prosedur anggaran yang adil.

Secara bersamaan, tiga hipotesis pertama menunjukkan bahwa kepercayaan pada atasan memediasi efek interaksi dan prosedur budgetary fairness pada kecenderungan manajer untuk menciptakan Budgetary slack. Namun, hipotesis tidak membahas pengaruh langsung interaksi dan prosedural budgetary fairness pada kecenderungan untuk menciptakan Budgetary slack yang di bypass kepercayaan pada atasan. Jika efek langsung tersebut terjadi, kepercayaan pada atasan secara parsial memediasi pengaruh interaksi dan prosedur budgetary fairness pada kecenderungan untuk membuat slack. Mengingat pentingnya kepercayaan terhadap teori pertukaran sosial dari perilaku organisasi, studi sebelumnya (Aryee et al., 2002; Konovosky & Pugh, 1994) telah diusulkan, dan memberikan dukungan empiris, model yang percaya sepenuhnya memediasi hubungan antara interaksi dan prosedur budgetary fairness dalam pengambilan keputusan organisasi serta sikap dan perilaku karyawan. Berdasarkan penelitian ini, hipotesis terakhir kami mengusulkan bahwa kepercayaan di supervisor memainkan peran yang serupa dalam konteks penganggaran saat ini.

Koperasi Indonesia di Tengah Koperasi Dunia

Dec 27, 2011 0 comments

Pengalaman pada beberapa negara yang cukup maju gerakan koperasinya menunjukkan fakta bahwa keterlibatan aktif gerakan koperasi menyebabkan meningkatnya produksi dan nilai tambah produksi di satu sisi, sementara di sisi lain kaum marjinal terlindungi dengan upaya peningkatan kesejahteraan mereka. Hal ini semua pada gilirannya sangat berpengaruh terhadap berkembangnya aktivitas perekonomian wilayah, khususnya wilayah pedesaan.

Walaupun perkembangan koperasi di Indonesi cukup pesat, namun perkembangan tersebut belum mampu menembus peringkat besar pada skala internasional di bawah organisasi koperasi internasional ICA. ICA (International Cooperative Alliance) adalah organisasi gerakan koperasi internasional yang dibentuk pada 1895, dan saat ini beranggotakan 220 organisasi gerakan koperasi dari 85 negara (termasuk gerakan koperasi Indonesia yang diwakili oleh Dekopin) yang memiliki lebih dari 800 juta anggota perorangan yang tersebar di seluruh dunia. Salah satu kegiatan dari ICA yaitu menyajikan profil 300 koperasi kelas dunia (Global 300), yang telah menjadi salah satu agenda General Assembly yang diselenggarakan pada 18-19 Oktober 2007 yang lalu di Singapura. Kriteria untuk dapat terjaring dalam Global 300 adalah jumlah volume usaha (turnover) serta asset, dan kegiatan pelaksanaan Cooperative Social Responsibility (CSR) yang meliputi: pelaksanaan nilai dan prinsip koperasi, pelaksanaan demokrasi, kepedulian pada lingkungan, serta keterlibatan dalam pembangunan masyarakat. Menurut data laporan tahunan 2009 International Co-operative Alliance (ICA, 2009) terdapat 28 negara yang memiliki omset $US 645.000.000 hingga $US 63.449.000.000, yang terdiri dari koperasi sektor keuangan (perbankan, asuransi, koperasi kredit/credit union) sebesar 40%; koperasi pertanian (termasuk kehutanan) sebesar 33%; koperasi ritel/wholesale sebesar 25%; dan 7% tersebar dalam berbagai macam koperasi, seperti: koperasi kesehatan, energi, manufaktur dan sebagainya.

Penyebaran 300 koperasi (Global 300) tersebut, sebanyak 66 koperasi berada di Amerika Serikat, 55 koperasi di Perancis, 32 koperasi di Jerman, 23 koperasi di Itali dan 19 koperasi di Belanda. Sedangkan di negara Asia 14 berada di Jepang, 2 koperasi di Korea Selatan, 3 koperasi di India, 2 koperasi di Singapura, serta Cina dan Taiwan masing-masing 1 koperasi. Koperasi dengan asset terbesar pertama dan kedua masing-masing ada di Jepang yaitu koperasi pertanian Zeh Noh (omset $US 63.449.000.000) dan Koperasi Asuransi Zenkyoren (omzet $ US 46.819.000.000).

Tabel 1.
Penyebaran Koperasi Global 300
No.NegaraJumlah KoperasiPersen
1AS6622.00 %
2Perancis5518.33 %
3Jerman3210.67 %
4Italia237.67 %
5Belanda196.33 %
6Jepang144.67 %
7Inggris144.67 %
8Finlandia93.00 %
9Kanada93.00 %
10Swis93.00 %
11Spanyol72.33 %
12New Zealand62.00 %
13Swedia62.00 %
14Norwegia51.67 %
15Belgia31.00 %
16Brasil31.00 %
17Denmark31.00 %
18India31.00 %
19Irlandia31.00 %
20Australia20.67 %
21Korsel20.67 %
22Singapura20.67 %
23Austria10.33 %
24Cina10.33 %
25Israel10.33 %
26Portugal10.33 %
27Taiwan10.33 %
Sumber: Annual Report ICA (2009).


Selain meluncurkan ICA Global 300, dalam kesempatan General Assembly tersebut ICA juga meluncurkan Developing 300 Project, yang menyajikan profil koperasi-koperasi di negara sedang berkembang dengan kriteria omset dan asset yang lebih rendah. Dalam kriteria ini yang tertinggi adalah Koperasi Saludcoop, koperasi kesehatan Columbia (omset $ US 504.681.000). Sedangkan yang terendah adalah koperasi pertanian Uganda (omset $ US 512.000).

Dalam kelompok ini juga ada 5 negara Asia yaitu Malaysia, Pilipina, Muangthai, Srilangka dan Vietnam. Masing-masing negara tersebut menempatkan 5 koperasi. Sedangkan dari Afrika ada 4 negara yaitu Ethopia, Kenya, Tanzania dan Uganda. Masing-masing negara tersebut menempatkan 5 koperasi. Sementara dari Amerika Selatan, Columbia, Kostarika dan Paraguay juga menempatkan masing-masing 5 koperasi. Koperasi di Indonesia baru bisa menembus Global 300 pada tahun 2010 (peringkat 300), yaitu Koperasi Simpan Pinjam dan Jasa (Kospin Jasa) Pekalongan, dengan omset Rp. 1,8 Triliun (Mulia Ginting Munthe, 2011).

Tabel 2.
Sepuluh Besar Koperasi di Dunia
UrutanNama KoperasiAsal NegaraTahun BerdiriJenis UsahaOmzet (USD)Asset (USD)
1Zen-Noh (National Federation of Agricultural Co-operatives)Jepang1948Food & Agricultural63,44918,449
2ZenkyorenJepang1951Insurance46,819406,224
3Credit Agricole GroupPerancis1897Div. Financials30,7221,385,635
4National Agricultural Cooperative
Federation (NACF)
Korsel1961Div. Financials24,687199,783
5Nationwide Mutual Insurance
Company
AS1925Insurance24,392116,160
6GroupamaPerancis1899Insurance15,68495,057
7Edeka Zentrale AGJerman1898Retailing15,6605,909
8MigrosSwis1925Retailing15,47512,740
9Mondragon CorporationSpanyol1956Materials14,04027,204
10The Cooperative GroupUK1963Retailing12,72671,328
Sumber: Annual Report ICA (2009).

Sedangkan di lima belas negara Eropa, koperasi mempunyai peran yang sangat besar dalam kegiatan ekonomi kerakyatan. Pangsa pasar yang dikuasai oleh koperasi berkisar antara 20 - 90 persen. Di Indonesia, pangsa pasar yang dikuasai oleh koperasi masih jauh di bawah angka 20 persen yang merupakan batas bawah pangsa pasar yang dikuasai oleh koperasi di negara Eropa.

Tabel 3.
Koperasi di Negara-negara Eropa dan Pangsa Pasar yang Dikuasai
No.NegaraJumlah KoperasiJumlah AnggotaPangsa Pasar
SusuSayuranDagingPertanianBiji-bijian
1.Belgia- - 50 70-90 20-30 - -
2.Denmark214 113,000 93 20-25 66-93 64-59 87
3.Jerman3,950 3,280,000 55-60 60 30 50-60 -
4.Yunani6,919 782,000 20 12-51 5-30 - 49
5.Spanyol4,350 950,000 35 15-40 20 - 20
6.Perancis3,618 720,000 49 35-50 27-88 50-60 75
7.Irlandia128 186,000 100 - 30-70 70 69
8.Italia8,850 1,124,900 38 41 10-15 15 15
9.Luxemburg25 - 80 - 25-30 75-95 70
10.Belanda251 273,000 82 70-96 35 40-50 -
11.Austria1,757 2,182,000 90 - 50 - 60
12.Portugis909 800,000 83-90 35 - - -
13.Finlandia403 1,228,000 94 - 68 40-60 -
14.Swedia50 300,000 99 60 79-81 75 75
15.Inggris506 271,000 98 35-45 20 20-25 20
Sumber: Van Bekkum dan Van Dijk (1997).

Fakta ini merupakan bukti tambahan akan lemahnya daya saing koperasi Indonesia. Sehingga, persoalan yang mendesak untuk dikaji adalah bagaimana meningkatkan dan mengembangkan daya saing koperasi Indonesia pada era globalisasi?

Daya Saing Koperasi-UMKM Dalam Persaingan Global

0 comments
Salah satu fungsi dan tujuan didirikannya sebuah negara adalah menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Oleh karena itu, keberfungsian sebuah negara tergambar pada seberapa sejahtera dan makmur rakyatnya. Dalam teori ekonomi pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran sebuah negara diukur melalui sejumlah indikator. Dua di antaranya adalah produk domestik bruto (PDB) per kapita dan indeks pembangunan manusia (IPM). Berdasarkan data tentang kedua indikator tersebut, Indonesia hingga tahun 2010 masih berada jauh di bawah Negara maju di kawasan Asia seperti Jepang dan Korea Selatan. Bahkan di Asia Tenggara, dilihat dari IPMnya, Indonesia masih berada di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Filipina. Indonesia hanya berada lima tingkat di atas Vietnam dan 12 tingkat di atas Timor Leste. Hal tersebut, ditambah dengan tingginya disparitas pendapatan serta masih lebarnya kesenjangan antara “si kaya” dan “si miskin,” yang mengindikasikan bahwa negara dan bangsa kita masih harus bekerja keras dan—mungkin lebih tepat— bekerja cerdas untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Kaitan antara tingkat pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran dengan tatanan ekonomi nasional, khususnya kedudukan ekonomi kerakyatan yang “diwakili” oleh koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah akan menjadi fokus bahasan ini.

Koperasi merupakan salah satu dari tiga pelaku Pelaku ekonomi Indonesia (BUMN/BUMD, koperasi dan BUMS), dan koperasi merupakan satu-satunya pelaku usaha yang eksistensinya diakui dalam undang-undang dasar 1945, yang bahkan diharapkan dapat menjadi soko-guru perekonomian Indonesia. Meskipun tujuan ideal koperasi sebagai soko guru dalam perekonomian Indonesia, namun peran koperasi kalah jauh dibandingkan BUMN / BUMD apalagi dengan BUMS. Bahkan pada tahun 1992 dalam perekonomian global muncul trend ekonomi berbasis konglomerasi. Hal ini berpengaruh kuat dalam perekonomian bangsa dan membuat kehidupan koperasi dan semagatnya semakin tidak begitu populer lagi.

Namun krisis moneter yang melanda beberapa negara di kawasan Asia (Korea, Thailand, Indonesia, Malaysia ) pada tahun 1997 memberikan pembelajaran yang sangat berharga bagi pengambil kebijakan dan keputusan serta pengaturan regulasi bahwa sesungguhnya pengembangan ekonomi bangsa yang berbasis konglomerasi rentan terhadap badai krisis moneter. Sementara itu, pada saat yang sama kita dapat menyaksikan bahwa ekonomi kerakyatan dan lembaga keuangan mikro (di antaranya adalah koperasi) – yang sangat berbeda jauh karakteristiknya dengan ekonomi konglomerasi – mampu menunjukkan daya tahannya terhadap gempuran badai krisis moneter yang melanda Indonesia. Lembaga keuangan mikro terbukti telah dapat menjaga kesinambungan hidupnya dengan mandiri. Melalui keuangan mikro kebangkitan ekonomi rakyat maupun pengurangan kemiskinan, akan dilakukan oleh rakyat sendiri. Masyarakat menemukan jalannya sendiri untuk mengatasi persoalan yang mereka hadapi.

Dengan demikian sektor KUKM dapat menjadi pengganjal untuk tidak terjadinya kebangkrutan perekonomian, bahkan sebaliknya dapat diharapkan sebagai motor penggerak roda perekonomian nasional untuk keluar dari krisis. Tentu saja hal ini merupakan sesuatu yang patut dicermati, pada satu sisi peranan koperasi dalam perekonomian nasional masih jauh tertinggal, namun pada sisi yang lain keberadaan koperasi dan UKM pada masa badai krisis justru memberi peranan yang cukup berarti.

Dalam sejarahnya, koperasi sebenarnya bukanlah organisasi usaha yang khas berasal dari Indonesia. Kegiatan berkoperasi dan organisasi koperasi pada mulanya diperkenalkan di Inggris di sekitar abad pertengahan. Pada waktu itu misi utama berkoperasi adalah untuk menolong kaum buruh dan petani yang menghadapi problem-problem ekonomi dengan menggalang kekuatan mereka sendiri. Kemudian di Perancis yang didorong oleh gerakan kaum buruh yang tertindas oleh kekuatan kapitalis sepanjang abad ke 19 dengan tujuan utamanya membangun suatu ekonomi alternatif dari asosiasi-asosiasi koperasi menggantikan perusahaan-perusahaan milik kapitalis (Moene dan Wallerstein, 1993). Ide koperasi ini kemudian menjalar ke AS dan negara-negara lainnya di dunia. Di Indonesia, baru koperasi diperkenalkan pada awal abad 20.

Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju dan negara berkembang memang sangat diametral. Di Barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidak-adilan pasar. Perekonomian pasar yang digerakkan oleh para kapitalis dalam mengejar keuntungan pribadi tidak memberi ruang gerak untuk kaum marjinal. Hal ini disebabkan karena kaum marjinal tidak mempunyai akses pada (kapital) modal yang faktor kunci bagi seorang pelaku ekonomi untuk dapat berperan secara efektif dalam perekonomian pasar. Ketidak-adilan pasar tersebut direspon oleh kaum marjinal dengan menghimpun kekuatan bersama dalam suatu wadah yang dikenal koperasi. Di negara maju gerakan koperasi telah mampu menempatkan koperasi sebagai fenomena global yang menjadikan koperasi merupakan alternatif bagi perekonomian pasar. Bahkan, di berbagai negara, pemerintah telah membuat peraturan perundangan untuk mengatur dan melindungi keberadaan koperasi sebagai respon atas tuntutan masyarakat.

Sedangkan pada negara berkembang seperti Indonesia, koperasi hadir sebagai institusi yang akan menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Pemerintah menempatkan koperasi sebagai instrumen negara untuk memajukan kemakmuran masyarakat. Sehingga tidaklah aneh bila pemerintah mencoba membuat pengembangan koperasi sebagai suatu gerakan massal, tanpa memperhatikan perlunya ikatan sentimental antar anggota dalam pengembangan suatu koperasi seperti yang terjadi di negara Barat.

KINERJA KOPERASI DI INDONESIA
Dalam sistem perekonomian Indonesia dikenal ada tiga pilar utama yang menyangga perekonomian, yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), dan Koperasi. Ketiga pilar ekonomi tersebut mempunyai peranan yang masing-masing sangat spesifik sesuai dengan kapasitasnya. Sayangnya, dari ketiga pilar itu, koperasi secara umum merupakan pilar ekonomi yang "jalannya paling terseok" dibandingkan dengan BUMN dan apalagi BUMS.

Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja koperasi adalah perkembangan volume usaha dan sisa hasil usaha (SHU). Berdasarkan data laporan Kementerian Negara Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa kedua indikator tersebut mengalami peningkatan selama periode 2000-2010. Untuk volume usaha, nilainya naik dari 23,1 triliun rupiah (tahun 2000) ke 76,8 triliun rupiah tahun 2010; sedangkan SHU dari 695 miliar rupiah (tahun 2000) ke 3,1 triliun rupiah tahun 2001. (Tabel 1). Pada tahun 2010 jumlah SHU koperasi aktif mencapai 5.622 miliar rupiah sedangkan modal luar koperasi aktif sekitar 34.687 miliar rupiah.

Tabel 1.
Perkembangan Usaha Koperasi (Dalam Jutaan Rupiah)
TahunModal Sendiri (MS)Modal Asing (MA)Rasio MS/MAVol. UsahaSHUVol/SHU
2000 6,816,950.25 12,473,404.16 0.54723,122,224.43 694,502.00 3.00%
2001 11,699,952.00 16,322,599.10 0.717 38,730,174.95 3,134,446.41 8.09%
2002 8,568,530.30 14,773,180.65 0.580 28,415,411.31 988,516.72 3.48%
2003 9,419,987.16 14,939,422.15 0.631 31,683,699.39 1,871,926.70 5.91%
2004 11,989,451.50 16,897,052.35 0.710 37,649,091.04 2,164,234.54 5.75%
2005 14,836,208.0618,179,195.39 0.816 40,831,693.562,198,320.31 5.38%
200616,790,860.53 22,062,212.00 0.761 62,718,499.78 3,216,817.65 5.13%
2007 20,231,699.45 23,324,032.14 0.867 63,080,595.81 3,470,459.45 5.50%
2008 22,560,380.03 27,271,935.23 0.827 68,446,249.39 3,964,818.55 5.79%
2009 28,348,727.78 31,503,882.17 0.900 82,098,587.19 5,303,813.94 6.46%
2010 30,102,013.90 34,686,712.67 0.868 76,822,082.40 5,622,164.24 7.32%<
Sumber: Kementrian Koperasi dan UKM, dari berbagai tahun terbitan.

Secara historis pengembangan koperasi di Indonesia telah digerakan dengan dukungan kuat dari program pemerintah yang berlangsung dalam periode waktu cukup lama. Globalisasi perekonomian dan reformasi politik dalam negeri telah membuat tidak mungkin lagi mempertahankan dukungan pemerintah dalam pengembangan koperasi di negeri ini. Disamping itu, koperasi telah melahirkan semangat kewirausahaan, dengan menerima pelatihan dengan mengurus dan mengelola koperasi.

Keberadaan semangat kewirausahaan inilah yang menjadi faktor kunci dalam pesatnya perkembangan koperasi paska krisis. Koperasi dan UMKM merupakan wahana pemberdayaan masyarakat lemah dan bergerak di berbagai sektor ekonomi, ternyata jumlahnya cukup besar dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan data laporan Kementerian Negara Koperasi dan UKM, sampai dengan tahun 2010, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 177.000 unit lebih, dengan jumlah penyerapan tenaga kerja sebanyak 30.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif tahun 2010, sebanyak 124,855 unit (88,14 persen) (Kementrian Koperasi dan UKM, Desember 2010).

Tabel 2.
Rekapitulasi Data Koperasi Indonesia
TahunJumlah KoperasiJumlah Anggota TahunJumlah KoperasiJumlah Anggota
AktifTotal AktifTotal
200088,930103,07727,295,893 200698,944141,32627,776,133
200189,756110,76623,644,850 2007104,999149,79328,888,067
200292,531118,64425,007,601 2008108,930154,96427,318,619
200393,800123,18127,282,658 2009120,473170,41129,240,271
200493,402130,73027,523,053 2010124,855177,48230,461,121
200594,818134,96327,286,784 2011n.a.n.a.n.a.
Sumber: Kementrian Koperasi dan UKM, dari berbagai tahun terbitan.

Peranan dan keberadaan sektor Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (KUKM) di Indonesia diakui sangat penting dalam perekonomian nasional. Selama krisis ekonomi, Koperasi dan UMKM telah berperan dalam penyerapan tenaga kerja, pemberian pelayanan ekonomi yang luas kepada masyarakat dan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat. Ditinjau dari kontribusi UKM terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), tercatat pada tahun 2008 besaran PDB yang diciptakan UKM mencapai nilai Rp. 1.165.257,5 milyar atau 58,3 % dari total PDB nasional, sedangkan pada tahun 2007 kontribusi UKM baru mencapai 58,4% dari total PDB nasional. Jumlah koperasi dan UMKM yang cukup besar tersebut ternyata belum diikuti dengan peningkatan kualitasnya secara umum.

Tabel 3.
Kontribusi Koperasi dan UKM Terhadap Pembentukan Produk Domestik Bruto (GDP)
TahunKontribusi Terhadap GDP
Koperasi dan UKMKonglomerasi
Jumlah (Million Rp)Pangsa (%)Jumlah (Million Rp)Pangsa (%)
2005979.501,355,95771.314,044,05
20061.035.615,358,49734.893,041,51
20071.100.670,958,44782.878,241,56
20081.165.753,258,35832.184,841,65
20091.214.725,358,17873.567,041,83
Sumber: Kementrian Koperasi dan UKM, 2010.


Saat keterpurukan perekonomian pasar yang menghasilkan pengangguran dan kemiskinan besar-besaran di negeri ini, koperasi telah tampil sebagai ’juru selamat’ bagi mereka yang terpinggirkan dari perekenomian kapitalistik. Sekarang ini, koperasi telah menjadi sumber penghidupan bagi 91,25 juta orang yang sebagian besar ada di pedesaan, sedangkan usaha besar hanya mampu menyerap 2,52 juta orang (Nasution, 2008).

Penguatan koperasi sebagai usaha ekonomi yang berbasis pada kerakyatan haruslah berkesinambungan dan mampu bertahan dengan terus beradaptasi dengan kondisi ekonomi dan bisnis yang terus berubah. Dengan demikian, perlunya pemahaman bisnis dan unit usaha dalam koperasi menjadi salah satu keharusan, sehingga koperasi dapat bersaing dengan sektor lainnya. Sehingga koperasi perlu untuk meningkatkan sense of bussines-nya sebagaimana yang diungkapkan Prahalad dan Hamel (1990) sebagai kompetensi inti (core competencies) dalam kegiatan usaha.

Hubungan antara koperasi aktif dan kondisi ekonomi atau pendapatan per kapita bisa positif atau negatif. Dari sisi permintaan (pasar output), pendapatan per kapita yang tinggi yang membuat prospek pasar output baik, atau pasar output dalam kondisi booming, memberi suatu insentif bagi perkembangan aktivitas koperasi karena pelaku-pelaku koperasi melihat besarnya peluang pasar (ceteris paribus). Fenomena yang bisa disebut efek demand-pull. Dari sisi penawaran (pasar input; dalam hal ini petani atau produsen), pendapatan per kapita yang tinggi yang menciptakan peluang pasar atau peningkatan penghasilan bagi individu petani atau produsen bisa menjadi suatu faktor disinsentif bagi kebutuhan para petani atau produsen untuk membentuk koperasi. Fenomena yang dapat disebut supply-push.

Fenomena supply-push mau mengatakan bahwa sekelompok petani atau produsen terpaksa membentuk koperasi karena kondisi pasar yang tidak menguntungkan mereka jika beroperasi secara individu. Adanya monopoli oleh sebuah perusahaan besar yang mempunyai keunggulan harga sehingga dengan berkoperasi para petani/produsen lebih mempu meningkatkan efisiensi harganya sehingga bisa bersaing dengan perusahaan tersebut (bargaining power lebih kuat). Pada tingkat lebih agregat atau makro, fenomena ini bisa diukur oleh tingkat pendapatan per kapita atau tingkat kemiskinan atau tingkat pengangguran. Hipotesisnya adalah bahwa semakin rendah tingkat pendapatan per kapita atau semakin tinggi tingkat kemiskinan atau tingkat pengangguran semakin banyak jumlah koperasi (atau koperasi aktif), terutama koperasi kredit.

Summary of CSR Study

Dec 26, 2011 0 comments
Dilihat dari sudut pandang paradigma penelitian serta tujuan penelitian yang hendak dicapai beberapa penelitian dalam studi CSR, menggunakan dua pendekatan yaitu positivistik dan non positivistik. Penelitian positivistik digunakan menjawab tipe masalah penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan what is (explaining what is), sementara penelitian non positivistik merupakan bentuk penelitian diskriptif yaitu bertujuan untuk menjelaskan fenomena (social world) atau describe what is dan penelitian normatif untuk mesdiskripsian bagaimana seharus satu objek (describeing what should be).

Freedman dan Jaggi (1974) mengelompokkan peta penelitian berkaitan dengan pertanggungjawaban sosial perusahaan terhadap lingkungan, menjadi: (1) keterkaitan antara pengungkapan sosial dengan kinerja sosial; (2) keterkaitan antara kinerja sosial dengan kinerja ekonomi; (3) keterkaitan antara kinerja ekonomi dengan pengungkapan sosial; dan (4) keterkaitan antara kinerja ekonomi dengan kinerja sosial.

Adam. C.H, (2002) menyatakan, bahwa berangkat dari perkembangan penelitian terdahulu riset tingkat pengungkapan sosial di broken down menjadi tiga wilayah, yaitu: (1) kaitannya dengan karakteristik perusahaan (corporate characteristics); (2) kaitannya dengan faktor-faktor kontektual umum (general contextual factors); dan (3) keterkaitannya dengan faktor-faktor internal (internal contextual factors). Pembidangan daerah perkembangan akuntansi sosial (social accounting) tersebut, berkaitan dengan motif ekonomi dan sosial, tekanan pihak diluar serta upaya membangun image perusahaan didepan stakeholders-nya.

Mathews (1995) melengkapi pola pikir social responsibility dan motif manajemen yang dikaitkan dengan kaidah information usefullness, bahwa terdapat tiga argumen dasar peran akuntansi konvensional dalam rangka membantu pengambilan keputusan spesifik, khususnya tentang pengungkapan sukarela, antara lain: (1) keterkaitan dengan pasar modal, hal ini didasarkan pada premis bahwa pengungkapan pertangungjawaban sosial memiliki pengaruh positif terhadap kinerja pasar; (2) keterkaitan dengan legitimasi manajemen; dan (3) keterkaitan kontrak (the notion of social contract) antara perusahaan terhadap masyarakat sekitar yang merupakan representasi dari company’s moral accountability.

Arieh A. Ulmann (1985) setelah melakukan review riset selama 10 tahun menemukan bahwa peta pengembangan penelitian dibidang pertanggungjawaban sosial dibedakan, atas: (1) keterkaitan antara social disclosure terhadap social performance; (2) keterkaitan social performance terhadap economics performance; dan (3) keterkaitan social disclosure terhadap economics performance. Untuk lebih rinci temuan tersebut dijelaskan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel. 1
Rangkuman Perkembangan Riset
Di Bidang Social Responsibility (Social Accounting)


Tipe HubunganPenelitiHasilKeterangan
Social Performance - Social DisclosureBelkoui dan Karpik (1989)positive significanceSocial disclosure diukur dengan CEP Index
Abbot dan Monsen (1979)positive significance
Ulmann (1983)no association
Social Disclosure - Social PerformanceBowman dan Haire (1975)positive significance14 perusahaan, social disclosure diukur dengan kalimat yang ada dalam annual report
Abbott dan Monsen (1979)positive significance23 perusahaan, untuk mengukur social disclosure menggunakan Ernst&Ernst
Freedman & Jaggi (1982)no association31 perusaahan, quality & quantity of disclosure in annual report
Ingram & Fraizer (1980)no association40 perusahaan, social disclosure diukur dengan pollution index
Fry & Hocke (1976)negative not sig.135 perusahaan, quality & quantity of disclosure in annual report
Preston (1978)no association41 perusahaan, social disclosure from Ernst & Ernst index
Wiseman (1982)positive not significance26 perusahaan, quality & quantity of disclosure in nannual report
social disclosureeconomics performanceAbbott & Monsen (1979)positive sign.450 perusahaan, social disclosure diukur dengan score based on Ernst & Ernst, dan ecocomics performance diukur dengan ROE 1964 -1974
Bowman (1978)positive sign.46 perusahaan, social disclosure diukur dengan percent of prose in aanual report, economics performance diukur dengan ROE 1972-1974
Bowman & Haire (1975)U. Shape correlation highest ROE for middle disclosure82 perusahaan, social disclosure diukur dengan percent of prose in annual report, economics performance diukur dengan ROE 1969-1973
Freedman dan Jaggy (1982)no association109 perusahaan yang memiliki kepekaan terhadap penciptaan pollusi, social disclosure diukur dengan quality & quantity of pollution disclosure in nannual report, economics performance diukur dengan ROA, ROE, Cash Flows/E, EBIT/A, EBIT/E
Fry & Hock (1976)negative sign.109 perusahaan dari 15 industri, social disclosure diukur dengan quality & quantity of pollution disclosure in nannual report, economics performance diukur dengan earnings
Ingram dan Frizer (1983)negative not sign.79 perusahaan dari metal, oil, chemical industries, social disclosure diukur dengan computerized content analysis of annual report, economics performance diukur dengan factor analysis 0f 48 acoounting rations
Preston (1978)Berpengaruh lemahFortune 500 firm, social disclosure diukur dengan quantity of disclosure in 2 years between 1972 dan 1975, economics performance diukur dengan ROE 1975
Anderson & Francle (1980)Positive correlation for certain months for disclosure vs nondisclosure314 of 1872 Fortune 500 firm, social disclosure diukur dengan overall disclosure and type of disclosure based Ernst & Ernsr, economics performance monthtly average residual differences 7/1972-6/1973
Belkoui (1976)Positive yet temporary correlation50 nperusahaan dan pengungkapan pada tahun 1976, social disclosure diukur dengan pollution disclosure in nannual report, economics performance diukur dengan monthly average residual, 12 months prio & after disclosure
Ingram (1978)Tidak terdapat pengaruh pada portofolio means, memiliki pengaruh positif pada market segmen287 of 1970-1976 Fortune 500 firm, social disclosure diukur dengan various types of disclosuire in annual report, economics performance diukur dengan monthly portofolio return 9 months prior and 3 months after fiscal year end
Shane & Spicer (1983)Significant net price decrease 1 & 2 days prior release, largest decrease for worst pollution72 0f 103 firm from CEP sampel, social disclosure dukur dengan CEP pollution performance index, economics performance diukur dengan standardized abnormal means-adjusted daily return for 6 days around release date of Council on economics priority study
Social Cost, Social Performance, Economics Performance, & Social DisclosureMemed Sueb (2001)Terdapat pengaruh social cost terhadap social performancePerusahaan yang mengikuti Prokasih, dimana social cost dan social performance merupakan data primer berupa pendapat responden yang termuat dalam kuesioner


Peregesran paradigma pengelolaan perusahaan dari shareholders orientation? dianggap menjadi pemicu pergeseran orientasi pengelolaan perusahaan, yaitu semakin tingkat perhatian dan keterbukaan akan hak dan tanggungjawab, termasuk perhatian terhadap lingkungan, kedua dampak negative externalities industrialisasi telah merasuk dalam berbagai dimensi kehidupan baik pisik maupun psikis. Hal itu, menjadikan stress sosial, radiasi, pencemaran, dis-harmoni hubungan antara perusahaan dan stakeholders terutama external stakeholders sehingga mengancam illigitasi stakeholders terhadap perusahaan.

Melihat konteks seperti itu, perusahaan harus menggeser pengelolaan oerusahaan denga memperhitung faktor-faktor sosial dan kemasyarakatan yang diwujudkan lewat corporate social responsibility. Secara teoretis, fenomena itu dijelaskan secara logis dalam teori stakholders (stakeholders theory) yang mana antara perusahaan dan stakeholders berada dalam garis lurus yaitu saling mempengaruhi dan dipengaruhi baik langsung maupun tidak langsung. Untuk menghindari dis-legitimasi, perusahaan perlu menjaga congruensi tujuan perusahaan dengan pengharapan stakeholders (legitimacy theory), seperti dengan mengadakan kontrak sosial (social contract) berupa meningkatkan praktik corporate social responsibility.

corporate social responsibility dalam tataran praksis ternyata memiliki muatan strategis, dilihat dari sisi perusahaan mengandung motif baik bersifat sosial maupun ekonomi. Dampak riil dalam operasional perusahaan memiliki muatan untuk meningkatkan kinerja perusahaan baik kinerja sosial (social performance) maupun economics performance.

Cakupan tingkat signifikansi social responsibility ternyata mengundang deru perhatian semua pihak baik oleh praktisi maupun akademisi. Untuk itu, perkembangan kajian corporate social responsibility merambah dalam berbagai ranah baik dikaitkan dengan konteks perusahaan, external stakeholders, motif yang terkandung didalamnya, managerial motive, stakeholders motive, information usefullness dan information content dan sejenisnya. Melihat konteks seperti itu, riset dibidang corporate social responsibility memiliki peran penting dalam perkembangan ilmu dibidang akuntansi yaitu perkembangan akuntansi sosial dan lingkungan.

(Sumber: Noorhadi, 2011)

Role and Development of CSR Reasearch (Social Accounting)

0 comments
Satu karakter dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah meruang dan mewaktu. Hal itu juga yang menjadi paradigma positivistics dalam membangun teori. Lacatos berpendapat bahwa ilmu pengetahuan harus dapat ditolak. Untuk itu, ilmu pengetahuan berkembang sejalan dengan perkembangan pola pikir manusia.

Akuntansi, sebagai social science juga mengalami perkembangan sebagaimana karakternya yang open endded terhadap ilmu sosial lainnya. Fenomena pergeseran paradigma pengelolaan perusahaan dari shareholders orientation ke stakeholders orientation memiliki peran penting dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dibidang akuntansi. Wujud riil perkembangan ilmu pengetahuan akuntansi dalam adopsi sistemik terhadap perkembangan isu corporate social responsibility tersebut adalah akuntansi sosial (social accounting).

Social Accounting adalah “......the ordering, measuring, and analysis of the social and economic consequences of governmental and enterpreneural behaviour”. (Freedman dalam Siegel dan Marconi, 2003). Dengan demikian fokus akuntansi sosial disamping goverenmental entities juga business entities yang memiliki dampak terhadap lingkungan baik pisik psikis. Lingkungan bisnis disini termasuk natural recources.

Dilihat dari horison waktu, tahun 1960 merupakan awal dari issu akuntansi sosial yang mengemuka berbarengan dengan pentingnya perusahaan mengedepankan praktik “good citizen”. Jargon good citizen mengemuka ketika semua pihak sadar akan arti penting kualitas produk, perlindungan kesejahteraan dan kesehataan karyawan, kontribusi perusahaan terhadap community, issu pemanasan global (Siegel dan Marconi, 2003). Siegel (2003) berpendapat bahwa agar perusahaan tetap survive maka harus menjaga kesehatan lingkungan masyarakat dimana mereka berada, menjamin kesehatan para karyawan dan menjamin equality antara pengorbana financial oleh konsumen dalam memprerolah produk perusahaan dengan jaminan kualitas dan kesehatan produk tersebut.

Antara tahun 1960-an sampai dengan 1970-an dapat dikatakan sebaga era perhatian sosial oleh masyarakat, dimana masyarakat (people) mulai muncul tuntutan tentang corporate social responsibility (Siegel, 2003). Robert Beyer (managing partner of Touche Ross in New York) menunjukkan:
Restrictions on the use for “free” air and water are also matter of social accounting. Society is now examining cost that have always existed. Cost in terms of life and death, damage buidings and art works, foliag, and all other noxious effects of pollution. The only difference is that these costs are being transferred to the extent that is fiasible-from the cpmmunity at large to those who cause them and benefit from them”.
Dengan demikian issu corporate social responsibility (CSR) tak dapat dilepas dari sejarah kejadia empiris yang semakin dis-harmoni. Tahun 1960-an Rache Carson menerbitkan buku “Silen Spring” yang didalamnya mengupas tantang persoalan lingkungan yang diwacanakan global. Dalam buku tersebut megupas banyak tentang kemerosotan lingkungan gobal yang sekarang terkenal dengan global worning. Sejak itu permasalah lingkungan semakin menggelobal dan menjadi perhatianb luas.

Konferensi Stockholm tahun 1972 mencatat kejadian monumental berskala internasional tentang lingkungan. Saat itu, semua pihak menyadarai akan semakin menurunya kuaslitas lingkungan. Dalam konferensi tersebut menghasilkan resolusi monumental yaitu terbentuknya Nations Environmental Programme (UNEP) yang merupakan badan khusus PBB yang menangani masalah lingkungan.

Tahun 1983 PBB tergugah untuk ikut menangani masalah lingkungan dengan membentuk World Commission on Environment and Development. KTT Bumi Rio de Janeiro yang merupakan konferensi lingkungan sedunia diselenggarakan oleh PBB mengusung topik lingkungan. KTT Bumi ini menghasilkan kesepakan mendasar agar semua pihak sekecil apapun, baik atau buruk terhadap ramah lingkungan. Konferensi ini juga menekankan pentingnya semangat kebersamaan dalam mengatasi berbagai masalah terkait solusi saling berbenturannya antara kelompok yang melakukan pembangunan ekonomi dengan kelompok yang berkepentingan dalam melakukan upaya-upaya konservasi lingkungan.

Menelisik berbagai kejadian monumental kelas internasional tersebut, bukan berarti tanpa alasan. Berbagai kesepakatan tersebut dilatarbelakangi oleh semakin merosotnya lingkungan yang dipicu oleh industrialisasi. Sebagai contoh riil pada skala nasional adalah kasus Free Port, Lapindo, Caltex, Newmon, pencemaran lingkungan didaerah industri, radiasi, emisi debu, kebisingan, keincangan sosial dan sejenisnya. Problematika lingkungan tersebut, masyarakat harus menanggung berbagai pengorbanan sosial (social cost) sementara mereka adalah bukan pihak yang diungtungkan terkait industrialisasi. Dampak yang paling akhir adalah munculnya berbagai penyakit dan munculnya komplain (protes) stakeholders terhadap perusahaan. Hal itu akan mempengaruhi existensi operasional perusahaan dan bahkan sampai pada penutupan usaha.

Melihat konteks signifikansi keberpihakan sosial oleh unit business, kurun dekade terakhir issue corporate social responsibility menjadi kajian menarik baik dalam skala nasional maupun internasional, oleh praktisi maupun akademisi. Bukti empiris menunjukkan bahwa perusahaan telah membuka diri baik secara sukarela (motive approach) maupun karena tekanan dan anjuran pelaksanaan aturan (system approach) untuk melaksanakaan berbagai bentuk aktivitas sosial (keberpihakan sosial).

Tak kalah penting, perkembangan riset dibidang social responsibility tumbuh dan berkembang melampaui diberbagai lini kajian. Deegan (2002) melakukan meta analisis terhadap riset dibidang social responsibility yang merupakan bagian dari ranah riset dibidang akuntansi sosial (social accounting) bahwa riset dibidang akuntansi sosial khusuis dalam topik social responsibility telah masuk diberbagai dimensi masalah yang dikesploitasi. Tabel berikut ini memberikan gambaran masalah yang dipertanyakan dalam riset selama puluhan tahun, antara lain:
Tabel 1.
Perkembangan Riset di bidang Social Responsibility (Social Accounting)
Research Problem & statementResearches
What are companies reportErnst & Earnst (1970), See Teoh & Thong (1984), Andrews et al (1989), Guthrie & Parker (1990), Harte & Owen (1991), Lynn (1992), Adams et al (1995), Gidsons & Guthrie (1995), Niskala & Pretes (1995), Deegan & Gordon (1996), Gamble et al (1996), Choi (1999), Bell and Lehman (1999), Newson & Deegan (2002)
Can social & environmental disclosure practices be linked to other attributes of performance, such as economics perfoprmance, or to factors such as industry membership, country of origin (and culture), or sizeIngram & Frazier (1980), Trotman & Bradley (1981), Ulmann (1985), Cowen et al (1987), Fayers (1998), Newson & Deegan (2002)
How do particular stakeholders react to social and environmental disclosureIngram (1978), Buzby & Falk (1978, 1979), Anderson dan Frankle (1980), Jaggi & Freedman (1982), Shane & Spicer (1983), Freedman & Jaggi (1986, 1988), Epstein & Freedman (1994), Blacconiere & Patten (1994), Tilt (1994), Deegan & Rankin (1997)
What are accountant attitudes to social & environmental AccountingBebbington et al (1994), Deeegan et al (1996)
What is the correspondence between corporate social and environmental disclosure and actual corporate performanceWiseman (1982), Rockness (1985)
Whar are roles of taxation instruments in relation to environmetal protectionBaumol (1975), Lockhart (1997), O’Riordan (1997)
How is accounting education embracing the area, and what are sme of the impediments to including social & environmental issue with the accounting education programs of universities and professional accounting bodiesBlundell & booth (1988), Gray et al (1994), Gibson (1997), Gordon (1998), Gray & Collison (2001)
How should organisations account for their social and environmetal performanceC.C Abt Associates (1972), Milne (1991), USEPA (1996), Bebbington & Gray (1997), Mathews (2000)
What theories best explain how we do report, or perhaps, how we should report social and environmental informationRamanathan (1976), Cooper & Sharer (1984), Benston (1982, 1984), Belkoui & Karpik (1989), Mathews (1993, 2000), Gray et al (1996), Lehman (1999), Deegan (2000)
How Should (and perhaps, why should) management accounting system embrance social and environmental issuesStone (1995), Bennett and James (1997, 1998), Ditz et al (1996), Lehman (1999), Deegan (2000)
What motivates managers to make particular social & environmental disclosureGuthrie & Parker (1989), Patten (1992), Roberts (1992), Degaan & Gordon (1996), Deegan & Rankin (1997), Adams et al (1998)
What is the role, or scope, of social and environmental verifications, attentations, or audits (and these can all take on various forms)Bauer & Fenn (1973), Grojer & Stark (1977), Brooks (1980), Geddes (1991), Gray & Collison (1991), Gray et al (1991), Zadek (1993), Gallhofer & Haslam (1995), Power (1997), Owen & Swift (1999), Ball et al (2000), Owen et al (2000), Gray (2002)

Theoritical Framework Building Pada CSR Research

Dec 25, 2011 0 comments
Ranah penelitian berparadigma positivistics bertujuan untuk mengembangankan ilmu pengetahuan secara gradual, spontong-spotong. Akumulasi dari ilmu pengetahuan tersebut menjadi satu bangunan ilmu pengetahun yang utuh. Masalah penelitian dibangun atas dasar berbagai sumber, seperti meta analisis terhadap riset sebelumnya (riset gap), lewat pengamatan fenomena empiris yang kontradiksi dengan logika teori, serta kesenjangan fenomena empiris yang memiliki implikasi potensial dalam memberikan manfaat kehidupan praksis masyarakat luas sehingga perlu pemecahan.

Logika kerja penemuan masalah penelitian berparadigma positivistics (deductive hipotetico testing) yang dibangun atas dasar deviasi fenomena empiris, masalah empiris dikontradiksikan dengan teori yang melandasinya (core theory). Dengan demikian, penelitian kuantitatif tak dapat terhindarkan dari membangun kerangka pemikiran teoretik penelitian yang sekaligus merupakan ekstraksi ide dasar (orisinalitas) dari satu penelitian, mengingat penelitian kuantitatif bertujuan untuk melakukan verifikasi ataupun valsifikasi teori (pengujian teori).

Membangun kerangka pemikiran teoretik (theoretical framework), secara operasional tak lain adalah ekstraksi dari berpikir logis, integratif, koheren dalam menghubungkan antara masalah penelitian, tujuan penelitian, grand theory yang melandasai dan peta perkembangan ilmu pengetahuan yang sedang dikaji dengan recent study. Untuk itu, membangun kerangka pemikiran teoretik tak dapat dilepaskan dari upaya melakukan meta-analisis terhadap riset sebelumnya. Meta-analisis terhadap riset sebelumnya memiliki fungsi untuk mengetahui dan mendudukkan posisi dan pengembangan pengetahun lewat riset yang dilakukan terhadap teori yang sedang diuji (kontribusi teoreitik dari riset).

Sama halnya ketika mencermati perkembangan riset dibidang pergeseran pengelolaan perusahaan dari shareholders orientation kearah stakeholders orientation yang diekspresikan lewat semakin meningkatnya perhatian perusahaan terhadap praktik corporate social responsibility yang tak dapat dilepaskan dari deviasi masalah dilapangan. Wujud deviasi fenomena empiris adalah semakin meningkatnya negative externalities baik pisik maupun psikis, sehingga memunculkan social cost yang harus ditanggung oleh masyarakat (stakeholders).

Kasus Free Port di Papua yang merupakan kasus monumental berskala nasional, dimana 42 juta hektar dengan aneka ragam hayati terancam eksosistemnya, tak terkecuali suku-suku di Papua yang kehipupanya sangat bergantung pada alam (nomadis) kini kehilangan alam tempat mereka bergantung menambah sederetan dampak sosial kemasyarakatan. Ironisnya, satu gunung bernama Etrsberg yang merupakan tempat leluhur suku Amungme (menurut kepercayaan mereka) tak luput dari eksploitasi, sehingga mereka menjadi marah dan tersinggung serta merasa terjajah hak asasi keyakinannya. Belum lagi, kasus Newmond di Sulawesi, Caltex di Riau, Lapindo di Sidoarjo yang setiap hari menyemburkan lumpur panas ± 156.000 m3 perhari, jika diangkut dengan truk untuk direlokasi membutuhkan lebih dari 10.000 truk. Kejadian tersebut telah menenggelamkan 20 pabrik dan menelantarkan sekitar 2.500 orang buruh pabrik (Wibisono, 2007) serta berbagai kasus pencemaran lain baik yang berada dilingkungan industri maupun diluar industri seperti pemanasan global dan lainnya.

Melihat konteks sebagaimana dinyatakan diatas, perusahaan tidak hanya memiliki tanggungjawab terhadap shareholders sebagaimana yang dilakukan selama ini, melainkan melebar sampai tanggungjawab pada wilayah lingkungan dan sosial yang selanjutnya disebut tanggungjawab sosial (social responsibility). Keberadaan perusahaan terhadap lingkungan (stakeholders) tidak dapat dipisahkan, mereka saling mempengaruhi dan dipengaruhi baik langsung maupun tidak langsung (stakeholders theory). Untuk itu, perusahaan memiliki tanggung jawab atas segala ekses, terutama adalah ekses yang bersifat negatif. Karena, sebagaimana dijelaskan dalam political theory perusahaan harus menggunakan kekuasaan dengan penuh tanggungjawab termasuk tanggungjawab atas ekses negatif yang timbulkan (negative externalities).

Wujud tanggungjawab perusahaan terhadap stakeholders dapata dilakaukan lewat mekanisme social contract dengan stakeholders yaitu kesukarelaan dan komitmen perusahaan untuk meningkat pelaksanaan tanggungjawab sosial (social responsibility) serta meningkatkan keterbukaan terhadap khalayak umum (stakleholders) dalam bentuk social disclosure lewat berbagai media.

Dilihat dari sudut pandang perusahaan, corporate social responsibility memiliki muatan strategis terutama daya dukung keunggulan kompetitif yaitu memposisikan diri ditengah stakeholders. Sebagaimana dinyatakan dalam teori legitimasi (legitimacy theory) eksistensi perusahaan yang berada ditengah masyarakat, perusahaan memiliki tanggungjawab untuk menjaga congruence-si antara keberadaan perusahaan terhadap pengharapan masyarakat (Deegan, 2002). Gap legitimacy terjadi ketika terjadi incongruence-si antara keberadaan perusahaan dengan pengharapan stakeholders, pada saat itu dapat memunculkan reaksi (protes) masyarakat terhadap perusahaan (Deegan, 2002). Belkoui dan Karpik (1989) menyatakan bahwa gap legitimacy memunculkan reaksi stakeholders yang dapat mengganggu stabilitas dan going concern perusahaan. Untuk mengurangi gap legitimacy tersebut perusahaan dapat meningkatkan pareto optimal yaitu dengan melakukan social contract berupa peningkatan social responsibility (SR).

Dilihat dari sudut pandang ekonomi, praktik social responsibility mengadung seperangkat motif yaitu social motive dan economics motive. social motive (motive grounds) berorentasi pada keberpihakan perusahaan terhadap sosial kemasyarakatan baik yang bersifat phisik maupun psikis. social motive ditujukan untuk keberpihakan sosial murni sehingga tidak diharapkan untuk mempreoleh kontraprestasi langsung (direct impact) terhadap kinerja keuangan (ekonomi) perusahaan. Sementara economics motive dimaksudkan untuk memperoleh feed back terhadap kinerja ekonomi perusahaan, seperti menciptakaan keunggulan kompetitif perusahaan, menjaga going concern, promosi perusahaan, menjalin hubungan jangka panjang terhadap konsumen dan sejenisnya.

Melihat konteks signifikansi corporate social responsibility tersebut diatas, akhirnya menjadi issue menarik baik dikalangan praktisi maupun akademisi. Hal itu juga menjadi bagian tak terpisahkan dalam debut perkembangan ilmu akuntansi. Wujud adopsi sistemik dan akhirnya menjadi perkembangan pada disiplin ilmu akuntansi sebagai sosok social science adalah semakin berkembang akuntansi sosial (accounting social) dan kajian pengungkapan sosial (social disclosure). Wujud riil multiplier effect terhadap ilmu akuntansi adalah semakin maraknya riset akuntansi sosial, seperti social cost, social disclosure, environmental accounting, information content dalam social disclosure dan sejenisnya. Untuk memberikan ranah pemahaman, peran dan fungsi riset social responsibility terhadap perkembangan teori-teori dalam akuntansi dijelaskan dalam tawaran pengembangan kerangka teoretik corporate social responsibility, sebagai berikut:
Gambar. 1
Pengembangan Kerangka Pemikiran Teoretik
Dalam Riset Dibidang social responsibility


Sumber: Dikembangkan dari Gary O’Donovan (2002), Patrick Medley (1996), Meyer and Rowan (1977), Elkington (2007)


Gambar tersebut di atas memberikan tawaran kerangka pikir teoretis ranah pengembangan riset dibidang akuntansi sosial (social responsibility). Secara sosilologis, perusahaan merupakan kumpulan komunits orang yang memiliki tujuan yang sama, dimana keberadaanya tak dapat dilpaskan dengan lingkungan sekitar (stakeholders). stakeholders merupakan pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi baik langsung maupun tidak langsung perusahaan (stakeholderstheory .1). Untuk itu, perusahaan harus bertanggungjawab dan menggunakan segenap kekuasaannya secara bertanggungjawab baik dampak positif maupun negatif terhadap lingkungan (political theory).

Sebagai pihak yang menjadi bagian dari lingkungan masyarakat yang lebih luas, perusahaan harus menjaga harmonisasi hubungan tersebut, yaitu dengan meningkatkan tanggungjawab terhadap stakeholders. Legitimasi theory (2) menjelaskan bahwa agar perusahaan memperoleh legitimasi stakeholders, perusahaan perlu menjaga dan memelihara kesesuaian (congruence) antara pengharapan stakeholders dengan tujuan operasional perusahaan. Wilayah (bidang) Y adalah areal pengharapan stakeholders, wilayah Z adalah wilyah pengarapan operasional perusahaan, sedang wilayah X adalah wilayah kesesuaian antara harapan perusahaan dengan harapan stakeholders. Semakin besar wilayah X berarti semakin tinggi tanggungjawab sosial perusahaan dan pada saat itu legitimasi stakeholders juga semakin besar, begitu pula sebaliknya.

Upaya yang perlu dilakukan perusahaan untuk mengelimasi gap legitimasi adalah dengan memperlebar wilayah X lewat menepati standar etika (ethics value) dan sekaligus dijadikan pijakan operasional perusahaan (3) yaitu dengan melakukan kontrak sosial (social contract .4) yang secara operasional dengan meningkatkan tangungjawab sosial (social responsibility. 5). Hal itu sejalan dengan prinsip triple button line bahwa perusahaan tidak hanya bertanggung jawab untuk mengejar profit, namun juga bertangungjawab atas keselerasan, keserasian dan keseimbangan terhadap planet dan people.

Satu kandungan menarik yang dimunculkan praktik social responsibility (baik dari perspektif perusahaan maupun stakeholders) yaitu kandungan motif baik yang bersifat sosial maupun ekonomi (6,7). Hal terpenting dalam motif tersebut bahwa meskipun motif sosial (social motive) ditujukan untuk kepentingan sosial ansih bagi perusahaan, namun dalam dunia praksis ternyata memiliki implikasi positif terhadap kinerja perusahaan. Untuk itu, meningkatkanya corporate social responsibility yang mengandung dua motif (social motive dan economics motive) memiliki manfaat besar dalam mendukung perusahaan menjadi surfive (organizational survival) (8) .

Platform Theory of Corporate Social Responsibility

Dec 24, 2011 0 comments
Tanggung-jawab sosial perusahaan (corporate social rsponsibility) merupakan upaya perusahaan untuk menjaga keseimbangan terhadap lingkungan sekitar baik pisik maupun psikis. Pelebaran tanggungjawab tersebut muncul sebagai akibat exterlities dis-economics yang timbul adanya industrialisasi (eksistensi perusahaan), seperti pencemaran, emisi debu, radiasi, kebisingan, hujan asam, serta bentuk externalities lainnya.

Negative externalities tersebut mengakibatkan cost yang harus ditanggung oleh stakeholders, sementara mereka adalah pihak yang tidak turut langsung menikmati peningkatan kesejahteraan (hasil) dari perusahaan. Dari situlah awal munculnya ketidak-keseimbangan antara kepentingan perusahaan sebagai unit bisnis dengan kepentingan stakeholders (incongruencesi). Implikasinnya, terjadi protes stakeholders terhadap perusahaan. Untuk mengurangi klaim (protes) tersebut dapat dilakukan lewat mekanisme social cotract berupaka peningkatan corporate social responsibility (CSR).

Perdebatan seputar social responsibility mengalami pasang surut dan berkembang secara meruang dan mewaktu. Problem inti yang terkandung dalam tananggung-jawab sosial (social responsibility) adalah integritas pelaksanaan etika bisnis (business ethics) oleh pelaku bisnis. Dikatakan deminkian, social responsibility merupakan perwujudan kesadaran pelaku bisnis (industri) atas externalities dis-economics yang ditimbulkan. Problematika menjadi semakin melebar ketika para pihak tidak konsisten terhadap upaya menjaga keseimbangan, mengingat dalam tanggungjawab sosial mengadung cost yang cukup besar.

Trevino dan dan Nelson (1995) menyatakan bahwa dilema etika berada pada koordinat diametral yaitu antara situasi benar dan salah, yang mana value tersebut bersifat kontradiksi (conflic) dalam banyak aktivitas bisnis. Itu, merupakan satu problema yang sulit dan selalu dihadapi bisnis organisasi termasuk para pelaku bisnisya. stakeholders berharap para pelaku bisnis (perusahaan) memahami tanggungjawab atas persoalan yang timbul di masyarakat. Kasus Nike di Amerika, satu contoh riil bagaimana perusahaan menghadapi dilema penolakan produk oleh para konsumen akibat pelanggaran etik bisnis berupa eksploitasi tenaga kerja di negara-negara berkembang.

Milton Friedman (1970) menyatakan bahwa manajemen perusahaan memiliki tanggungjawab untuk meningkatkan (maximize) keuntungan bagi para pemilik (shareholders). Trevino dan Nelson (1995) berpendapat bahwa manajemen seharusnya meningkatkan keuntungan (money) berdasar dan tidak bertentang dengan keberadaan masyarakat (society). Artinya, perusahaan dalam mengejar keuntungan sebagai mana filosofi keberdaan perusahaan hendaknya memperhitungkan kepentingan dan norma masyarakat yang mengitarinya.

Terkait dengan keterhubungan antara ethics, individu, managers, employee dan stakehoders, terdapat dua pendekatan yang selalu digunakan dalam banyak studi terkait dengan ethics yaitu perspective approaches dan psychological approaches. Perspective approach difokuskan pada “what” the business should do to make the best etihical decision-making. Sementara, psycological approach difokuskan pada “how” people make basic ethical decision.

Terdapat tiga konsep dasar etika (basic ethical concept) dalam implementasi perspective approach, antara lain: (1) utilitarianism concept (Bentam, 1748-1873 dan John Stuart Mill, 1806-1873); (2) deontological concept (Immanuel Kant, 1724 -1804 dan John Rawls, 1971); (3) integrity concept or virtue ethics.

Konsep utilitarian (utilitarianism concept) (Bentham dan John Stuart Mill, 1806) memberikan arahan “emphasis consequence of an action on individuals affected by an action” . Lebih lanjut dinyatakan “balancing social harm and benefit in making a decision that maximise net benefit and minimise overall harm for all stakeholders” .

Konsep deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Suatu tindakan dikatakan baik bukan dinilai dan dibenarkan atas dasar akibat dari tindakan itu. Satu tindakan dikatan baik, dilihat dari tindakan tersebut baik adanya. Dengan demikian, satu tindakan dikatakan baik (bermoral) karena tindakan tersebut dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan, terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan tersebut (Ghazali Iman, 2006).

Konsep integritas (integrity concept or virtue concept) difokuskan pada integgrity of the moral actors such as the actor’s charactors, motivation, and intentions. sebagaimana yang dinyatakan oleh Aristoteles dan Plato bahwa konsep integritas mengandung tiga komponen yaitu equity, fairness dan impartiality.

Teori stakeholders memberikan landasan acuan linkage antara perusahaan dengan stakeholders. stakeholders adalah semua pihak baik internal maupun eksternal yang memiliki hubungan baik bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi, bersifat langsung maupun tidak langsung oleh perusahaan. stakeholders is a group or an individual who can affect, or be affected by, the success or failure of an organization (Luk, Yau, Tse, Alan, Sin, Leo dan Raymond, 2005).
Hummels (1998) ......(stakeholders are) individuals and groups who have legitimate claim on the organization to participate in the decision making process simply because they are affected by the organization’s practices, policies and actions.
Batasan stakeholders tersebut diatas mengisyaratkan bahwa perusahaan hendaknya memperhatikan stakeholders, karena mereka pihak yang berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung atas aktifitas serta kebijakan yang diambil dan dilakukan perusahaan. Jika perusahaan tidak memperhatikan stakeholders, bukan tidak mungkin akan menuai protes, dan hal itu akan mengeliminasi legitimasi perusahaan dimata stakeholders.

Jones, Thomas dan Andrew (1999) menyatakan bahwa pada hakekatnya stakeholders theory mendasarkan diri pada asumsi, antara lain:
  1. the corporation has relationship with many constituenties groups (stakeholders) that effect and are affected by its decisions (Freeman, 1984)
  2. the theory is concerned with nature of these relationship in terms of both processes and outcomes for the firm and its stakeholders.
  3. the interests of all (legitimate) stakeholders have intrinsic value, and no set of interests is assumed to dominate the others (Clakson, 1995; Donaldson & Preston 1995) .
  4. the theory focuses on managerial decission making (Donaldson & Preston 1995) .

Berdasar pada asumsi dasar stakeholders theory tersebut, perusahaan tidak dapat melepaskan diri operasinya dengan lingkungan sosial (social setting) sekitarnya. Sehingga, terkait dengan upaya menjaga legitimasi dan going-concern, perlu kirannya mencari pembenaran (reposisi) secara tepat terhadap stakeholders. Semakin kuat posisi perusahan terhadap para stakeholders, maka semakin besar kecenderungan perusahaan mengadaptasi dan memposisikan diri ditengah-tengah stakeholders, sehingga perusahaan punya potensi kekuatan dan competitive advantage semakin besar, karena terdapat keberpihakan dan kesesuaian antara stakeholders dengan perusahaan (Adam. C.H, 2002).

Rheinald Kasali dalam Wibiosono (2007) membagi stakeholders menjadi:
  1. Stakeholders internal dan stakeholders ekesternal. stakeholders internal adalah stakeholders yang berada didalam lingkungan organisasi. Misalnya, karyawan. Manajer dan pemegang saham (shareholders). Sedangkan stakeholders eksternal adalah stakeholders yang berada diluar lingkungan organisasi seperti penyalur atau pemasok, konsumen atau pelanggan, masyarakat, pemerintah, pers, kelompok social responsibility
    investor, licening partner dan lainnya.
  2. Stakeholders primer, stakeholders sekunder dan stakeholders marjinal. stakeholders primer merupakan stakeholders yang harus diperhatian oleh perusahaan, sedang stakeholders sekunder merupakan stakeholders kurang penting, sedang stakeholders marjinal merupakan stakeholders yang sering diabaikan oleh perusahaan.
  3. Stakeholders tradisional dan stakeholders masa depan. Karyawan dan konsumen merupakan stakeholders tradisional, karena saat ini sudah berhubungan dengan organisasi. Sedangkan stakeholders masa depan adalah stakeholders pada masa yang akan datang diperkirakan akan memberikan pengaruh pada organisasi seperti peneliti, konsumen potensial, calon investor (investor potensial) dan lainnya.
  4. Proponents, opponents dan uncommitted. stakeholders proponents merupakan stakeholders yang berpihak kepada perusahaan, stakeholdets opponents merupakan stakeholders yang tak memihak perusahaan, sedang stakeholders uncommitted adalah stakeholders yang tak peduli lagi terhadap perusahaan (organisasi).
  5. Silent majority dan vocal minority. Dilihat aktivitas stakeholders dalam melakukan komplain atau mendukung perusahaan, tentu ada yang menyatakan penentangan atau dukungannya secara vokal (aktif) namun ada pula yang menyatakan secara silent (pasif).
Lebih lanjut, Reinald Kasali memberikan illustrasi keterhubungan antara perusahaan dan stakeholders dalam model stakeholders map, sebagai berikut:

Gambar: 1
Linkage stakeholders dan Perusahaan

Sumebr: Wibisono (2007)


Peta stakeholders tersebut memberikan gambaran tentang keragaman para pihak yang berkepentingan. Masing-masing juga mempunyai jenis dan tingkat kepentingan yang berbeda-beda terhadap perusahaan, sehingga masing-masing mempunyai harapan dan kepuasan berbeda-beda. Karyawan, mempunyai kepentingan dan pengharapan agar perusahaan dapat memberikan kesejahteraan yang optimal kepada dirinya. Disisi lain, pemilik memiliki kepentingan agar perusahaan mampu menyumbangkan profit yang besar kepadanya. Begitu pula dengan pemerintah, mempunyai kepentingan dan pengharapan agar perusahaan mampu menyumbangkan pajak dan retribusi yang optimal. Masyarakat tak ketinggalan, mempunyai kepentingan dan pengharapan agar perusahaan dapat memberikan kontribusi sebanyaknya bagi mereka (social responsible).

Melihat posisi perusahaan ditengah lingkungan (stakeholders) tersebut, yang mana, stakeholders sangat majemuk dengan memiliki seperangkat motif yang berbeda, maka memiliki potensi memunculkan problem legitimasi. Problem legitimasi tersebut adalah tingkat rentan klaim stakeholders terhadap perusahaan akibat terjadinya pelanggaran etik (code of conduct) oleh perusahaan sehingga memunculkan incongruence-si antara harapan stakeholders adanya perusahaan dilingkungannya.

Teori Legitimasi (legitimacy theory) memberikan kerangka dasar berpikir pentingnya legitimasi stakeholders terhadap perusahaan dalam rangka menjaga going concern perusahaan. Legitimasi merupakan suatu keadaan psikologis keberpihakan orang dan kelompok orang yang sangat peka terhadap gejala lingkungan sekitarnya baik pisik maupun non pisik. Untuk itu, legitimasi mengalami perubahan sejalan dengan pergeseran koordinat ruang dan waktu (Dowling 1975).

Gray et. al, (1996) berpendapat bahwa legitimasi merupakan ” ….a systems-oriented view of organisation and society…permits us to focus on the role of information and disclosure in the relationship between organisations, the state, individuals and group”.

Deegan (2002) juga menyatakan legitimasi sebagai “ …a system-oriented perspective, the entity is assumed to influenced by, and in turn to have influence upon, the society in which it operates. Corporate disclosure are considered to represent one important means by witch management can influence external perceptions about organisation”.
Definisi tersebut, mencoba menggeser secara tegas perspektif perusahaan kearah stakeholders orientation (society). Dari batasan tersebut mengisyaratkan bahwa legitimasi perusahaan merupakan arah implikasi orientasi pertanggungjawaban perusahaan yang lebih menitik beratkan pada stakeholders perspective (masyarakat dalam arti luas).
Limbdolm (1994), “Legitimacy is dynamic in that the relevant publics continuously evaluate corporate output, methods, and goals against an ever-evolving expectation. The legitimacy gap will fluctuate without any changes in action on the part of the corporation. Indeed, as expectations of the relevant publics charge the corporation must make changes or the legitimacy gap will grow as the level of conflict increases and the levels of positive and passive support decreases”.

Gary O’Donovan (2002) memberikan illustrasi posisi gap legitimasi antara perusahaan dan stakeholders, sebagaimana digambarkan diagram berikut ini:

Gambar 2
Daerah Gap Legitimacy

Sumber: Gary O’Donovan (2002).

Dalam diagram tersebut diatas menunjukkan bahwa pada wilayah X merupakan kesesuaian (congruence) antara operasi perusahaan (corporate activities) dengan pengharapan masyarakat (society’s expectations), termasuk kesesuaian pada nilai sosial dan norma. Sedang wilayah Y dan Z merupakan ketidaksesuaian (incongruence) antara operasi perusahaan (corporation’s actions) terhadap persepsi masyarakat (gap legitimacy). Pengurangan gap legitimasi dapat dilakukan dengan jalan memperlebar wilayah X lewat strategi legitimasi (seperti dengan cara menigkatkan social responsibility dan memperluas pengungkapan termasuk pengungkapan sosial (social disclosure) (Gary O.Donovan, 2002).
Wartick dan Mahon (1994), berpendapat bahwa terjadinya kesenjangan legitimasi (legitimacy gap), disebabkan: (1) corporate performance changes while societal expectations of corporate performance remain the same; (2) societal expectation of corporate performance change while corporate performance remain the same, and; (3) both corporate performance and societal expectations change, but they either move in different directions, or they move in the same direction, but with a time lag.
Akibat tingginya gap legitimasi sebagai akibat ketidaksesuaian antara aktifitas operasi perusahaan terhadap expektasi masyarakat, memunculkan tekanan dari stakeholders. Pattric Medley (1996) memberikan illustrasi pihak-pihak yang memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung dan saling mempengaruhi terhadap perusahaan, serta memiliki potensi penekanan terhadap perusahaan manakala terjadi incongruence (gap legitimasi), sebagaimana dijelaskan dalam diagram berikut ini:

Gambar 3
Sumber Tekanan Gap Legitimasi

Sumber: Patrick Medley (1996).

Diagram tersebut diatas menunjukkan bahwa banyak pihak yang berpeluang memberikan tekanan terhadap perusahaan, seperti legislators, green group, community akibat adanya negative externalities termasuk incongruence dalam norma masyarakat. Karena, mereka merupakan agen sosial yang memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung terhadap perusahaan (stakeholders). Tak terkecuali bankers, market force, employee dan shareholders, juga memiliki kepentingan serta berupaya terlindungi kepentinganya dari klaim semua pihak. Untuk itu, ketika operasinya perusahaan tidak sesuai dengan lingkungan, dapat memicu reaksi protes dari lingkungan maka mereka akan melakukan tekanan.

Pattern (1992) menyatakan bahwa upaya yang perlu dilakukan oleh perusahaan dalam rangka mengelola legitimasi agar efektif, yaitu dengan cara:
  1. melakukan identifikasi dan komunikasi/dialog dengan publik.
  2. Melakukan komunikasi dialog tentang masalah nilai sosial kemasyarakatan dan lingkungan serta membangun persepsinya tentang perusahaan.
  3. melakukan strategi legitimasi dan pengungkapan, terutama terkait dengan masalah social responsibility.
Legitimasi stakeholders tersebut sangat penting bagi perusahaan mengingat legitimasi stakeholders memiliki peran penting dalam mendukung tujuan perusahaan. Gap legitimasi akan memiliki potensi besar terjadinya klaim atau protes stakeholders terhadap perusahaan. Hal itu, memiliki dampak terhadap eksistensi perusahaan, karena dapat mengganggu stabilitas operasiopnal dan berakhir pada profitabilitas. Upaya yang dapat ditempuh oleh perusahaan adalah melakukan kontrak sosial (social contract) antara perusahaan terhadap stakeholders.

Political Theory dapat dijadikan kerangka berpikir upaya menciptakan pareto optimal keterkaitan langsung maupun tidak langsung antara perusahaan terhadap stakeholders yang rawan illigitimasi (klaim/protes). Political theory memiliki essensi menjelaskan tentang interaksi antara dunia bisnis (perusahaan dan/atau badan usaha) terhadap masyarakat (stakeholders), yang mana, dalam interaksi tersebut mengandung kekuasaan yang tak terpisahkan antara perusahaan dan tanggungjawabnya.

Terdapat dua konsep besar dalam political theory yaitu Corporate Constitutionalism dan Corporate Citizenship. Davis (1960) menyatakan Corporate Constitutionalism mengandung makna bahwa hubungan tanggungjawab kekuasaan bisnis secara bertanggungjawab. Bisnis merupakan institusi sosial dan harus menggunakan kekuasaannya secara bertangungjawab. Donaldson (1982) dalam Chand (2006) dalam Sulistyo (2008) menyatakan bahwa sebagai integrativs social contract hubungan bisnis dan masyarakat merupakan bentuk social contract. Hal itu selajan dengan filosofi Locke menyatakan bahwa kontrak sosial antara bisnis masyarakat telah eksis sejak lama. Kontrak sosial berimplikasi pada berbagai kewajiban langsung dan tidak langsung antara dunia bisnis dan masyarakat (Sulistyo, 2008). Aplikasi kontrak sosial yang merupakan bagian dari political theory adalah praktik corporate social responsibility atas negative externalities yang ditimbulkannya dan sekaligus sebagai kontrapestasi perusahaan (dunia bisnis) terhadap stakeholders.